• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Fragmen

Historiografi NU Wonosobo

Historiografi NU Wonosobo
Peresmian Gedung NU Wonosobo tahun 1995 turut dihadiri Gus Dur, Ketua PBNU kala itu. (Dok. Edi)
Peresmian Gedung NU Wonosobo tahun 1995 turut dihadiri Gus Dur, Ketua PBNU kala itu. (Dok. Edi)

NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sejumlah ulama pesantren penganut Ahlussunnah waljama’ah. Segera setelah pembentukan NU pada tahun 1926, para pengurus HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama - PBNU, sekarang) mulai memperkenalkan NU dan mengajak para kiai dalam jaringan pesantren untuk bergabung di dalamnya.

Dalam waktu yang relatif singkat, hanya dalam kurun waktu 3 tahun di tengah minimnya transportasi dan komunikasi yang ada, para ulama Wonosobo telah bergabung dengan NU. Hal ini ditunjukkan oleh kehadirian KH Hasbullah (Bumen Mojotengah) sebagai utusan Wonosobo pada Muktamar NU ke-4 (12-15 Rabiuts Tsani 1348 H/17-20 September 1929 M) yang diselenggarakan di Hotel Arabistan Semarang, sebagaimana dilaporkan Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 2 Tahun II 1348 H.

Eksistensi NU Wonosobo semakin terlihat setelah diadakan pengukuhan pengurus NU Cabang Wonosobo pertama yang menempatkan Sayyid Ibrahim bin Ali Ba’abud sebagai Rais dan Atmodimedjo sebagai President (Ketua Tanfidziyah). Pelantikan yang dilaksanakan pada tahun 1932 atau 1933 ini dihadiri oleh KH Wahab Hasbullah, KH Bisyri Sansuri dan KHR Asnawi sebagai wakil dari HBNO.

Dalam perjalanannya, NU Cabang Wonosobo terus memainkan peran pentingnya dalam menjaga dan melestarikan aqidah Ahlussunnah waljamaah. Pun demikian, tokoh-tokoh dan kader NU terlibat aktif dalam perjuangan merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Sayyid Ibrahim bin Ali Ba’abud, Sayyid Muhsin bin Ibrahim Ba’abud, Atmodimedjo, Soepadmo, Sayyid Abu Bakar bin Hasan Assegaf, Dalhar Adi Saputra, KH Asy’ari, KH Hasbullah, KH Abu Jamroh, Ustadz Abu Dja’far, KH Asymawi, KH Idris, KH Masykur, KH Ibrahim, KH Muntaha dan sebagainya, dengan tanpa lelah dan tanpa pamrih, senantiasa mendakwahkan Islam Ahlussunnah waljamaah, serta menanamkan semangat patriotisme dan nasionalisme di tengah-tengah warga masyarakat Wonosobo.

Sikap Patriotisme

Di zaman penjajah Belanda, NU Wonosobo telah mendirikan Madrasah Nahdlatul Ulama, yang dijadikan sebagai pusat kaderisasi dan penanaman sikap patriotisme. Di zaman fasisme Jepang, semangat hubbul wathan minal iman semakin menggelora di dada para pengurus dan kader muda NU, terlebih setelah Jepang mewajibkan seikerei yang ditolak oleh umat Islam dan menyebabkan 12 tokoh NU Wonosobo dipenjara pada tahun 1942.

Bahkan dalam kondisi yang sudah sepuh, Sayyid Ibrahim dan KH Asy’ari, dengan didampingi KH Hasbullah mengungsi dan melakukan perang gerilya. Sementara KH Idris Bendosari, KH Asymawi, KH Muntaha al-Hafidz dan kader muda lainnya bergabung dalam Laskar Hizbullah dan Barisan Muslim Temanggung yang berada di garda terdepan dalam berbagai pertempuran di Magelang, Ambarawa, Surabaya, dan medan pertempuran lainnya.

Kita sadar sepenuhnya, bahwa perjuangan hari ini, seberat apapun tidak akan pernah dapat melampaui beratnya perjuangan para pendahulu, terlebih di era tahun 1942, saat di mana 12 ulama NU Wonosobo dipenjarakan dan disiksa oleh Jepang serta di era 1948-1949, saat agresi militer Belanda memporak-porandakan pesantren-pesantren di Wonosobo dan memaksa tokoh-tokoh utamanya harus mengungsi, seperti yang dialami KH Asy’ari yang wafat dalam pengungsiannya di Desa Dero Duwur.

Demikian pula pada tahun 1965-1966, saat para kiai NU di Wonosobo mendapat ancaman pembunuhan dari PKI, mereka justeru memberikan maaf kepada para anggota PKI dan mengajaknya untuk bertaubat serta menjadi warga NU. Sungguh keteladanan dan dedikasi yang luar biasa yang dapat kita jadikan sebagai sebagai kaca benggala dan ibrah dalam kehidupan sehari-hari dan kerja-kerja organisasi.

Demikian pula, dalam mengisi kemerdekaan, tokoh-tokoh NU Wonosobo terus memberikan kontribusinya dengan meneguhkan keberadaan NU sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah yang selalu konsisten dalam memperjuangkan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah dan memupuk semangat nasionalisme bangsa.

Pasca-meletusnya upaya kudeta oleh PKI, tahun 1965, NU Wonosobo terus aktif membina warganya agar tetap berada dalam komando para kiai dan pengurus NU. Sehingga benturan antar komponen bangsa di Wonosobo tidak separah yang terjadi di wilayah lainnya. KH Muntaha, Hasyim Suyono, Ruzbar Rahmat dan tokoh lainnya sangat lihai dalam mengelola konflik horizontal yang terjadi di Wonosobo.

Para anggota PKI dan simpatisannya yang mau bertaubat, mendapat perlindungan dari NU, dan bahkan beberapa di antaranya, dengan sukarela berkenan masuk menjadi anggota NU dan menjadi santri para kiai NU.

Pilihan Sulit

Di zaman Orde Baru, NU Wonosobo berada dalam tekanan pemerintah. Banyak kader dan tokoh NU yang di(ter)paksa keluar dari NU, demi untuk menghindari rezim yang represif. Hubungan ini baru 'membaik' saat beberapa tokoh NU 'mendukung' pemerintah dengan bergabung dalam Golkar.

Mbah Muntaha al-Hafidz, merupakan tokoh yang berhasil memainkan peranan ini dengan baik. Sehingga NU Wonosobo mulai dapat 'bermesraan' dengan pemerintah. Pilihan Mbah Muntaha ini merupakan pilihan strategi perjuangan dan semata-mata untuk ‘izzul Islam wal Muslimin, khususnya di wilayah Wonosobo.

Dengan pilihan strategi ini, maka Tarmizi Taher menyetujui pendirian Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) di Wonosobo (1988), Harmoko membantu penulisan al-Qur’an Akbar Mushaf Al-Asy’ariyah, Mbak Tutut mendukung penulisan Tafsir Al-Muntaha, dan sebagainya. Mbah Mun juga bersedia menjadi anggota DPR RI, hasil pemilu 1997.

Meski demikian, langkah politik yang diambil oleh Mbah Muntaha ini tidak sepenuhnya 'dibenarkan' oleh para kiai lainnya, seperti Kiai Ibrahim Jawar, Kiai Zainudin Tempel, dan ulama lainnya yang tetap bertahan di PPP.

Saat Orde Baru tumbang, NU Wonosobo juga memainkan peranan penting dalam menjaga stabilitas nasional. Sehingga kerusuhan-kerusuhan yang bergejolak di berbagai wilayah di Indonesia, tidak sampai terjadi di Wonosobo. PCNU juga terlibat dalam hiruk-pikuk pendirian PKB, Pilkada, dan sebagainya yang banyak menyita energi NU.

Baru kemudian pasca tahun 2006-an, PCNU Wonosobo meneguhkan Kembali 'jati dirinya' sebagai organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Sehingga PCNU Wonosobo hingga kini fokus kembali pada kerja-kerja organisasi untuk pengawalan aqidah Aswaja dan pemberdayaan masyarakat.

Edi Rohani, Tim Penulis Buku Sejarah NU Wonosobo


Fragmen Terbaru