Keislaman

Perdebatan Fikih tentang Keabsahan Ayam sebagai Hewan Kurban

Ahad, 1 Juni 2025 | 08:00 WIB

Kurban adalah bentuk ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. dan berakar kuat dalam ajaran Islam. Penyembelihan hewan ternak pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah bukan sekadar ritual tahunan, tetapi wujud ketaatan, keikhlasan, dan kepedulian sosial. Selain sebagai ibadah mahdhah, kurban juga menjadi sarana berbagi dengan sesama, terutama kaum fakir miskin.


Secara terminologi, kurban atau al-uḍḥiyyah adalah nama bagi hewan ternak dari jenis tertentu yang disembelih pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik (11–13 Dzulhijjah), dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Syariat ini telah disepakati oleh seluruh umat Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:


فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ


Artinya: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah". Q.S Al Kautsar, 2.


Pelaksanaan kurban mensyaratkan jenis dan usia hewan tertentu, seperti kambing, sapi, dan unta. Kambing cukup untuk satu orang, sedangkan sapi dan unta bisa untuk tujuh orang. Ketentuan ini mencerminkan fleksibilitas syariat yang tetap berpijak pada aturan fikih.
 

ويجزئ فيها الجذع من الضأن، والثني من المعز، والثني من الإبل، والثني من البقر. والبقرة عن سبعة والشاة عن واحد. (التذهب في أدلة متن الغاية والتقريب المشهور بـمتن أبي شجاع في الفقه الشافعي ، الدكتور مصطفى ديب البغا الشافعي. طبعة الحرمين، ط 1. ص 242)


Artinya: “Kurban sah dengan hewan yang memenuhi kriteria umur: Jadza‘ dari domba (yakni usia 6 bulan ke atas), Tsani dari kambing (usia 2 tahun ke atas), Tsani dari unta (usia 5 tahun ke atas), Tsani dari sapi (usia 2 tahun ke atas). Seekor sapi mencukupi untuk tujuh orang, dan seekor kambing cukup untuk satu orang.

 

(At-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib yang dikenal dengan nama Matan Abu Syuja‘ dalam fiqih Syafi‘i, karya Dr. Mustafa Dib al-Bugha asy-Syafi‘i. Cetakan Al Haromain, edisi pertama, hlm 242)


Para ulama berbeda pendapat mengenai yang paling utama dari jenis-jenis hewan kurban tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid.


واختلفوا في الأفضل من ذلك، فذهب مالك إلى أن الأفضل في الصـحايا الكباش، ثم البقر، ثم الإبل بعكس الأمر عنده في الهدايا. وقد قيل عنه: الإبل، ثم البقر، ثم الكباش، وذهب الشافعي إلى عكس ما ذهب إليه مالك في الصحايا: الإبل، ثم البقر، ثم الكباش، وبه قال أشهب، وابن شعبان. (بداية المجتهد ونهاية المقتصد، الشيخ محمد بن أحمد بن محمد بن رشد القرطبي. طبعة دار ابن الجوزي بالقاهرة. ج 2، ص 230)


Artinya: “Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama untuk kurban adalah domba jantan, kemudian sapi, lalu unta. Berbeda dari pendapat beliau dalam masalah hadyu (kurban dalam haji). Ada juga riwayat lain dari Malikiyyah yang menyatakan: unta lebih utama, lalu sapi, lalu domba jantan. Imam Syafi’i berpendapat kebalikannya dari Malik dalam hal kurban: unta paling utama, lalu sapi, lalu domba, dan ini juga pendapat Ashhab dan Ibn Syabaan.” (Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, karya Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurthubi. Cetakan Dar Ibn al-Jauzi, Kairo. Jilid 2, Hlm 230)


Perbedaan pendapat tersebut menunjukkan bahwa para ulama memberikan perhatian besar terhadap aspek keutamaan dan kelayakan hewan kurban, baik dari segi jenis maupun kualitasnya, dengan tetap mempertimbangkan kondisi pelakunya. Dalam konteks ini, muncul pula pendapat yang lebih fleksibel, seperti yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dan diperkuat oleh Syaikh Muhammad al-Fadhali, yang membolehkan penggantian hewan kurban atau akikah dengan sembelihan lain seperti ayam bagi yang tidak mampu. Pendekatan ini didasarkan pada makna inti kurban dan akikah, yaitu mengalirkan darah sebagai bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah.


وعن ابن عباس أنه يكفى إراقة الدم ولو من دجاج أو أوز، وكان الشيخ محمد الفضالي يأمر الفقير بتقليده، ويقاس على الأضحية العقيقة، فيجوز لمن لم يقدر على ثمن الشاة أن يعق عن ولده بالديكة على مذهب ابن عباس، كما قاله الشيخ محمد الفضالي. (قوت الحبيب الغريب، الشيخ محمد نووي بن عمر الجاوى. طبعة الحرمين. ص 313)


Artinya: “Ibnu Abbas berpendapat bahwa tujuan utama dalam kurban dan akikah adalah mengalirkan darah karena Allah. Oleh karena itu, tidak disyaratkan harus kambing atau domba saja. Hewan sembelihan seperti ayam atau angsa pun cukup bila tidak mampu. Dan Syaikh Muhammad al-Fadhali membolehkan orang miskin untuk mengikuti pendapat ini.” (Qut al-Habib al-Gharib, karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi. Cetakan al-Haramain. Hlm 313)


Meskipun ada pendapat sahabat seperti Ibnu Abbas yang membolehkan ayam dan angsa, ulama mengingatkan agar tidak serta-merta mengikutinya jika pendapat tersebut tidak dipelihara dalam mazhab atau tidak diriwayatkan secara kuat dan terperinci sebab bisa jadi terdapat syarat-syarat tersembunyi yang membuat konteks hukum aslinya berbeda dari yang tampak.


وقال ابن عباس بإجزاء الدجاج والأوز، ولا يجوز تقليده كيفية الصحابة التي هجرت مذاهبهم لعدم ضبطها ونقلها لنا بالتواتر، فيحتمل أنها مشروطة لم نطلع عليها. (الشرقاوي على شرح التحرير، شيخ الإسلام زكريا الأنصاري. طبعة الحرمين. ج 2، ص 462-463)


Artinya: “Ibnu Abbas berpendapat bahwa ayam dan angsa sah (cukup) sebagai sembelihan. Namun tidak boleh mengikuti praktik sebagian sahabat dalam hal ini karena mazhab mereka telah ditinggalkan, disebabkan tidak adanya kejelasan dan tidak adanya periwayatan yang mutawatir kepada kita. Maka bisa jadi praktik tersebut memiliki syarat-syarat tertentu yang tidak sampai (diketahui) kepada kita.”  (Asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir, karya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari. Cetakan al-Haramain. Jilid 2, hlm 462–463)


Secara ringkas, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jenis dan keutamaan hewan kurban menunjukkan keluasan dan kelenturan hukum Islam dalam merespons kondisi masyarakat. Mayoritas ulama mensyaratkan hewan kurban dan akikah berupa kambing, sapi, atau unta sesuai ketentuan umur dan kualitas. Namun, sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan ulama seperti Syaikh Muhammad al-Fadhali membuka ruang keringanan bagi orang yang tidak mampu dengan membolehkan sembelihan ayam atau angsa, asalkan esensi ibadah yaitu mengalirkan darah sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah tetap terpenuhi. Meskipun begitu, pendapat ini bersifat minoritas dan tidak menjadi standar dalam mazhab, serta tidak boleh dijadikan pegangan utama tanpa pertimbangan sebab bisa jadi praktik sahabat tersebut memiliki syarat-syarat yang tidak diketahui secara rinci oleh generasi setelahnya. Oleh karena itu, mengikuti pendapat jumhur (mayoritas) tetap menjadi jalan yang lebih aman dan kuat secara hukum.