Tokoh

Kiai Ghufron Achid Sang Inisiator berdirinya Masjid As-Syuhada Pekalongan

Ahad, 30 Juli 2023 | 11:00 WIB

Kiai Ghufron Achid Sang Inisiator berdirinya Masjid As-Syuhada Pekalongan

KH Ghufron Achid (kiri) bersama KH Hasyim Muzadi (Foto: Istimewa)

KH Ghufron Achid tercatat sebagai Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan sampai empat periode dari tahun 1983 sampai 1998. Periode pertama tahun  1983-1988 dengan Ketua PCNU KH Mahmud Masykur. Periode kedua tahun 1988-1993 Ketua PCNU KHA Qusyairi. Periode ketiga pada tahun 1993-1997 dengan Ketua PCNU KH Akrom Sofwan dan periode keempat antara tahun 1997-2002 dengan Ketua PCNU KHA Qusyairi. 


Di periode yang keempat Kiai Ghufron tidak menyelesaikan sampai akhir karena mematuhi aturan Khithah Nahdlatul Ulama. Sehingga pada tahun 1998 kepemimpinan sebagai rais diserahkan kepada KH Subki Masyhadi Sampangan, karena KH Ghufron Achid berkecimpung dalam dunia politik.


Bersama Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan didukung oleh Ormas-ormas Islam serta Pesantren di Pekalongan, Kiai Ghufron Achid mengajukan usulan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat agar Gedung Pemuda yang mempunyai sejarah heroik kepahlawanan masyarakat Pekalongan dijadikan masjid. Dengan usulan tersebut Kiai Ghufron bersama dengan pengurus yang lain harus berhadapan dengan DPRD, Wali Kota, dan Kejaksaan serta orang-orang yang menentang waktu itu. Saat itu pemerintah sangat berkuasa, sehingga usulan tersebut terasa mustahil, tetapi Allah Swt Maha Kuasa atas segala sesuatu. 


Akhirnya atas kehendak Allah terjadilah reformasi di Indonesia dan atas desakan para pemuda dan seluruh lapisan masyarakat, serta bantuan jasa dari Wali Kota Pekalongan bersama tokoh-tokoh lain, alhamdulillah berdiri dengan megah sebuah masjid dengan nama Masjid Asy-Syuhada yang kemudian diresmikan oleh Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid tepatnya pada tanggal 26 Februari 2000 atau 20 Dzulqo’dah 1420 H. Di lokasi ini  pada  tanggal 3 Oktober tahun 1945 terjadi pertempuran besar-besaran melawan pendudukan   Jepang selama tiga hari tiga malam. 37 pejuang gugur dan 12 orang menderita cacat. Pengorbanan dan perjuangan warga, para santri, kiai, dan tentara di Pekalongan berhasil mengusir Jepang dari Pekalongan pada 7 Oktober 1945.


KH Ghufron Achid dilahirkan di Kauman Pekalongan hari Kamis Pahing, 15 Syawwal 1349 H bertepatan dengan 5 Maret 1931 M dari pasangan Achid dan Arifah. Kiai Ghufron Achid merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Tiga saudaranya bernama Zahroni,  Masturoh, dan Zaini. Semasa kecilnya dan saudara-saudaranya hidup dalam keadaan yatim dan miskin. Ayahnya meninggal akibat kekejaman tentara Belanda. Ibundanya yang bernama Arifah adalah ibu yang sangat sabar dalam mendampingi dan mendidik putra-putrinya. 


Dikisahkan bahwa Kiai Ghufron tidak pernah bertindak keras dan kasar seperti memarahi, memukul atau mencubit saat anak-anaknya melakukan tindakan yang menjengkelkan. Bahkan jika Kiai Ghufron waktu kecil melakukan tindakan nakal, Ibunya sambil mengingatkan mengatakan, “Bocah kok badung temen, bakal dadi kiai po le”  (Anak kecil kok nakal sekali, bakal menjadi kiai ya nanti). Dalam keadaan terbatas seperti ini dan juga sebagai saudara tertua, pada usia yang relatif masih sangat muda untuk menunjang kehidupan keluarga, Kiai Ghufron kecil pernah berjualan rokok (ider rokok), dan buruh nguwuk batik.


Semangat belajar Kiai Ghufron sangat luar biasa. Di masa mudanya beliau tidak tergoda untuk sibuk mengejar ekonomi apalagi bermain dan berfoya-foya, lupa menuntut ilmu. Meskipun dalam kondisi keluarga yang sederhana, keinginan mendalami ilmu-ilmu agama tidak pernah padam di hati. Menurut keterangan keluarga, pada waktu kecilnya pernah mengaji kepada Ustadz Baidhawi Kauman. Selanjutnya melalang buana untuk mencari dan mendalami ilmu. Pada masa mudanya Kiai Ghufron belajar ke daerah yang ralatif jauh,  yaitu di Pesantren Al-Hidayah Lasem Rembang selama 6 tahun. Waktu itu Pesantren al- Hidayah diasuh oleh KH Ma’shum (w 1392 H/1972 M).  


Selain di Pesantren Al-Hidayah, Kiai Ghufron juga mengaji di Pesantren Al-Ishlah yang diasuh oleh Syaikh Masduqi. Dua pondok ini merupakan pondok di daerah Lasem yang sangat terkenal menjadi rujukan para santri waktu itu. Kesempatan di Lasem dimanfaatkan secara baik dengan berguru kepada para kiai di sana, di antaranya adalah kepada KH Baidhawi, KH Maftukhin, dan KH Manshur.


Dikutip dari buku 'Jejak Dakwah Ulama Nusantara' yang diterbitkan PCNU Kota Pekalongan tahun 2020, Kiai Ghufron juga pernah belajar di Tayu-Pati kepada KH Muhammadun Pondowan dan di Kudus kepada kiai yang ahli dalam bidang Al-Qur’an yaitu KH Muhammad Arwani Amin dan juga KH Muhammad Hambali Sumardi penyusun kitab Risalah Mubarakah. Nama-nama lain yang tercatat menjadi gurunya adalah KH Cholil dan KH Fatkhur Rohman. Meskipun Kiai Ghufron sudah berkeluarga, dirinya tidak berhenti berguru kepada para ulama. Tercatat juga bertabarrukan kepada Mbah Kiai Ahmad Asy’ari Poncol- Salatiga setelah menikah dengan istrinya. Menurut penuturan sahabatnya yaitu KH Abdullah Faqih Langitan, Kiai Ghufron Achid juga berbai’at Thariqah al-Naqsyabandiyyah al-Khalidiyyah. 
 

Masjid As-Syuhada Kota Pekalongan


Aktif di Organisasi 


Ketokohan Kiai Ghufron di Kota Pekalongan tidak diragukan lagi. Aktif membimbing masyarakat, ahli dalam bidang agama dan dan juga aktif berorganisasi. Oleh sebab itu dirinya sering mendapat amanah dalam kepengurusan organisasi. Selain sebagai Rais PCNU Kota Pekalongan, Kiai Ghufron juga mendapat amanat:

  1. Ketua 1 Yayasan Salafiyah Kauman Pekalongan
  2. Ketua Umum MUI Kota Pekalongan selama satu periode
  3. Salah satu pengurus Yayasan Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang menaungi SMP Wahid Hasyim dan SMA Hasyim Asy’ari
  4. Ketua Yayasan Khirzaddin yang didirikan oleh (alm) H Kamaludin Bachir
  5. Pengurus dan aktivis Majelis Musyawarah Diniyah Pekalongan yang didirikan oleh (alm) H Junaid
  6. Pemrakarsa berdirinya Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Pekalongan dan menjadi salah satu pengurus yang tugas utamanya adalah memberikan ide dan pemikiran mengenai santunan kepada fakir dan miskin.


KH Ghufron Achid wafat pada hari Rabu Wage tanggal 13 Dzul Qo’dah 1421 H bertepatan dengan 7 Februari 2001 M dalam usia 69 tahun (lebih 11 bulan, 2 hari) menurut hitungan tahun Syamsiyah, atau 73 tahun (lebih 28 hari) menurut hitungan tahun Qamariyyah.  Kiai Ghufron dimakamkan di pemakaman Sapuro dekat dengan makam Kiai Mudzakir, setelah  disholatkan di Masjid Al-Jami Kauman. Lahul Fatihah (*)