• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Diskursus Sistem Rekrutmen Kepengurusan NU

Diskursus Sistem Rekrutmen Kepengurusan NU
Foto: Ilustrasi (mojok.co)
Foto: Ilustrasi (mojok.co)

Persoalan issu Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mencuat cukup ramai di dunia maya setelah pengumuman pengurus PBNU Periode 2022-2027. Banyak tulisan tentang dikotomi PMII-HMI di media NU Online Jawa Tengah, termasuk tulisan saya yang dikomentari oleh Wakil Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah Romo KH Munib Abdul Muchith berjudul 'Menghapus Dikotomi PMII HMI Jadi Santri' di media NU Online Jawa Tengah tanggal 24 Januari 2022 dan  Sahabat Mufid Rahmad di media yang sama dengan Judul  'PBNU 2022-2027 dan Keberagaman' tanggal 25 Januari 2022. 


Perbedaan pandangan benar-benar bisa bermanfaat jika diwujudkan dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca khalayak ramai, agar bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban akademik dan sosial. Perbedaan pendapat bukan menunjukan konflik atau kebencian  melainkan bentuk keakraban dan kekompakan demi membangun kebesaran NU hari ini dan masa depan. 


Kembali ke pokok persoalan, pada intinya tulisan Romo Kiai Munib Abd Muchith (Namanya ada kemiripan dengan saya), mengharap tidak perlu mempersoalkan PMII dan HMI dalam kepengurusan NU karena sama-sama organisasi kemahasiswaan Islam. Pengurus NU yang diutamakan berkualifikasi santri bukan dilihat dari kader PMII atau HMI. Sampai di sini saya setuju 100 %, karena santri lebih cocok untuk diangkat dalam kepengurusan NU di segala level. 


Sedangkan Sahabat Mufid Rahmad yang juga Ketua Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Ansor memandang bahwa persoalan tentang PMII dan HMI merupakan keniscayaan karena bagian dari keberagaman. Bahkan Sahabat Mufid menganggap sebagai isu lama dan kurang relevan diangkat sebagai bahan diskusi. 


Saya berpandangan, sebenarnya wacana PMII dan HMI muncul kepermukaan dengan cukup heboh dan bahkan panas itu baru sekarang setelah tersusun kepengurusan PBBU periode 2022-2027. Hakekat yang dipersoalkan sebenarnya bukan semata mata PMII dan HMI sebagai organisasi yang jelas jelas berbeda visi pemikiran dan gerakan jika dilihat dari prinsip Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) An Nahdliyah. Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII secara ekplisit menjelaskan bahwa Aswaja ( yang sekarang disebut dengan Aswaja An-Nahdliyyah) merupakan metode berfikir dan melakukan gerakan keagamaan dan sosial. Organisasi kemahasiswaan di luar struktur NU yang menentukan Aswaja An-Nahdliyah sebagai basis pengkaderan dan gerakan hanyalah PMII. Dari sinilah yang menjadikan 'hubungan kekerabatan', hubungan kemesraan antara PMII dengan NU di semua jenjang kepengurusan.


Kita sebagai warga dan kader NU harus bisa menyadari bahwa diskursus PMII dan HMI bukan bermaksud mempersoalkan organisasi PMII dan HMI, bukan pula mempermasalahkan para aktivis HMI pada zamannya masuk dalam struktur kepengurusan NU. Diskursus itu lebih menunjukkan adanya keresahan atau keinginan untuk merumuskan kembali sistem rekrukmen personel yang lebih tepat masuk dalam pengurus NU di semua jenjang mulai pengurus ranting sampai PBNU. Pengurus dalam tubuh NU di segala jenjang khususnya PBNU ibarat kawah condro dimuko kader kader NU. Artinya untuk bisa masuk sebagai pengurus NU harus benar-benar kader yang memiliki kualitas, integritas, dan akseptabilitas dalam konteks ideologi pemikiran dan gerakan Aswaja An-Nahdliyah bukan yang lain. Dari manapun asalkan induk organisasinya harus dilihat dari ideologi pemikiran dan gerakan yang jelas jelas Aswaja An-Nahdliyah. 


Di era sekarang seiring dengan peran atau kiprah NU yang dianggap makin bisa 'menjanjikan' keuntungan materi dan kekuasaan, maka semakin banyak orang yang ingin menjadi kader dan pengurus NU dengan berbagai issu pengakuan bahwa dirinya layak menjadi Pengurus NU. Besarnya hasrat menjadi pengurus NU di semua jenjang harus diikuti dengan pedoman atau model seleksi rekrutmen yang tepat, prosedural, organisasional, dan profesional. Satu sisi masih banyak keluhan bahwa kader NU yang aktif di organisasi badan otonom (banom) NU dari tingkat ranting, cabang dan wilayah bahkan sebagai pimpinan teras mereka tidak bisa diakomodir dalam kepengurusan NU. Di sisi lain banyak juga 'para pendatang' baru yang tiba-tiba muncul sebagai pengurus inti NU tanpa pernah berproses dalam organisasi NU. 


Wajar jika akhirnya muncul spekulasi yang negatif dan skeptif terhadap pola rekrutmen pengurus NU. Agenda yang mesti menjadi prioritas adalah menjaga NU agar tidak disusupi kader-kader yang miskin ideologi pemikiran dan gerakan Aswaja An-Nahdliyah. NU sekarang tidak cukup hanya dengan kader yang berhaluan Aswaja saja, karena sekarang banyak muncul kader yang mengaku Aswaja tetapi justru bertentangan dengan misi besar NU. 


Semoga PBNU di bawah nahkoda Romo Kiai Miftahul Akhyar dan Gus Yahya benar-benar mampu memantabkan sistem rekrutmen pengurus NU yang berasal dari kader-kader yang komitken dengan Aswaja An-Nahdliyah. Wallahu a'lam bis shawab 



Saekan Muchith, Dosen FITK UIN Walisongo, Sekretaris PMII Kota Semarang tahun 1994/1995. Sekarang sebagai Ketua IKA PMII Unissula Semarang dan IKA PMII Kudus dan Sekretaris MA IPNU Jateng


Opini Terbaru