• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Opini

Gus Dur, Simpul NU Masa Lalu dan Masa Depan

Gus Dur, Simpul NU Masa Lalu dan Masa Depan
KH Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid

Gus Dur, bagi sosio-anthro-religius orang NU, adalah sebuah epifenomena. Tak ada figur seunik Gus Dur, sampai kapanpun. Bahkan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia sekalipun. Keunikan inilah, yang mengapa sampai detik ini dan mungkin ilaa yaumil qiyamah, setiap sudut pandang tentang Gus Dur, selalu dibicarakan orang. 

 

Mulai dari warung angkringan, sampai forum seminar dan ilmiah. Humoritasnya bisa menjadi bahan stand up comedy. Kewaliannya mengharubirukan nuansa mistik warga NU, hingga banyak yang terhipnotis dan meneteskan air mata. Keilmuannya mengundang decak kagum. Originalitas berpikir dan futuristik pandangnya, membuat orang terpana. 

 

Haulnya yang selalu dirayakan oleh banyak orang dari banyak ragam agama. Kuburnya yang setiap hari ramai diziarahi ribuan orang. Sungguh epifenomena langka. Banyak kiai, banyak gus, banyak agamawan, dan beberapa mantan presiden dan pejabat, telah meninggal, tapi tidak terjadi pada mereka, sebagaimana terjadi pada diri Gus Dur, pada waktu hidup maupun setelah wafatnya.

 

Maqom atau kedudukan Gus Dur, sudah sampai, seperti kata hadits “Irkhamuu man fil ardli yarkhamukum man fissamaa”. Atau, jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia perintahkan Jibril untuk mengumumkannya, sehingga jatuh cintalah semua yang ada di langit dan di bumi.

 

Bagi orang NU, Gus Dur sudah sampai tahapan can do no wrong. Apa yang dilakukan Gus Dur, tidak pernah salah. Ia mengalami khariqul adah (Majdub), Dikaruniai ilmu ladunni, ngerti sakdurunge winarah, sangkan paraning dumadi.

 

Mitstua Nakamura menjuluki Gus Dur, sebagai tokoh dzu wujuh, seribu wajah  yang dari perspektif apapun menarik untuk dilihat dan diulas. Gus Dur tokoh serba bisa. Tokoh dengan perspektif dan pemahaman yang luas tentang agama, negara, dan kehidupan. Ia tokoh pluralism yang dalam gerak langkahnya, selalu manjing ajur ajer. Tokoh yang penuh simpati dan empati terhadap denyut nadi kehidupan manusia. 

 

Ia adalah berkah bagi NU, Indonesia, bahkan dunia dalam  ide-ide, gagasan, dan tindakannya dalam merawat kemajemukan sebaga de-facta ada dalam kehidupan ini. 

 

Semua yang Gus Dur lakukan adalah bagian dari syariat Islam yang selama ini dipegang dan diajarkan oleh NU yaitu Islam Rahmatan lil alamiin. Ini kadang tidak kita sadari. Hanya saja Gus Dur dalam dakwahnya mengutamakan esensi dari islam dan tidak suka mengemasnya dalam simbol-legal formal Islam. Maka mudah dipahami jika  Gus Dur tidak terlalu menyukai istilah hukum-hukum syariat, negara Islam, Perda Islam, dan sebagainya. 

 

Inipun semangat yang diwarisi dari ayahnya KH Wahid Hasyim yang telah menghilangkan kata kewajiban menjalani syariat Islam bagi pemeluknya, yaitu suatu diktum yang ditemukan dalam rumusan sila ke 1 Pancasila dalam piagam Jakarta. Gus Dur menolak tegas setiap penegakan hukum Islam dengan "pedang" atau kekuasaan.

 

Poin-poin pemikiran inilah yang membawa kepada perlunya pribumisasi Islam. Suatu  ide dan gagasan Gus Dur yang banyak ditolak orang tanpa reserve. Termasuk tentu yang senafas dengan gagasan itu adalah konsep fikih ke-Indonesiaan. Kedua konsep itu katakanlah, ditolak sebagai konsep akademis. Namun sesungguhnya, kedua hal tersebut adalah hal yang telah dipraktikkan oleh masyarakat kita sejak lama.

 

Melewati beberapa tahun kemudian, melalui suatu pergumulan pemikiran dengan beliau, murid-murid Gus Dur menegaskan kembali konsep yang secara akademis telah banyak ditolak. Konsep itu diangkat Kembali sebagai konsep Islam Nusantara. Siapa dibalik perumusan atau tepatnya reaktualisasi konsep ini, tak lain dan tak bukan adalah murid-murid pemikiran Gus Dur. Seperti  Kiai Said Aqil Siroj, Abdul Maqsith Gozali, Afifuddin Muhajir, dan ulama-ulama muda NU lainya.

 

Inilah mengapa membicarakan figur Gus Dur tak ada bosannya. Lewat murid-murid beliaulah, kemudian NU mendayung melewati berbagai rintangan menuju tanjung harapan. Gus Dur menjadi simpul pemikiran NU masa lalu yang sulit membatasinya dengan NU masa depan yang terlalu rumit memprediksinya. Sebab kita semua bukan Gus Dur.

 

Namun setidaknya, NU hidup karena saling mewarisi antargenerasi. Hal itu secara kerangka berpikir tidak boleh berubah hanya karena peradaban terus berubah. Maka  manhaj NU harus fleksibel, adaptif dan akomodatif dalam menyikapi setiap riak perubahan ke depan.

 


Toufik Imtikhani, Koordinator NU Marginal Forum Cilacap. Staff di Lapas Cilacap
 


Opini Terbaru