• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Mengukur Kebenaran Isra' Mi'raj dalam Perspektif Nuansa Fiqih Sosial Kiai Sahal

Mengukur Kebenaran Isra' Mi'raj dalam Perspektif Nuansa Fiqih Sosial Kiai Sahal
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Nuansa fiqih sosial merupakan salah satu buku yang diambil dari beberapa makalah karya KHMA Sahal Mahfud (Rais ‘aam PBNU 1999-2014). Sebenarnya buku tersebut lebih menitikberatkan pembahasannya pada kajian seputar fiqih dan penerapannya, terutama fiqih yang bersifat muamalah dan bersinggungan dengan ranah sosial. Walaupun begitu, ternyata banyak juga tema-tema populer yang dihadirkan dalam buku tersebut. Salah satunya yaitu seputar Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Kiai Sahal tidak hanya membahasnya sebatas dari sisi sejarah, melainkan juga penyatuan cara pandang dari sisi rasionalitas dan keimanan terhadap kebenaran peristiwa itu. 


Seperti yang sudah lazim kita ketahui bahwa  Isra' Mi'raj merupakan peristiwa yang sulit diterima oleh akal manusia. Dalam waktu kurang dari satu malam, Nabi melakukan perjalanan dari Makkah (Masjidil Haram) ke Palestina (Masjidil Aqsa) dan dilanjutkan naik ke Sidratul Muntaha untuk menghadap Tuhannya. Dalam buku tersebut Kiai Sahal menyebutkan bahwa peristiwa Isra' Mi'raj bahkan sampai membuat kuffar makkah menertawakan Nabi habis-habisan dan semakin menganggapnya berbohong secara berlebihan. Akal mereka sama sekali tidak bisa menerima kabar perjalanan Nabi dari makkah ke Palestina, apalagi sampai ke luar angkasa dalam waktu kurang dari satu malam. Jarak dari Makkah ke Palestina yaitu sekitar 1470 KM, hampir 1500 KM. Jika menggunakan kendaraan cepat jalur darat seperti sekarang, kira-kira waktu yang dibutuhkan sekitar 20 jam. Sedangkan jika menggunakan kendaraan unta seperti zaman dahulu, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana yaitu sekitar satu bulan lebih. 


Maka ketika pagi harinya para penduduk Makkah mendengar berita tentang Perjalanan Nabi yang seperti itu, banyak dari mereka yang ingkar. Perjalanan Isra' (dari Makkah ke Palestina) yang seharusnya ditempuh lebih dari satu bulan saja rasanya tidak masuk akal untuk dilakukan dalam waktu satu malam, apa lagi perjalanan Mi'raj yang sampai ke luar angkasa. Di kalangan sahabat Nabi sendiri juga terjadi perselisihan. Satu pihak menganggap Isra' Mi'raj hanya dilakukan Nabi secara ruhaniah, namun di pihak lain bahkan menegaskan bahwa peristiwa tersebut dilakukan Nabi secara ruhan wa jasadan (dengan ruh dan jasad fisiknya) dan ini adalah pendapat yang disepakati para ulama (mujma' 'alaih).


Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi melakukan Isra' Mi'raj hanya dengan ruh sedangkan jasadnya masih berada di makkah, yaitu pendapat yang dinukil dari Siti Aisyah. Di mana pada saat malam tersebut Siti Aisyah melihat jasad Nabi di dekatnya. Namun pendapat ini ditentang oleh beberapa ulama dengan alasan bahwa pada saat terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj Siti Aisyah belum menjadi istri Nabi, jadi kemungkinan itu bukan sesuatu yang dialami langsung oleh Siti Aisyah, melainkan sebatas informasi dari orang lain. Sedangkan pendapat yang menyatakan peristiwa tersebut dilakukan oleh Nabi ruhan wa jasadan berdasar pemahaman terhadap ayat Al-Qur'an mengenai Isra’ Mi’raj yang berbunyi: 


سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ


"Maha Suci (Allah) yang telah  memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."


Di dalam ayat tersebut, disebutkan kalimat 'Subhâna al-ladzi asrâ bi 'abdihi' ( Maha Suci Allah yang telah meng-isra'kan hambanya). Dari kata 'Subhâna' para mufassirin sepakat menafsirkan peristiwa Isra' Mi'raj sebagai peristiwa besar dan agung. Sangat mustahil jika Allah mencantumkan kalimat 'Subhâna' tanpa sebuah maksud tertentu. Sementara kata 'bi 'abdihi' sendiri jelas merupakan statemen yang menerangkan eksistensi Nabi secara rûhan wa jasadan (dengan ruh dan jasad fisiknya).


Sebenarnya dalil di atas sudah cukup untuk bukti bagi kita meyakini peristiwa Isra' Mi'raj, namun seolah-olah kita akan memandang Isra' Mi'raj hanya sebagai informasi wahyu yang harus diimani oleh setiap umat Islam. Lalu apakah Isra' Mi'raj dapat diterima sebagai sebuah kebenaran menurut ukuran rasional ? Sebenarnya dalam kerangka ilmu filsafat, hal itu bisa dibenarkan secara rasional dengan pendekatan paham idealisme, di mana paham tersebut menyatakan "jika ukuran untuk menggambarkan sesuatu secara benar dan tepat itu hanya berdasar pada pengetahuan, maka itu adalah sesuatu yang mustahil". Berdasar pendekatan ini Maka Isra' Mi'raj bisa dikatakan benar secara rasional. 


Namun jika yang digunakan adalah pendekatan paham realisme yang berpendapat bahwa ukuran untuk menggambarkan sesuatu secara benar itu harus berdasar penilaian indrawi dan alam nyata (empiris), maka Isra' Mi'raj belum bisa dibenarkan seacara rasional. Berdasar pendekatan dua paham filsafat di atas maka kebenaran Isra' Mi'raj masih menemui kerancuan secara rasionalitas akal. 


Di akhir pembahasan Kiai Sahal mengingatkan bahwa peristiwa Isra' Mi'raj merupakan sesuatu yang diatur oleh Allah, yang mana bagi-Nya sama sekali tidak ada hal yang sulit dan tidak mungkin terjadi. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu, kekuasaan-Nya melampaui segala batas ruang dan waktu, dan apa yang tidak terbatas, tentu saja tidak akan dapat dibatasi oleh sesuatu yang terbatas. Kiai Sahal ingin menegaskan bahwa jika ukuran untuk mengungkap kebenaran Isra' Mi'raj adalah akal yang serba terbatas, maka itu agaknya mustahil. Namun jika ukurannya adalah keilmuan, di mana yang dipertimbangkan adalah sifat obyektif dan hakikat suatu perkara, maka Isra’ Mi’raj merupakan suatu kebenaran yang rasional secara akademis (keilmuan). Wallahu a'lam bis shawab


Muhammad Ulil Albab, Mahasiswa Ma’had Aly Maslakul Huda Kajen Pati 


Opini Terbaru