Keislaman

Siti Hajar: Teladan Sabar atas Ketaatan

Sabtu, 22 Juni 2024 | 15:00 WIB

Siti Hajar: Teladan Sabar atas Ketaatan

Ilustrasi (Foto: Freepik)

Sabar atas ketaatan menjadi kunci dalam meraih kebahagiaan dunia akhirat. Sebab, Imam Ghazali dalam Mizanul Amal, menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad saw ditanya tentang kebahagiaan, beliau menjawab, "Panjang umur dalam ketaatan kepada Allah swt."


Hal ini sejalan dengan pandangan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya Syaraful Ummatil Muhammadiyah, bahwa sabar merupakan pintu kebahagiaan. Sebab, Rasulullah saw bersabda, "Sabar itu cangkulnya orang Muslim." Sebagaimana kita ketahui, bahwa dunia merupakan sawahnya kita guna memanen pahala sebagai bekal untuk akhirat kelak.


Dan teladan kesabaran atas keaatan itu adalah Siti Hajar, sosok yang menjadi penyokong utama dua nabi, yakni Nabi Ibrahim yang notabene merupakan suaminya dan Nabi Ismail yang merupakan putranya. Kesabarannya atas ketaatan sudah 'tembus langit'. Betapa tidak, ia rela tanpa membantah ketika ditinggal bersama Nabi Ismail yang masih bayi di sebuah padang tandus.


Ceritanya, ia dan Nabi Ismail diajak Nabi Ibrahim ke sebuah wilayah yang sepi. Jangankan manusia, hewan dan bahkan air pun tidak ada. Keduanya hanya dibekali sebotol minum dan sekantung kurma. Lalu, Nabi Ibrahim pergi begitu saja tanpa meninggalkan kata-kata. Mungkin, ia saking tidak teganya meninggalkan dua orang terkasihnya. Terlebih Ismail merupakan sosok yang begitu ia rindukan kehadirannya sebab baru dikaruniai putra dalam usia 86 tahun, menyusul 13 tahun berikutnya lahir Ishaq.


Saat Nabi Ibrahim beranjak pergi, Siti Hajar pun membuntutinya sembari mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali, "Duhai Ibrahim, mau ke mana engkau?" demikian sebagaimana dikutip dari penjelasan Ibnu Katsir dalam kitab Qishashul Anbiya.


Ditanya demikian, Nabi Ibrahim tak bergeming. Ia tetap berjalan. Melihat tak ada respons dengan pertanyaan itu, Siti Hajar mengubah pertanyaannya, "Apakah Allah yang memerintahkan ini?"


"Ya," jawab Nabi Ibrahim pendek.


Setelah mendapati bahwa ia dan putranya ditinggal di lembah sunyi itu karena perintah Allah swt, Siti Hajar langsung balik kanan kembali ke tempat semula.


Sementara Nabi Ibrahim sendiri sebetulnya tidak tega. Namun ia juga tak kuasa menolak perintah Allah swt. Saat yakin Siti Hajar tak lagi dapat melihatnya, ia kembali memutar badannya menghadap kiblat, menengadahkan tangannya, memanjatkan harapannya untuk dua orang yang betul ia kasihi. Hal tersebut terekam dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 37 berikut.


رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ


Artinya, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (demikian itu kami lakukan) agar mereka melaksanakan salat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan anugerahilah mereka rezeki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur."


Saat air dan kurma habis, Siti Hajar tidak diam begitu saja. Dari lembah itu, ia menaiki bukit Safa yang amat terjal. Setelah sampai puncak, ia pun melihat ke sekelilingnya. hanya saja ia tidak mendapati sesuatu yang diinginkannya. Ia pun turun ke tempat semula, lalu mencoba menaiki bukit lainnya, yakni Marwah. Bukit bebatuan itu pun didaki hingga mencapai puncaknya. Kembali ia memandang ke sekitar, tetapi tak ada jua yang ia harapkan. Dalam pandangannya, tak ada sesuatu apapun kecuali hamparan pasir dan bukit bebatuan. Bolak-balik ia hingga tujuh kali, tetapi tidak ada yang berubah dari laporan pandangan matanya, nihil.  Peristiwa itu dalam perkembangannya menjadi sebuah syariat yang kita kenal sebagai sai.


Ia pun mendapatkan jawaban kebutuhan itu, berkah dari ketaatannya dan doa suaminya, yaitu keluar air zamzam dari tempat yang tidak diduga, yaitu bekas hentakan kaki putranya.


Cerita Siti hajar memberikan inspirasi kepada manusia tentang arti sebuah kesabaran. Sabar tidak berarti diam menerima takdir, tetapi justru harus bergerak menjemputnya dengan situasi dan kondisi apapun agar selalu dalam koridor ketaatan kepada-Nya.


Tak pelak, buah kesabaran itulah tumbuh seorang Nabi Ismail yang kelak lair dari keturunannya sosok manusia paling mulia, yakni Nabi Muhammad saw.


Syekh Izzuddin bin Abdissalam, sultan para ulama, dalam kitabnya Syajaratul Maarif, menegaskan bahwa sabar atas ketaatan merupakan wasila (perantara) untuk selalu melaksanakannya dan mengerjakannya dengan sempurna. Dalam hal ini, ia mengutip Al-Quran surat Maryam ayat 65 berikut.


رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ


Artinya, "(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan bersabarlah dalam beribadah kepada-Nya..."


Sejalan dengan itu, Rasulullah saw bersabda, "Sabar merupakan bagian dari iman yang menempati kedudukan kepala atas tubuh."


Oleh karena itu, sabar terhadap ketaatan menempati posisi penting dalam menjalankan roda kehidupan kita. Salat sehari hanya lima kali saja kerap dirasa cukup berat. Dan kita diminta sabar untuk itu sebagai upaya untuk senantiasa melaksanakannya dengan baik. Kurban dengan harga hewan pilihan yang cukup mahal juga merupakan ibadah yang terasa berat. Namun kesabaran kita dalam melaksanakan perintah tersebut membuat kita bisa dan mampu menunaikannya. Bahkan haji yang rasa-rasanya dalam logika manusia seperti kita ini tidak masuk di akal dapat dilaksanakan, tetapi jika kita bersabar dengan senantiasa berupaya untuk mewujudkannya, Allah swt akan memberikan jalan yang barangkali tidak kita duga sebelumnya. Sudah banyak cerita tukang bubur, tukang sayur, hingga penggali kubur pun bisa berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima itu dengan jalannya masing-masing.