• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Lebih Dekat dengan KH Mohammad Hasan Pengasuh Pesantren Tanbihul Ghofilin Banjarnegara

Lebih Dekat dengan KH Mohammad Hasan Pengasuh Pesantren Tanbihul Ghofilin Banjarnegara
Almaghfurlah KH Mohammad Hasan Pengasuh Pesantren Tanbighul Ghofilin Banjarnegara Foto: Dok)
Almaghfurlah KH Mohammad Hasan Pengasuh Pesantren Tanbighul Ghofilin Banjarnegara Foto: Dok)

Setiap Ahad Kliwon pagi kawasan Pesantren Tanbihul Ghofilin sangat ramai oleh puluhan ribu jamaah yang datang dari berbagai penjuru di Kabupaten Banjarnegara. Dalam pengajian setiap selapan banyak dikupas tentang mengingatkan kembali ilmu agama Islam dengan mengkaji kitab seperti Tanbihul Ghofilin, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain. Dulu, pengampu pengajian ini adalah KH Moh Hasan (alm). Kini, pengajian utama dan kepengasuhan pesantren diteruskan oleh putra putri KH Moh Hasan.


KH Mohammad Hasan lahir pada Jumat Kliwon 1 Januari 1932 M. Sedari kecil ia telah dididik dengan pendidikan agama yang ketat oleh kedua orang tuanya. Menginjak dewasa ia kemudian menuntut ilmu ke pesantren di Tuban, yakni Pesantren Raudhatut Thalibin (Tanggir) Singgahan, setelah berguru kepada KH Muslih atau KH Soim. Lepas dari Tuban ia kemudian mondok ke Ma’had Al-Ihsan Jampes Kediri Jawa Timur yang diasuh KH Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi. Syekh Ihsan bin Muhammad Dahlan (1901- wafat 15 September 1954) adalah seorang kiai tradisional produktif mengarang kitab seperti kitab Sirajut Thalibin, Tasrihul Ibarat, Minhajul Imdad, Irsyadul Ikhwan fi Bayani al-hukmu al-qohwa wad dukhan.


Belum puas menuntut ilmu dari Kediri, KH Mohammad Hasan kemudian melanjutkan ke Pondok Soditan, Kecamatan Lasem, Rembang yang diasuh KH Maksum serta Pesantren Mbah Cholil Kabupaten Bangkalan. Tahun 1954 KH Mohammad Hasan pulang dari pesantren Tuban dan kemudian mendirikan bangunan kecil kira-kira empat kamar berukuran 7 x 12 meter, untuk tempat tinggal anak-anaknya, juga untuk mengaji dan belajar kitab. Ini menarik minat anak-anak di sekitarnya.
 

Seiring berkembangnya waktu, karena masyarakat masih minim pengetahuan agama Islam dan Banjarnegara pada waktu itu terkenal sebagai daerah abangan, KH Mohammad Hasan mulai memberikan pelajaran dasar keislaman kepada masyarakat. Dari bagaimana cara berwudhu, shalat, dan sebagainya. Di pondok ini juga dilakukan pengobatan gangguan jiwa, karena banyak masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. 


Salah satu putra KH Mohammad Hasan yakni KH Chamzah Hasan menceritakan, kebetulan sejak dari pesantren bapaknya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit gila dan melalui pengobatan itu banyak yang sembuh. “Setelah sembuh, pasien ingin berbakti kepada Allah SWT. Mereka telah diingatkan, karena sebelumnya lupa. Lalu muncullah kalimat ‘Tanbihul Ghofilin’ yang artinya mengingatkan orang-orang yang lupa. Kemudian kedua kata ini dijadikan sebagai nama pesantren,” ujar KH Chamzah Hasan pengasuh pesantren sekarang.


Seiring perkembangan waktu, pada saat geger 1965 banyak orang yang berlindung di Pesantren Tanbihul Ghofilin sambil mempelajari ilmu hikmah. Mulailah nama pesantren ini dikenal oleh berbagai kalangan dan santri mulai berduyun-duyun datang. Para santri pria dan wanita ditempatkan di asrama. Amalan rutin dari KH Mohammad Hasan adalah selalu shalat berjamaah di masjid yang ada di dalam kompleks pesantren. Selain itu ia juga mendawamkan mandi malam dan berlanjut dengan shalat tahajud.  


Hal yang menarik dari KH Mohammad Hasan adalah dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi seorang penggembala umat.  “Pola kepemimpinan ala Rasulullah SAW yang diajarkan adalah menjadi seorang penggembala. Ya bisa ngarit (mencari rumput-red), ya bagaimana memelihara kambing yang banyak, namun tidak pernah nedhak (melanggar). Jadi itu menggambarkan, ketika kita hidup di kehidupan umum tentunya (bukan saya menyamakan manusia dengan kambing, tidak). Maksudnya, ketika bisa mengatur kambing maka kita bisa mengatur manusia. Jadi itu yang sangat luar biasa. Dan membentuk saya, tidak harus bisa mengaji saja. Jadi Abah yang paling luar biasa itu adalah mendidik saya menjadi anak yang ‘persegi’. Bukan menjadi anak yang ‘mligi’. Mligi itu biasanya hanya mengaji saja. Tapi kalau persegi khan, ngaji bisa, politik bisa, ekonomi jalan artinya ilmu komplit. Semua serba bisa,” kata KH Khayatul Makii putra kedua yang sekarang membuka Pesantren Alif Ba Mantrianom.


Dalam hal cita-cita, KH Mohammad Hasan membekali anak-anaknya dengan filsafat ‘Niat ingsun nandur pring, muga-muga cilik kena kangge suling, gedhe kena gawe lodhong.’ (niat saya menanam bambu. kecil bisa menjadi suling, kalau sudah besar akan menjadi tempat membawa air). Artinya, bahwa bambu itu ketika dibiarkan maka bambu itu sebatas sebagai gedhek atau bahkan sebagai alat untuk memasak. Tapi ketika bambu kecil itu dirawat dengan luar biasa, maka akan menghasilkan suara atau nada yang sangat indah. Jadi ketika kecil saja bermanfaat, apalagi kalau besar, tentu lebih bermanfaat.


KH Mohammad Hasan adalah seorang yang arif dan hidup sederhana dalam kesehariannya. Sering bersilaturahim dan dekat dengan masyarakat serta ulama sekitar. Dalam hal rejeki, KH Mohammad Hasan tidak pernah merasa takut dengan rejeki. “Jangan kalah sama kepompong dan nggaranggati. Kepompong mati meninggalkan rumah dan nggaranggati tetap bisa hidup. Apalagi kita manusia yang diberi akal dan fikiran pasti dijamin rejekinya oleh Allah SWT,” kata KH Mohammad Hasan suatu ketika.
     

Amaliyah rutin sang kiai ini adalah rajin shalat malam dan shalat berjamaah di masjid yang berada di sebelah barat pondok. Uniknya, walau dahulu bangunan masjid terpisah oleh sungai bahkan sering banjir ketika hujan deras, sang kiai tetap istiqamah berjamaah di masjid, padahal lokasi masjid terpisah oleh sungai.


Sang kiai ini ternyata mengarang sebuah kitab kumpulan doa untuk penyembuhan dan menolong orang lain. Kitab kumpulan doa ini tersimpan hanya untuk keluarga dan tersimpan rapi oleh KH Khayatul Maki. Kitab kumpulan doa ini terbilang unik, sebab hanya diberikan saat umroh terakhir KH Mohammad Hasan di Makkah. Saat di Masjidil Haram ia memanggil semua putranya dan memberikan kitab ini kepada Gus Hayat untuk diamalkan, seolah ini menandakan pesan bahwa KH Mohammad Hasan akan segera berpulang. Tepat, tidak berapa lama pulang dari Makkah, ia jatuh sakit.  


KH Mohammad Hasan wafat pada Selasa Legi 25 Desember 2007 (15 Dzulhijjah 1428 H) pada usia 75 tahun dan di makamkan di dalam kompleks Pesantren Tanbihul Ghofilin, Mantrianom, Kecamatan Bawang, Banjarnegara Jawa Tengah. Ia meninggalkan tujuh putra-putri yakni Siti Chamdah, KH Mohammad Chamzah Hasan, KH Khayatul Maki, Siti Khimaroh, Gus Hakim An-Naishaburi, Mustangin (alm), dan Zulaikha.  


Pengirim: Aji  Setiawan
Editor: M Ngisom Al-Barony
 


Tokoh Terbaru