Keislaman

Tinta Pemilu: Najis atau Tidak, dan Apakah Menghalangi Air Wudhu?

Selasa, 26 November 2024 | 18:00 WIB

Tinta Pemilu: Najis atau Tidak, dan Apakah Menghalangi Air Wudhu?

Ilustrasi Tinta Pemilu (Foto: NU Online)

Besok warga Indonesia serentak melaksanakan pemilihahan kepala daerah (Pilkada) memilih dan mecoblos pemimpin di daerahnya masing-masing. Ketika selepas memilih biasanya jari dicelupkan di tinta. Sering menjadi pertanyaan adalah apakah tinta pemilu yang membekas di jari termasuk najis? Dan apakah tinta tersebut dapat menghalangi air wudhu sehingga wudhu menjadi tidak sah?

Hukum Tinta Pemilu: Najis atau Tidak?

Ustadz Ahmad Muntaha dalam artikelnya berjudul Tinta Pemilu, Apakah Najis dan Menghalangi Air Wudhu? menjelaskan bahwa dalam fiqih, status suatu benda dianggap suci hingga terbukti nyata najisnya. Oleh karena itu, tinta pemilu pada dasarnya dihukumi suci kecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya (al-ashlu at-thaharah).

Selanjutnya, berkaitan apakah tinta pemilu menghalangi sampainya air ke kulit dan tidak. Ustadz Muntaha menuliskan bahwa hal ini tergantung pada ketebalan tinta:

  1. Tinta Tebal
    Jika tinta cukup tebal, seperti lapisan lilin atau minyak padat, maka tinta tersebut dapat menghalangi air wudhu sampai ke kulit. Dalam kondisi ini, tinta harus dibersihkan agar wudhu sah.

  1. Tinta Tipis atau Hanya Menyisakan Warna
    Jika tinta hanya menyisakan warna tanpa ada lapisan fisik yang menghalangi air, maka bekas tinta tersebut tidak menghalangi keabsahan wudhu. Dalam fiqih, bekas warna yang tidak menghasilkan residu saat dikerok dihukumi tidak menjadi penghalang.

Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in dan Syekh Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin menjelaskan:

“Syarat wudhu keempat adalah tidak adanya penghalang antara air dan anggota tubuh yang dibasuh, seperti batu kapur, lilin, minyak padat, serta wujud fisik tinta dan hena. Lain halnya dengan minyak cair atau bekas tinta dan hena, karena keduanya tidak menghalangi keabsahan wudhu.” (Fathul Mu’in dan I’anatut Thalibin, Juz I, hal. 35).

Berdasarkan penjelasan ini, tinta pemilu tipis atau hanya menyisakan warna tidak menghalangi air wudhu dan tidak membatalkan keabsahan wudhu.


Kasus tinta pemilu yang menyisakan warna juga dianalogikan dengan benda yang dicelup pewarna najis, namun setelah dibersihkan hingga hanya menyisakan warna, dihukumi suci. Hal ini dijelaskan dalam Nihayatuz Zein karya Nawawi Banten:

“Bila suatu benda dicelup dengan pewarna najis, lalu dicuci hingga bersih dan hanya menyisakan warna, maka benda tersebut dihukumi suci.” (Nihayatuz Zein, hal. 46).

Dalam kasus ini sisa warna yang bahannya najis dihukumi tidak najis. Demikian pula dalam kasus di atas, sisa warna tinta dihukumi tidak menghalangi air sampai pada kulit.


Intinya, tinta pemilu tidak dihukumi najis dan tidak menghalangi air wudhu selama hanya menyisakan warnanya tanpa wujud fisik yang tebal. Meski demikian, disarankan untuk membersihkan tinta semaksimal mungkin sebelum berwudhu sebagai bentuk kehati-hatian dalam ibadah.