Avika Afdiana Khumaedi
Kolomnis
Dalam kehidupan sosial, konsep "berpasangan" ini sering kali diterjemahkan secara sempit dalam bentuk pertanyaan yang kerap dilontarkan, terutama kepada mereka yang belum menikah: "Kapan nikah?". Pertanyaan ini mungkin dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian, tetapi seringkali justru menimbulkan tekanan psikologis, terutama bagi mereka yang masih dalam proses mencari pasangan atau memilih untuk menunda pernikahan karena berbagai alasan. Momen Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri menjadi waktu di mana fenomena ini semakin terasa. Kumpul keluarga yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi malah berubah menjadi sesi interogasi seputar jodoh.
Bagi sebagian orang, pertanyaan ini terasa ringan dan mudah dijawab. Namun, bagi yang merasa tertekan atau menghadapi ujian dalam perihal jodoh, pertanyaan ini bisa menjadi beban yang mengusik ketenangan hati. Dalam perspektif tasawuf, tekanan sosial semacam ini dapat disikapi dengan cara-cara yang lebih bijak, bukan dengan kegelisahan, tetapi dengan ketenangan hati dan kesadaran akan hakikat kehidupan. Tasawuf mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk jodoh, berada dalam kehendak Allah. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa hikmah, dan setiap perjalanan hidup memiliki waktunya sendiri.
ومضى فحدث أن ابن مسعود كان يقول: لو لم يبق من عمري إلا عشرة أيام أموت في آخرها لأحببت أن أتزوج ولا ألقى الله عز وجل وأنا عزب، وأن رسول الله قال: تناكحوا تناسلوا فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة، حتى بالسقط والرضيع. (قوت القلوب. أبو طالب المكي. ج:4، ص: 104. )
Artinya: “Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ūd berkata: ”Seandainya umurku tersisa hanya sepuluh hari dan aku tahu bahwa aku akan meninggal di hari terakhirnya, aku tetap ingin menikah dan tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan masih lajang." (Qūt al-Qulūb, Abū Ṭālib al-Makkī, Juz 4, Hlm 104).
Perkataan Ibnu Mas‘ūd ini menunjukkan bahwa pernikahan dalam Islam bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga bagian dari kesempurnaan agama seorang Muslim. Dalam Islam, menikah adalah sunnah yang dianjurkan karena membawa keberkahan dan menjaga kesucian diri. Ibnu Mas‘ūd bahkan menegaskan bahwa meskipun hidupnya hanya tersisa beberapa hari, ia tetap ingin menikah agar tidak bertemu Allah dalam keadaan lajang. Ini menunjukkan bahwa pernikahan memiliki dimensi spiritual yang mendalam, bukan hanya soal memenuhi kebutuhan sosial atau biologis.
Dalam kehidupan modern, banyak individu lebih memilih menunda pernikahan atau bahkan enggan untuk menikah karena berbagai alasan. Kesibukan mengejar karier, keinginan untuk menikmati kebebasan pribadi, atau faktor lain sering kali menjadi pertimbangan utama. Namun, jika dilihat dari perspektif spiritual, pernikahan bukan sekadar ikatan sosial atau pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang memiliki makna lebih dalam. Bukan hanya tentang membangun rumah tangga, tetapi juga tentang meraih keberkahan serta menjalankan sunnah yang dianjurkan dalam Islam.
Kisah para ulama dan orang-orang saleh menunjukkan bahwa pernikahan dan memiliki anak bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga merupakan investasi untuk akhirat. Dalam Islam, keluarga memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai keimanan dan membentuk generasi penerus yang saleh. Oleh karena itu, pernikahan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai tuntutan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari ibadah yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Dengan pemahaman ini, keputusan untuk menikah tidak lagi sekadar mengikuti tradisi atau tekanan lingkungan, melainkan sebagai langkah yang penuh kesadaran untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Bagi mereka yang masih ragu untuk menikah, kisah ini dapat menjadi pengingat bahwa membangun keluarga bukan hanya keputusan sosial, tetapi juga bagian dari investasi kehidupan akhirat. Dalam konteks tekanan sosial terkait pernikahan, sebagaimana yang sering muncul dalam pertanyaan “Kapan Nikah?”, kisah ini mengajarkan bahwa menikah bukan sekadar memenuhi ekspektasi masyarakat, tetapi juga memiliki makna spiritual yang lebih dalam.
Baca Juga
Jodoh: Pelengkap atau Cerminan Diri
Terpopuler
1
Tari dan Tayu, Sosok Kartini Kembar Fatayat NU dari Kendal
2
Darul Amanah FA Jaring Bintang Lapangan Lewat Seleksi Terbuka SSB dan Beasiswa 2025/2026
3
6 Fakta Sejarah RA Kartini yang Jarang Diketahui Publik
4
Peringati HKBN 2025, LPBINU Kudus Gelar Pelatihan Driver Perahu Karet untuk Perkuat Kesiapsiagaan Bencana
5
Kemandirian Kader Jadi Sorotan Ketua PW Ansor Jateng dalam Halal Bihalal PAC Ansor Gringsing
6
Tumbuhkan Jiwa Mandiri dan Disiplin, Santri Pesantren Salafiyah Kangkung Kendal Semarakkan Ekstrakurikuler Pramuka
Terkini
Lihat Semua