Tokoh

KH Maemun Pati: Ulama Pionir Pendidikan Islam

Selasa, 3 Desember 2024 | 13:00 WIB

KH Maemun Pati: Ulama Pionir Pendidikan Islam

Pengajian Haul KH Maemun yang diisi oleh Gus Mus (Foto:Istimewa)

Pati, NU Online Jateng

KH Maemun, atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Dardiri, lahir di Desa Kertomulyo, Trangkil, Pati. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Dardiri berganti menjadi Maemun. Meskipun tanggal kelahirannya tidak tercatat secara pasti, menurut kesaksian keluarga, beliau lahir pada tahun 1901, bertepatan dengan kelahiran Ir. Soekarno, proklamator Indonesia. KH Maemun adalah putra pasangan Mbah Astrowijoyo dan Nyai Rasimah, serta memiliki seorang saudari bernama Nyai Mundari.


Sejak kecil, KH Maemun hidup di lingkungan keluarga yang cukup berada dan berpendidikan. Hal ini membuatnya memiliki kecintaan mendalam terhadap ilmu. Beliau memulai pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Nahdlotut Thalibin Tayu di bawah asuhan KH Sholeh Amin. Setelah itu, perjalanan intelektualnya berlanjut ke Pondok Pesantren Pare, Kediri, yang diasuh oleh KH Muhajir, lalu ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah bimbingan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari.


KH Maemun juga sempat nyantri di Magelang kepada KH Hasan Asy’ari, atau yang dikenal dengan Mbah Mangli. Beliau bahkan pernah mondok bersama KH Bisri Mustofa, ayahanda Gus Mus, di Pondok Pesantren Kasingan, Rembang, di bawah bimbingan KH Cholil Harun.


Keilmuan dan Keteladanan KH Maemun


KH Maemun dikenal sebagai seorang alim dalam bidang ilmu fikih dan ilmu alat seperti Nahwu dan Shorof. Meski memiliki kekayaan ilmu dan materi, beliau menjalani hidup dengan kesederhanaan dan penuh kerendahan hati. Beliau gemar membantu masyarakat dhuafa dan menjunjung tinggi nilai keikhlasan dalam segala aktivitasnya.


Dalam satu kesempatan, beliau pernah berpesan kepada santrinya, “Kuwe ngaji gak usah mikir aku, Le. Aku wis sugih. Kuwe tak ulang ngasik aku mati.” (Kamu mengaji tidak usah memikirkan aku, Nak. Aku sudah berkecukupan. Kamu akan aku didik sampai aku wafat). Pesan ini mencerminkan keikhlasan beliau dalam mendidik santri tanpa mengharapkan imbalan.


KH Maemun juga mengajarkan pentingnya kemandirian seorang kiai. Ketika ditanya cucunya mengapa masih bekerja di sawah, beliau menjawab, “Le, nek jenenge kiai ora sugih, iku ora iso ngayomi masyarakat. Tapi nek kiaine sugih, iku iso dinggo ngayomi masyarakat, iso nggo suwelasan, pengajian lan kemisan.”


Pendirian Pesantren dan Kontribusi Pendidikan


Sepulangnya dari Tebuireng, KH Maemun mendirikan API (Asrama Pelajar Islam) Nurul Huda di Kertomulyo. Asrama ini menjadi pusat pengajian dan tempat tinggal santri, sekaligus melengkapi keberadaan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum. Beliau mengajarkan berbagai kitab seperti Fathul Mu’in, Ianatut Thalibin, Minhajul Abidin, dan Fathul Wahab.


Pada tahun 1967 (atau 1968 menurut versi lain), KH Maemun bersama tokoh masyarakat mendirikan Madrasah Diniyah Shirathul Ulum. Tidak hanya memberikan ilmu, beliau juga sering membantu keuangan madrasah tersebut agar tetap berjalan.


Keikhlasan dan dedikasi KH Maemun menjadikannya tokoh panutan yang tidak hanya alim, tetapi juga mampu menggerakkan masyarakat untuk terus berkhidmat kepada agama dan bangsa.

 

Oleh: Suharsono