• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Agama dan Ruh Negara

Agama dan Ruh Negara
foto: Ilustrasi (nu online)
foto: Ilustrasi (nu online)

Di kala zaman yang berubah sedemikian cepatnya baik dalam kemajuan bidang teknologi dan berkembangnya sains. Hal ini tentunya menjadi poros perubahan cara berfikir/pemahaman (idelogi) para penikmatnya, yang tidak lain tentunya para penikmat dituntut untuk berfikir secara cepat, tanggap, dan piawai dalam segala hal. Di era inilah kita dapat melihat seberapa banyak penikmat kemajuan ini yang mendapatkan efek positif dan efek negatif dalam hal berfikir / pemahaman (ideologi) dengan munculnya info-info yang valid maupun tidak valid (hoaks). 

 

Inilah yang menjadi PR tersendiri bagi para penikmatnya, bisakah mereka memberi respons positif atau malah negatif?. Namun yang terjadi sekarang rata-rata para penikmatnya memberi respons negatif, mengapa demikian? Survey membuktikan bahwa dampak yang diterima oleh para penikmatnya itu dampak negatif yang berawal dari tanggapan mereka sendiri, seperti yang terjadi di Indonesia tentang konflik agama yang sampai sekarang belum usai. Hal ini terjadi karena banyaknya penikmat modernisasi yang memberi respons negatif tentang info yang update baik di media online,  massa, dan cetak.

 

Awalnya mereka mendapati info tentang agama yang tidak valid (hoaks) kemudian mereka memberikan respons negatif dan mereka tidak mau mencari tahu kebenaran info tersebut yang akhirnya memberikan dampak buruk bagi penikmat dan orang-orang di sekelilingnya dan timbulah perpecahan. Dalam menyikapi hal ini perlunya kita bangkit dari keadaan gelap gulita menuju keadaan terang benderang dengan cara memahami hakikat agama di dalam negara. 

 

Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin memiliki prinsip dan ajaran yang syamil (lengkap) dengan arti bahwa Islam mengatur segala sesuatu dalam aspek kehidupan manusia, baik dari urusan spiritual, sosial, hingga politik. Kehadiran Islam di suatu negara sebagai agama memiliki relasi dengan negara. Relasi antara agama dengan negara adalah reciprocal (saling membutuhkan satu sama lain), artinya agama butuh negara untuk menjalankan syariatnya dan negara butuh agama sebagai landasannya. 

 

Imam Muhammad bin Muhammad al-Ghozaly dalam kitabnya Ihya Ulum ad-din Juz 1 hal 17 beliau mengatakan:

 
وَالْمُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ
وَمَا لَا اَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

 

Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaga akan hilang

 

 

Dari pendapat Imam Ghozaly ini dapat kita tarik poinnya bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena agama sendiri merupakan pondasi dan negara penjaganya, agama tanpa negara akan tersia-siakan dan sebaliknya. Dalam hal ini agama memberi panduan bagi pemeluknya sebagai keberlangsungan hidup dan untuk menjalankan panduan tersebut tentunya secara otomatis agama butuh keterlibatan negara. 

 

Hal yang terpenting dalam sebuah negara adalah negara dapat mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudlaratan dengan cara melaksanakan panduan yang diberikan oleh agama yaitu berupa Maqasidus Syariah atau 5 H: 
•    Hifdz Ad-din ( perlindungan agama )
•    Hifdz An-nafs ( perlindungan jiwa )
•    Hifdz Al-aql ( perlindungan akal )
•    Hifdz An-nasl ( perlindungan genetik )
•    Hifdz Al-mal ( perlindungan harta )

 

Dengan ini perlunya negara membuat peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan maqashidus syariah. Maka setiap undang-undang hendaknya memberi kemudahan bagi umat beragama untuk mewujudkan nilai-nilai maqasidus syariah ini sesuai dengan kaidah fiqih : 

 

تَصَرَّفُ اْلِامَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kepada kemaslakhatan

 

Negara yang menjadi penjaga agama sudah sepatutnya memberikan kebijakan yang dampaknya positif, lebih-ebih kebijakan yang berkaitan dengan agama. Negara harus secara penuh memberi dukungan dan bantuan untuk keberlangsungan terwujudnya maqashidus syariah, namun jika dalam pelaksanaan maqashidus syariah ada hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati, maka negara juga mempunyai hak wewenang  untuk memberikan kebijakan hukum di dalamnya. 

 

Inilah yang seharusnya menjadi batu pijakan para penikmat modernisasi sekarang agar tidak sering menelan mentah-mentah info atau berita tentang agama yang belum/tidak valid, karena nantinya yang merasakan dampaknya tidak hanya sang penikmat saja namun orang sekitarnyapun ikut merasakan. Dan masih banyak yang beranggapan bahwa negara belum memberikan jalan alternatif untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya, padahal sudah jelas bahwa segala hal yang berkaitan dengan agama sudah diatur oleh negara. 

 

Seperti ibadah haji diatur oleh BPKH (badan pengelola keuangan haji), pembayaran zakat diatur oleh Baznas (badan amil zakat nasional), penentuan awal ibadah puasa diatur BHR (badan hisab dan rukyat), dan urusan agama lainnya yang mana semua lembaga itu merupakan instansi negara. Hal inilah yang sepatutnya kita syukuri dan sadari bahwa negara telah berupaya memberikan jalan alternatif dalam menyelesaikan persoalan urusan agama bukan malah kita jadikan hal ini sebagai perlawanan terhadap negara  memisahkan negara dan agama) atas nama agama. 


 

Faisal Basri, Mahasiswa angkatan 2020 jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, asal Pemalang Jateng tinggal di Pesantren Al-Munawir Krapyak DIY 


Opini Terbaru