Keislaman

Antara Fardhu dan Sunnah: Menyusun Bangunan Ibadah yang Kokoh

Selasa, 19 Agustus 2025 | 19:00 WIB

Dalam ajaran Islam, terdapat tingkatan prioritas dalam menjalankan ibadah. Allah menetapkan kewajiban-kewajiban pokok (faraidh) sebagai bentuk utama dari ketaatan seorang Muslim yang tidak boleh diabaikan. Shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, zakat, serta ibadah haji bagi yang memiliki kemampuan termasuk dalam kewajiban tersebut. Selain itu, ada pula ibadah-ibadah sunnah yang dianjurkan sebagai pelengkap guna menambah pahala dan menutupi kekurangan dalam pelaksanaan kewajiban. Meski demikian, para ulama menegaskan bahwa amalan sunnah baru bernilai sempurna apabila ibadah wajib telah dilaksanakan dengan baik. Prinsip ini sejalan dengan ungkapan yang masyhur di kalangan umat Islam.

 المُصَلّي لا تُقبل لَهُ نافلة حتى تُؤدِّي فريضة

Artinya: "Orang yang shalat sunnah tidak akan diterima shalatnya sampai ia menunaikan shalat wajib"

Untuk menggambarkan perbedaan antara orang yang hanya melaksanakan ibadah wajib dengan orang yang melaksanakan ibadah wajib disertai sunnah, para ulama memberikan sebuah perumpamaan tentang dua orang khodim (pelayan) yang mendapat tugas dari tuannya (sayyid) untuk membeli buah di pasar. Pelayan pertama segera melaksanakan perintah tersebut dengan membeli buah sesuai permintaan, lalu menyerahkannya langsung kepada tuannya. Ia telah memenuhi perintah dengan benar tanpa ada tambahan apa pun. Sedangkan pelayan kedua, selain membeli buah sesuai perintah, ia juga memilih buah yang terbaik, memisahkan yang kurang baik, mencucinya, mengupasnya, lalu menyajikannya dengan rapi dan indah di hadapan tuannya.


Khodim atau pelayan pertama menggambarkan seorang Muslim yang menunaikan ibadah wajib saja. Ia telah taat dan memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tugasnya selesai tanpa ada pelanggaran, sehingga ia selamat dari dosa meninggalkan kewajiban. Adapun khodim atau pelayan yang kedua menggambarkan seorang Muslim yang tidak hanya menunaikan ibadah wajib, tetapi juga menambahnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah ini menjadi penghias, penyempurna, dan pemberi nilai tambah pada ibadah wajib yang telah ia lakukan.


Ibadah fardhu merupakan landasan pokok dalam membangun hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Tanpa landasan ini, seluruh bangunan ibadah akan rapuh dan tidak kokoh. Layaknya sebuah rumah indah yang didirikan tanpa pondasi kuat, amalan sunnah yang tidak ditopang dengan kewajiban yang sempurna akan kehilangan dasar utamanya. Oleh sebab itu, para ulama menegaskan bahwa menunaikan.


Kedua khodim dalam perumpamaan tadi sama-sama taat, tetapi kualitas pengabdian mereka berbeda. Seorang Muslim yang hanya mengerjakan fardhu memang sudah melaksanakan kewajiban, namun kualitas kedekatannya kepada Allah akan lebih tinggi bila ia menambah dengan ibadah sunnah. Di sisi lain, jangan sampai seseorang terlalu fokus pada ibadah sunnah tetapi melalaikan ibadah wajib. Ini ibarat pelayan yang sibuk menghias buah, tetapi lupa membeli buah sesuai permintaan tuannya.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ، وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ. (رواه البخاري، كتاب الرقاق، باب التواضع، حديث رقم 6137).


Artinya: “jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya”.  (HR al-Bukhari 5/2384, no. 6137).


Ketika seorang hamba dicintai oleh Allah karena kesempurnaan ibadahnya dimulai dari fardhu yang kokoh lalu diperindah dengan sunnah ia akan mendapat pertolongan luar biasa. Allah menjanjikan: "Jika ia meminta kepada-Ku, pasti akan Aku beri jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, pasti akan Aku lindungi." Ini adalah derajat para wali Allah yang sejati. Mereka bukan sekadar menjalankan kewajiban, tetapi juga menambahnya dengan amalan sunnah yang ikhlas, sehingga hidup mereka dipenuhi keberkahan dan terhindar dari keburukan.


Perumpamaan dua khodim yang telah kita bahas menjadi gambaran nyata isi hadits ini. Khodim pertama mencerminkan hamba yang selamat karena menunaikan fardhu, sedangkan khodim kedua adalah hamba yang tidak hanya selamat tetapi juga dicintai oleh Allah karena menyempurnakan ibadahnya dengan sunnah. Inilah jalan menuju derajat wali Allah: memulai dari kewajiban, lalu melengkapi dengan amalan tambahan, hingga Allah mencintai dan menjaga setiap gerak-gerik kita. Maka, jadilah khodim kedua dalam pengabdian kita kepada Allah, agar kita meraih cinta dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat.