• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Sosok

Jalan Dakwah Gus Huda, Tempat Maksiat Jadi Manfaat

Jalan Dakwah Gus Huda, Tempat Maksiat Jadi Manfaat
Gus Huda (duduk di kursi) saar ngaji kitab kuning bersama santri-santrinya (Foto: NU Online Jateng/Imam Hamidi)
Gus Huda (duduk di kursi) saar ngaji kitab kuning bersama santri-santrinya (Foto: NU Online Jateng/Imam Hamidi)

Kala malam tiba dan waktu telah menunjukkan pukul 23.23 WIB. Kendati hari hampir berganti, aktivitas di gang jalan naik puncak itu seolah baru saja dimulai. Perempuan-perempuan berbusana minimalis duduk santai di warung malam dan di bilik-bilik rumah di bawah temaram lampu remang-remang.Terlihat bayangan mereka berbincang santai dengan teman mereka sembari menghisap rokok. 

 

Di sudut lain beberapa laki-laki hidung belang datang dan mereka para perempuan itu bersegera melancarkan rayuan mautnya seraya memintanya mampir. Dengan laki-laki itu pula mereka masuk ke rumah bilik remang itu, terlihat PSK satu persatu ready. Di sepanjang jalan beraspal tidak seberapa lebar tersebut di mana saat siang hari relatif lengang itu berubah 180 derajat saat malam hari. 

 

Jalan itu cukup legendaris di kalangan lelaki hidung belang. Di jalan kompleks lokalisasi itulah para penjaja seks komersial (PSK) mangkal dan menyapa ramah para lelaki yang berkunjung atau sekadar melintas di wilayah tersebut. Tercatat, di Cilacap pernah ada banyak tempat lokalisasi, di sekitar Benteng Pendem dan darmaga Tanjung Intan. Namun kini kebaradaannya gelap tak kentara.  Di Kecamatan Kesugihan, di sana ada lokalisasi komplek Slarang. hingga kini masih terang lokalisasi itu dijumpai. Para pekerja seks di sana barangkali masih suka menjajakan diri. 

 

Sementara di Kecamatan Majenang ada Puncak yang dalam kilasan sejarah dan peristiwa, dari waktu ke waktu, pernah menjadi surganya para pemuja seks komersial dan surganya si hidung belang.

 

Di atas adalah sepenggal kisah kelam Puncak, setidaknya 15 tahunan silam, puncak sebagai tempat Lokalisasi prostitusi di Majenang itu moncer. Hal tersebut dikisahkan salah seorang mantan centeng mucikari setempat Kustiwa (55) yang kini hijrah bahkan jadi penggerak mujahadah Annahdliyah sekaligus pengawas bidang belajar-mengajar Madrasah Al Mahdy.

 

Praktik prostitusi sebagaimana cerita di atas kerap hadir diingatannya. Saat ini sisa-sisa masa lalu Puncak sebagai nama tempat tujuan pelesiran esek-esek itu telah berubah suasana menjadi pesona ilmu kebaikan dan pendididikan. Tempat maksiat menjadi tempat manfaat.  

 

Diceritakan, tempat itu sudah ada sejak tahun 1960-an. Pasalnya, Ada yang menyebutkan lokalisasi itu merupakan pindahan dari Cipancur, Cigobang, Jenang area Kawedanan Majenang yang sudah ada sejak zaman Jepang, sekitar tahun 1943. Perpindahan di sebabkan adanya prahara yakni penolakan masyarakat sekitar. Lalu pindahlah ke Puncak, 3 KM Timur Utara Kota Majenang. 

 

Di Puncak sana, hampir 85 persen rumah dijadikan tempat mesum. PSK-nya ada 200-an. Tentu jumlah yang tidak sedikit. Di Puncak pun pernah menuai 'prahara' pada tahun 1996, namun hal tersebut tak memberikan solusi. 

 

Hal ihwal lokalisasi prostitusi di Puncak Majenang menjadi keprihatinan ulama Majenang. Namun di tangan seorang kiai bersahaja bernama Hizbullah Huda, lokalisasi tersebut berhasil dirubahnya,  tempat maksiat menjadi tempat manfaat. dulunya ajang prostitusi kini menjadi komplek penyebar semangat kebaikan dan talabul ilmi. Perihal lakunya, jalan dakwahnya pun menjadi buah bibir masyarakat karena di tempat lokalisasi. 

 

Hizbullah Huda adalah anak sulung dari pasangan Kiai Imam Mahdy bin KH Maqsudy dan dari ibu Mahabbah Hidayah binti H Zainuddun Darudy. Hizbullah Huda kecil, banyak di antara teman sebayanya memanggilnya Gus Huda. Di samping anak kiai, ia nyemedulur, mumpuni berbahasa Inggris-Jawa-Sunda, apalagi kitab kuning. Maka tak pelak hingga usia tua, menyandang predikat melekat pada dirinya, Gus Huda. Namun tidak sedikit pula orang memanggil beliau Kiai Huud. 

 

Kiai Huud bukanlah warga asli Puncak. Namun sepak terjang dakwahnya hingga sampai di sana. Inilah hebatnya, pejuang gigih dan tulus. Kedua orangtuanya tinggal di Kampung Baru, Sindangsari, Majenang. Medio 1970, di kampung itulah orangtuanya membuka pesantren dan sekolahan, di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU, sekarang SMP Diponegoro Majenang. Di tempat inilah Kiai Huud lahir dan dibesarkan. 

 

Orangtua Kiai Huud memutuskan mengirimkan anaknya belajar ilmu agama dan kepesantrenan. Belajar langsung kepada temannya, yang adalah kiai Pesantren. Di antaranya seperti Pesantren Miftahul Anwar Cigaru, Majenang (KH Muslih dan KH Muhaimin), PP Annur Cigulingharjo Padangjaya Majenang (KH Baikuni), PP Cijantung Ciamis (KH Siroj), dan terkahir PP Attaujieh Al-Islamy Leler, Kebasen, Banyumas (KH Hisyam Zuhdi).

 

Saat nyantri di Leler, Randegan, Banyumas sembari ia belajar menempuh kesarjanaan di perguruan tinggi Universitas Wijaya Kusuma mengambil Fakultas Hukum Hingga lulus dan menyandang gelar Hizbulloh Huda, SH (Sarjana Hukum).

 

Setelah mendapat cukup bekal ilmu dan pengalaman, Kiai Huud pulang kampung. Ia meneruskan apa yang dilakukan ayahnya, mengasuh pesantren, mengembangkan dunia pendidikan, di samping ia prihatin dengan kondisi kampung Puncak. Karena itu ia berdakwah di tempat lokalisasi meski awalnya sempat pesimis. Namun berkat kegigihan, keberaniannya, jalan dakwahnya lambat laun diterima oleh kalangan PSK.

 

Diceritakan sang kiai, mulanya bersilaturahim, bertamu kepada pemilik rumah bordir di kompleks, di situ ia mengajak mereka (psk sekaligus mucikari) berbagi cerita, bejibun suka dukanya, sambil medang bareng-ngudud bareng, metodologi atau cara khas sang kiai mengadvokasi sekaligus mengedukasi mereka. 

 

Kiai Huud mengedepankan amar ma'ruf, komunikasi persuasif, dan lambat laun mereka pun saling tahu dan mengenal, kegiatan kunjungannya bersilaturahim itu sebagai ajang bertukar kaweruh yang lama-lama kemudian menjelma laiknya orang pesantren menyebut mujahadah bil wujuh, cara kiai memperbaiki lahir batin santrinya yakni pegiat mucikacari.

 

Hari-hari berjalan gerakan perjuangan Kiai Huud pun terus, dari peristiwa ke peristiwa, kegiatan mujahadah pun menjadi kegiatan rutinan, Kiai Huud bersama jama'ahnya menamainya Mujahadah Istighotsah '@syieq ilalloh Almahdy Puncak yang berarti bahwa '@syieq bermakna Bronto (Jawa) atau Rindu berat, ilallah kepada Pangeran Allah SWT, Almahdy ialah dengan penuh harapan mendapat hidayah, selain bermaksud mahabbah nyadong berkah Almagfurlah KH Imam Mahdi dan Puncak simbol lokalisasi berubah sebagai simpul tempat ngaji, tempat maksiat menjadi tempat manfaat, diharap pengaji.

 

Dakwahnya mendapat respons baik hingga kemudian di Puncak itu, yang dulu dikenal tempat lokalisasi itu, kini telah berdiri sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah dan Wathaniyah, bahkan lembaga pendidikan formal, Madrasah Ibtida'iyyah Al Mahdy, Madrasah ini sebagai pusat pengajaran ilmu, penanaman nilai-nilai agama dan ahlaqul karimah di samping sebagai media pendidikan, juga wadah ukhuwah, penyebaran semangat kemerdekaan, NKRI.

 

Seiring berjalannya waktu, Kiai Huud sampai dikenal dengan 'Kiai Puncak' sebagai analogi 'Kiainya WTS dan mucikari". Mendapat julukan itu, Kiai Huud, ikhlas, tidak mempersoalkannya. "Kiprahnya yang gigih dan berani, bukti dakwahnya meneladani, menginspirasi kami untuk meniti, jalani kebaikan menuju ridho illahi," kata Kustiwa, warga puncak, salah satu saksi sejarah kiai huud berdakwah.

 

Jalan dakwah Kiai Huud mengubah lokalisasi puncak, menjadi pesona kebaikan dan pendidikan Islam diketahui Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap, H Imam Tobroni. Lewat akun sosmednya, ia mengaku dan mengapresiasi terhadap perjuangan Kiai Huud.

 

"Saya kengenal Beliau Gus Huda (panggilan kerenya) sejak muda Bersama. Tatkala saya tinggal 9 Tahun di Majenang, Bahkan saya sempat sering sowan ke Abahnya KH Imam Mahdi untuk ngangsu kaweruh banyak hal. Kini beliau telah mengubah wajah daerah kumuh, dunia hitam dengan pesona kebaikan dan pendidikan Islam. Selamat Gus, terima kasih dan turut bangga. Dan sangat inspiratif  bagi semuanya," pungkasnya.

 

Kontributor: Imam Hamidi Antassalam

Editor: M Ngisom Al-Barony


Sosok Terbaru