Ketika Rasulullah Dirayu Pemimpin Quraisy untuk Menghentikan Dakwah
Sabtu, 29 Mei 2021 | 05:00 WIB
Rasulullah adalah uswah (teladan) paling sempurna bagi umatnya. Meneladani beliau merupakan konsekuensi yang logis dari iman akan adanya Nabi Muhammad ﷺ sebagai Rasulullah (utusan Allah). Beriman kepada Rasulullah adalah meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Allah ﷻ memilih di antara manusia untuk dijadikan rasul-Nya dan menyampaikan semua perintah dan larangan-Nya kepada umat manusia.
Rasulullah sebagai pamungkas para nabi dan rasul diutus
oleh Allah ﷻ seraya untuk memperbaiki akhlak manusia
dan menjadi sebaik-baiknya teladan. Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyampaikan
dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah, di antara sikap Rasulullah yang
harus diteladani adalah berdakwah dengan ikhlas karena Allah ﷻ tanpa tujuan
yang lain.
Syekh al-Buthi menyebutkan, dalam riwayat Ibnu Hisyam dari
Ibnu Ishaq bahwa Utbah bin Rabiah (seorang cerdik dan pandai dari suku Quraisy)
berkata kepada para pemuka Quraisy yang berkumpul untuk merundingkan sikap dan
langkah mereka menghadapi gerakan dakwah Nabi Muhammad. Dia mengatakan, “Wahai
Quraisy, mungkin langkah yang baik adalah aku menemui dan ngobrol langsung
dengan Muhammad, lalu menawarinya beberapa hal. Barangkali dia mau menerima
salah satu yang kita tawarkan kemudian kita memberinya apa pun yang dia
inginkan agar dia tak lagi menyusahkan kita.”
Mereka menjawab, “Benar, wahai Abu al-Walid, kami
menyetujui usulmu. Pergi dan bicaralah kepadanya.”
Maka, Utbah datang menemui Rasulullah lalu berkata, “Wahai
anak saudaraku, kau adalah bagian dari kami. Sungguh sejak dulu kami telah
mengenal kejujuran, kesantunan, dan kemuliaan silsilah keluargamu. Namun, kau
telah membawa masalah yang sangat besar kepada kaummu. Apa yang kaubawa itu
telah merusak persatuan mereka dan merendahkan cita-cita mereka. Jadi,
dengarkanlah baik-baik. Aku datang sebagai utusan kaummu untuk menawarimu
beberapa hal, mungkin kau mau menerima salah satunya.”
Rasulullah ﷺ menjawab,
“Katakanlah, wahai Abu al-Walid, aku menyimaknya.”
Utbah bin Rabiah berkata, “Wahai anak saudaraku, jika
dengan yang kaubawa ini kau menghendaki harta maka kami rela menghimpun
sebagian harta kami untukmu sehingga kau menjadi orang terkaya di antara kami.
Jika dengan yang kaubawa ini kau menginginkan kemuliaan, kami rela mengangkatmu
sebagai pemimpin sehingga kami tidak akan memutuskan persoalan apa pun tanpa
persetujuanmu. Jika yang kauinginkan adalah kerajaan maka kami rela
menobatkanmu sebagai raja. Dan, jika yang mendatangimu adalah jin yang tidak
dapat kautangkal maka kami bersedia mencarikan tabib bagimu atas biaya kami
hingga kau sembuh.”
Rasulullah bertanya kepada Utbah, “Apakah kau telah
mengatakan semua yang ingin kausampaikan, wahai Abu Al-Walid?”
Utbah menjawab,
“Ya.”
Kemudian, Rasulullah bersabda, “Sekarang, dengarkanlah
aku.” Saat itu, Rasulullah membaca Surah Fussilat dari ayat pertama. Namun,
situasi berubah ketika bacaan Nabi sampai pada ayat ke-13:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ
أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
Artinya, “Jika mereka berpaling maka katakanlah, ‘Aku telah
memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad
dan kaum Samud” (QS Fussilat: 13).
Tuntas Nabi Muhammad ﷺ membaca ayat
itu, serta-merta Utbah menutup mulut Rasulullah dengan tangannya dan memohon
untuk berhenti membaca, karena dia takut mendengar acaman yang dilantangkan
ayat-ayat itu. Kemudian, Utbah kembali menemui kaum Quraisy yang menanti-nanti
kedatangannya. Mereka bertanya, “Bagaimana hasilnya, wahai abu Al-Walid?”
Utbah menjawab, “Aku mendengar suatu perkataan yang belum
pernah kudengar seperti itu sebelumnya sepanjang hidupku. Demi Allah, perkataan
itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan mantra dukun. Wahai kaum Quraisy,
turutilah kata-kataku, biarkanlah orang itu (Muhammad) dengan urusannya.
Biarkanlah dia! Demi Allah, menurut perkataan yang kudengar darinya, sungguh
akan terjadi sesuatu yang sangat mengemparkan! Jika bangsa Arab (lain)
membunuhnya, berarti kalian menghentikannya lewat orang lain. Dan, jika dia
mengalahkan bangsa Arab (lain), kerajaannya adalah kerajaan kalian juga,
kemuliannya adalah kemuliaan kalian juga.”
Kaum Quraisy berujar marah, “Demi Allah, dia (Muhammad)
telah menyihirmu dengan kata-katanya, wahai Abu al-Walid.” Utbah menukas,
“Demikianlah pendapatku tentang dirinya. Jika tidak mau mendengarku, lakukanlah
apa saja sesuka kalian” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah
Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 96).
Ada tiga pelajaran penting dari kejadian di atas,
sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh al-Buthi. Pertama,
menjelaskan secara rinci tentang hakikat dakwah Rasulullah ﷺ yang bersih dari
segala kepentingan dan tujuan pribadi yang biasanya menjadi motivasi para
pengusung propaganda baru serta para penyeru revolusi dan reformasi.
هل النبي ﷺ يضمر من وراء دعوته
الوصول الى ملك؟ أو لعله يضمر الوصول الى مستوى رفيع من الزعامة أو الغني, أو لعل
الأمر لايعدو خيالات تتراءى له بسبب مرض يعانيه.
Artinya, “Apakah Nabi Muhammad ﷺ berdakwah dengan
tujuan untuk meraih kekuasaan, atau kepemimpinan, atau kekayaan yang berlimpah?
Atau, apakah dakwahnya merupakan akibat dari penyakit yang diidapnya?”
(al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 97)
Berbagai pertanyaan itu kerap disampaikan para pelaku
perang pemikiran dan musuh-musuh Islam. Namun, betapa agung rahasia kehidupan
yang telah dipersiapkan Tuhan semesta alam bagi rasul- Nya. Allah ﷻ telah memenuhi
kehidupan rasul-Nya dengan berbagai peristiwa yang menghancurkan semua
kemungkinan itu, dan menyingkirkan segala bisikan buruk, dan membuat
musuh-musuh Islam kebingungan mencari cara yang tepat untuk menyerang dan
merendahkan Rasulullah.
Salah satu kebijaksanaan Allah ﷻ adalah
menetapkan agar kaum musyrik beberapa kali menemui Nabi Muhammad untuk
membujuknya menghentikan dakwah. Sebenarnya mereka telah memperkirakan bahwa
Rasulullah akan menolak rayuan mereka. Sebab, mereka sangat mengenal karakter
Rasulullah, tabiat dakwahnya, dan tujuan jangka panjang dari risalahnya. Mereka
tahu betul bahwa Nabi Muhammad tidak akan takluk oleh bujuk rayu mereka. Namun,
begitulah kehendak Allah, agar sejarah dapat membongkar kebohongan semua orang
yang menebarkan keraguan. Di samping itu, pelajaran yang juga penting yaitu,
kehidupan sehari-hari Rasulullah sangat selaras dengan ucapannya. Rasulullah
menampik kekuasaan dan kekayaan tidak hanya dengan lisannya. Penolakannya itu
tergambar jelas dalam sikap, perilaku, dan perbuatannya. Rasulullah makan dan
minum dengan sangat sederhana, menjalani kehidupan layaknya orang miskin.
Kedua, kejadian di atas
juga menunjukkan kebijaksanaan Rasulullah ﷺ yang telah
menjadi sifatnya. Falsafah agama ini didasarkan atas pilar-pilar kehormatan dan
kejujuran, baik dalam sarana maupun tujuannya. Tujuan hanya boleh ditegakkan
dengan kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. Sama halnya, sarana untuk meraih
tujuan itu juga harus didasari kejujuran, kehormatan, dan kebenaran. (al-Buthi,
Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 98)
Syekh al-Buthi kembali menegaskan, akan sangat keliru jika
prinsip kebijaksanaan dalam dakwah dianggap hanya digunakan untuk memudahkan
finansial juru dakwah atau demi menghindari kesulitan. Justru, rahasia
keberhasilan dakwah adalah menempuh sarana yang paling dekat dengan akal dan
pikiran masyarakat. Artinya, ketika kondisi silih berganti dan halangan serta
rintangan menghalangi jalan dakwah, maka kebijakan yang harus diambil adalah
mempersiapkan diri untuk mengorbankan harta dan nyawa. Hikmah atau
kebijaksanaan seperti yang menjadi sifat Nabi Muhammad adalah meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya.
Kesimpulannya, tidak seorang pun boleh mengubah hukum dan
prinsip Islam, atau melanggar dan meremehkan aturan-aturannya, dengan dalih
“menempuh kebijaksanaan dalam berdakwah”. Sebab, suatu kebijakan hanya disebut
bijak jika sesuai dengan aturan, prinsip, dan ketetapan syariat.
Ketiga, Rasulullah ﷺ menyikapi
tuntutan dan bujukan kaum Quraisy dengan tegas. Mereka mengajukan semua
tuntutan itu sebagai syarat agar mereka bisa mengikutnya. Sikap tegas
Rasulullah ini didukung oleh Allah ﷻ. Berkaitan
dengan hal ini, sebagaimana disebutkan semua ahli tafsir, Allah berfirman:
وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ
حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعاً أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ
نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلالَهَا تَفْجِيراً
Artinya, “Dan mereka berkata, ‘Kami tidak akan percaya
kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan air dari bumi untuk kami, atau
engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di
celah-celahnya sungai yang deras alirannya” (QS Al-Isra’: 90-91).
Alasan Allah ﷻ tidak
mengabulkan permintaan mereka bukanlah karena Rasulullah tidak diberi mukjizat
selain mukjizat Al-Qur’an, sebagaimana sangkaan sebagian orang, melainkan
karena Allah mengetahui bahwa mereka menuntut semua itu sebagai ungkapan
kekafiran, keangkuhan, dan penghinaan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini tampak
jelas dari cara mereka meminta dan mengajukan tuntutan. Seandainya Allah mengetahui
bahwa mereka jujur dan berniat baik dalam mengajukan tuntutan sebagai upaya
menegaskan kebenaran kata-kata Nabi, pastilah Allah sudah mengabulkan
permintaan mereka. Namun, sikap kaum Quraisy itu sesuai dengan karakteristik
yang digambarkan Allah dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَاباً
مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ
أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ
Artinya, “Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu
pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka
berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah
orang yang terkena sihir.” (QS Al-Hijr: 14-15)
Sunnatullah,
santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop
Bangkalan Jawa Timur.
Sumber: Ketika Rasulullah Dirayu Pemuka Quraisy
Terpopuler
1
Amalan yang Dilakukan pada Malam Nisfu Sya’ban
2
Doa Mustajab di Malam Nisfu Sya’ban yang Dibaca Syekh Abdul Qadir Al-Jilani
3
Muslimat NU Rayakan Nisfu Syaban di Kongres Ke-18 dengan Pemberian Ijazah Amalan
4
Ketua Baru PR GP Ansor Karangasem Tegal Terpilih, Siap Wujudkan Pemuda Maju dan Berkhidmat
5
Mba Ela: Mengabdi, Berprestasi, dan Berbakti di Tengah Keterbatasan
6
Lakmud PAC IPNU-IPPNU Gebog: Bangun Kontinuitas Trilogi untuk Gebog Berdedikasi
Terkini
Lihat Semua