• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 10 Mei 2024

Nasional

PBNU: Awal Ramadhan 1444 H Bisa Bareng atau Berbeda

PBNU: Awal Ramadhan 1444 H Bisa Bareng atau Berbeda
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Jakarta, NU Online Jateng
Umat Islam sangat menantikan tibanya bulan Ramadhan 1444 H. Penantian ini tentu saja membutuhkan kepastian kapan bulan Ramadhan 1444 H itu tiba. Jika melihat perhitungan hisab Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ketinggian hilal sudah mencapai 8 derajat 00 menit 05 detik di atas ufuk dengan elongasi yang besar pula, 9 derajat 43 menit 10 detik. 


Ketua Lembaga Falakiyah PBNU KH Sirril Wafa mengatakan, harapannya memang awal Ramadhan 1444 H dapat dijalankan secara bersama-sama. “Diharapkan sekali, bisa awali Ramadhan bersama-sama. Mudah-mudahan hasil perhitungan Falakiyah kali ini terkonfirmasi dengan hasil rukyat,” katanya sebagaimana dikutip dari nu.or.id.


Menurutnya, jika hilal dapat terlihat, awal Ramadhan 1444 H akan dilaksanakan bersama pada Kamis, 23 Maret 2023. Meskipun demikian, potensi perbedaan awal Ramadhan ini tetap ada. Hal tersebut mengingat ketinggian hilal belum memenuhi kriteria qathiy rukyah, yaitu di atas 3 derajat dengan elongasi 9,9 derajat. 


"Perbedaan ini terjadi bukan dari sisi perhitungannya, melainkan dari sisi pemahaman terhadap hukum Islamnya. Kalau dari segi Falakiyah, berbagai sistem perhitungan hasilnya cenderung sama atau tidak terpaut jauh. Perbedaan itu terjadi dari cara pemahaman fiqihnya,” ujarnya. 


Misalkan lanjutnya, hadits Nabi tentang petunjuk penentuan awal Ramadhan dan Syawal dengan rukyatul hilal yang dipraktikkan para sahabat dengan kegiatan rukyat di lapangan secara langsung (bil fi'li). 


“Maka ketika dengan ilmu Falak bisa dilakukan perhitungan posisi-posisi bulan dan matahari di setiap waktu secara presisi, maka sikap pemahaman terhadap hadits tersebut pun beragam,” terangnya.


Disampaikan, ada yang memahami sebagaimana adanya teks hadits, yakni harus sesuai hasil rukyat. Jika tak berhasil, maka yang terjadi harus ikmal/istikmal (genapkan umur bulan berjalan menjadi 30 hari) apapun keadaannya. 


"Namun, ada pula yang memahami bahwa rukyat secara mutlak bisa digantikan hisab falakiyah. Bahkan sekalipun hilal dipastikan belum terbentuk. Ada pula yang memahami secara proporsional antara teks hadits dan data falakiyah. Model ini terbagi dalam beberapa versi," ungkapnya. 


Pertama sambungnya, ada yang mengartikan kita rukyat dengan kemungkinan hilal bisa dirukyat (imkan rukyat) yang diformalkan dengan kriteria-kriteria tertentu dan beragam. Namun, kini di Indonesia sudah mengarah ke kriteria baru MABIMS, yakni tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. 


"Pendapat seperti ini ada yang mengamalkan langsung baik untuk perhitungan kalender maupun untuk penentuan awal puasa Ramadhan dan mengakhirinya," ujarnya. 


Kedua, ada yang seperti poin pertama, tapi dengan hanya untuk perhitungan resmi kalender, tetapi untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan harus diverifikasi dengan hasil rukyat, seperti yang sampai saat ini diamalkan oleh PBNU. "Sebagai tambahan catatan, tampaknya masalah yang terakhir ini masih mungkin bisa berkembang melalui kajian-kajian fiqih," pungkasnya. (*)


Nasional Terbaru