Opini

Maukah NU bertanya kepada Muhammadiyah?

Senin, 6 Januari 2025 | 18:00 WIB

Maukah NU bertanya kepada Muhammadiyah?

Ilustrasi NU dan Muhammadiyah (Foto:Istimewa)

Oleh : Mufid Rahmat*

Nahdlatul ulama ( NU ) dan Muhammadiyah adalah dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Ada pendapat, silsilah pendiri keduanya dari guru yang sama, tapi fokus/orientasi praksis nya berbeda. Sangat ideal keduanya bersaudara dan komplementer dalam perkhidmatannya.


Sebagai organisasi besar, tentunya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya, karena perbedaan manhaj semata. Kelebihan dan kekurangan tersebut manakala dipandang sebagai teks, akan mendorong sebuah diskursus atau dialektika yang selanjutnya akan menguntungkan keduanya sebagai trigger perbaikan dan kemaslahatan.


Judul tulisan ini, mungkin ada yang mengesankan provokatif atau bahkan intimidatif. Sejujurnya, saya berharap ada Good Will bersikap egaliter, menerima "pembelajaran tutor sebaya" untuk meningkatkan kualitas berfastabiqul khaerat. Apalagi dalam domestik NU ada kaidah : "memelihara tradisi lama yang bagus dan mengambil tradisi baru yang lebih bagus."


Lalu, apa yang perlu ditanyakan NU kepada Muhammadiyah?. Apa urgensinya?.


Tujuan hampir sama


Pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dalam sejarahnya, sejak remaja merupakan teman karib pada saat belajar dan memiliki guru yang sama. Yaitu, KH Sholeh Darat, syekh Ahmad khatib Al minangkabawi, syekh Mahfudz Al Termasi dan Muhammad Djamil Djambek. Sejarah berikutnya, keduanya mendirikan organisasi keagamaan yang entitas nya sama, konsentrasinya berbeda.


KH Hasyim Asy'ari cenderung pada ajaran salafiyah/ kitab kuning, sedangkan KH Ahmad Dahlan cenderung pada pemikiran pergerakan Khalaf/ modern.


NU dan Muhammadiyah memiliki tujuan ( ghoyah) yang relatif sama, yaitu dakwah islamiah, nasionalisme, peradaban, sosial, pendidikan, pemberdayaan ( emphowering ) dan kesejahteraan. Elaborasi untuk mencapai tujuan, keduanya memiliki manhaj yang berbeda.


NU lebih tampak unggul dibidang diniyah, pondok pesantren, muamalah, tasawuf, toleransi dan sejenisnya, sedangkan Muhammadiyah lebih tampak unggul di bidang ekonomi ( iqtishodiyah ),  pendidikan ( tarbiyah), kesehatan, good management dan profesionalisme.


Tanpa disadari, pada tataran warga ( basis massa ) dalam hal tertentu nyaris tidak ada sekat antar keduanya. Sekat dikotomis sirna begitu saja ketika mereka bersinggungan dengan hal hal universal dan elementer.


Dalam konteks pendidikan dan kesehatan, misalnya, Muhammadiyah yang dipandang lebih bagus banyak diminati warga NU ( Nahdliyyin). Banyak Nahdliyyin yang belajar di lembaga pendidikan formal milik Muhammadiyah, juga banyak yang berobat di lembaga kesehatan Muhammadiyah.


Banyaknya Nahdliyyin yang eksodus ke lembaga lembaga Muhammadiyah dalam konteks pragmatik sangat merugikan Jam'iyyah NU. Secara indireck NU berpartisipasi aktif "menghidupi" Muhammadiyah, karena banyaknya uang Nahdliyyin yang menjadi pundi pundi Muhammadiyah.


Melihat fakta seperti itu tidak ada salahnya jika NU melakukan rethinking untuk menyetop arus kapital yang mengalir ke saudara tua. Tidak ada salahnya jika bertanya dan "belajar dengan tutor sebaya" tentang manajemen yang bagus dan profesionalisme sumberdaya manusia. Sangat ideal jika modal sosial yang melimpah dibarengi dengan modal kapital. Sebab modal kapital memiliki peran vital dan strategis untuk eksistensi dan kemajuan organisasi.


Domestik NU sekarang ini jauh berbeda dengan masa awal kelahirannya. Untuk hal hal tertentu, warga bersifat realistis tanpa mengorbankan atau menggerus ideologis dan fanatisme ( taasub ). Kebutuhan mereka hari ini berbeda dengan kebutuhan mereka pada masa lalu.


Pendidikan dan kesehatan berkualitas menjadi kebutuhan dasar warna saat ini. Mereka tidak lagi terjebak pemikiran murah atau mahal. Mahal pun akan dibayar oleh warga, asal berkualitas prima dan manajemen yang terbuka.


Muhammadiyah memiliki itu semua, sehingga mereka tampak lebih maju, kaya dan berkualitas dalam hal tertentu tersebut.
Khusnudlon saya, Muhammadiyah tidak akan keberatan menjawab pertanyaan yang ditanyakan NU, jika mau.


Badan usaha


Tantangan (terberat) organisasi saat ini adalah menjaga keberlanjutan eksistensinya di tengah kompetisi yang ketat dalam banyak aspek. Modal sosial yang besar sebagai penanda kuatnya organisasi sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Sebaliknya, modal kapital/finansial yang kuat dan modern menjadi sebuah keniscayaan. Karena itu dibutuhkan  sumber penggalian dana yang memiliki ketahanan bagus, berkelanjutan, kreatif, inovatif dan halal.


Secara internal , NU memiliki sumber penggalian dana yang permanen dan konstitusional. Anggaran dasar NU, Bab IV, pasal 9 telah mengaturnya, demikian dalam Anggaran Rumah Tangga, Bab XXV, pasal 97 dan pasal 98 secara teknis merincinya.


Pada praktiknya, penggalian dana yang terkesan konvensional tersebut nyaris tidak berjalan, sebaliknya yang relatif berjalan justru program koin NU.


Pembentukan badan usaha dirasa sangat realistis. Dalam konteks organisasi, badan usaha bisa bermata dua, yaitu berorientasi pada profit (  tagible ) juga berorientasi pada program, skill dan sebagainya ( intagible ). Entitas ini jika dikelola secara baik dan benar memiliki effect domino yang sinergis.


Modal sosial yang dimiliki NU akan berkontribusi positif bagi badan usaha yang dikelolanya. Dengan banyaknya lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, industri, UMKM dan sebagainya secara langsung membuka lapangan pekerjaan, peningkatan skill, peningkatan kesejahteraan, selain income bagi organisasi.


Mendapatkan data yang valid tentang jumlah lembaga pendidikan dan kesehatan tidak mudah. Dari berbagai sumber, NU memiliki 21. 045 satuan pendidikan, dengan rincian madrasah 7.832 dan sekolah umum 13.213 ( tahun 2020). Perguruan tinggi, baik di bawah binaan Kemendikbud maupun Kemenag mencapai puluhan. Sedangkan rumah sakit sebanyak 35 dan 7 klinik, yang menjadi anggota asosiasi rumah sakit Islam Nahdlatul ulama ( ARSINU ).


Aset tersebut sangat besar, apabila dikelola dengan manajemen yang baik dan SDM yang profesional akan berdampak signifikan pada penggalian sumber dana yang berketahanan, untuk keberlanjutan eksistensi organisasi sekaligus sebagai wasilah kemandirian pendanaan.


Badan usaha yang dibentuk selanjutnya diproyeksikan sebagai embrio dana abadi ( endowment fund ). Sumber dana abadi minimal dari dana titipan individu/mitra, titipan dari amal usaha/badan usaha yang ada dan sudah berlaba juga investasi kuat dari berbagai sektor bisnis yang dimilikinya.


Muhammadiyah, sudah punya pengalaman di bidang pengelolaan badan usaha dan dana abadi organisasi. Sebagai saudara yang sama sama mengusung spirit pemberdayaan dan kesejahteraan yang berkeadilan, tidak ada salahnya jika NU bertanya atau diskusi bersama dengan Muhammadiyah.


NU sekarang sudah mulai menggarap tambang batubara, di Kalimantan. Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mengatakan akan membentuk 10. 000 Wira santri, akan melakukan peremajaan sawit rakyat dan mengelola hutan sosial. Tentunya, kita berharap segera terwujud.


*Mufid Rahmat, kader NU , tinggal di Boyolali