• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 18 April 2024

Tokoh

HARI SANTRI 2021

Kiai Masrochan, Tekun Bina Masyarakat sampai Dirikan Pesantren

Kiai Masrochan, Tekun Bina Masyarakat sampai Dirikan Pesantren
Almaghfurlah Kiai Masrochan (Foto: Dok)
Almaghfurlah Kiai Masrochan (Foto: Dok)

Momen Hari Santri adalah momen melakukan refleksi peran santri dari masa ke masa membina masyarakat yang agamis dan menjaga kedaulatan negara. Kiranya kurang tepat jika hari spesial ini hanya dijadikan momen seremonial dan nostalgia atas sejarah resolusi jihad yang dicetuskan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari.

 

Untuk itu, redaksi NU Online Jateng berusaha menampilkan santri yang berhasil dalam membina masyarakat. Kali ini, NU Online Jateng menguraikan tentang santri yang berhasil membina masyakat menuju tatanan kehidupan yang religius, yakni Kiai Masruchan.

 

Kiai Masrochan lahir pada 30 September 1965 dan wafat 10 Maret 2016 adalah salah satu contoh santri yang taat terhadap guru dan tekun membina masyarakat. Atas perjuangan tersebut, ia berhasil mendirikan Pesantren Durrotu Ahlissunnah Wal-Jama'ah (Durrotu Aswaja/PPDA) di Desa Banaran, Gunungpati, Kota Semarang.

 

Sepupu dari istri Kiai Masrochan, Mukhlis menceritakan, Kiai Masrochan hidup yatim sejak kecil, Masruchan kecil diasuh oleh saudara dari ibunya di Mranggen. Masa itu, Masrochan kecil memang masih suka bermain dan lupa waktu sebagaimana lazimnya anak kecil. "Nate mondok ten gene Mbah Ibrahim Brumbung (Guru tarekat KH Muslih bin Abdurrahman), terus ten Mbah Yai Masruhan Mranggen nggeh nate, tapi ra kerasan, ora cocok, terus mulih," kata Mukhlis kepada NU Online Jateng. 

 

Sejak saat itu, Masruchan kecil tidak tentu arah, lebih suka bermain dan lupa waktu pulang hingga di suatu ketika ia bertemu dengan KH Syaikhun di Pasar Mranggen. Kemudian oleh Kai Syaikhun ia diajak ke pesantren Taqwal Ilah Desa Tunggu, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Di tempat itulah ia menempa diri sebagai santri yang berkhidmah dan menimba ilmu dari Kiai Syaikhun.

 

Kiai Syaikhun adalah salah satu Khalifah dari KH Muslih bin Abdurrahman Mranggen dalam tarekat Qadiriyah wan-Naqsabandiyah. Kiai Syaikhun sebagai guru menjadi sandaran hidup Masrochan kecil. Di pesantren yang ada di Desa Tunggu, Kecamatan Tembakang, Masruchan kecil mampu membuktikan baktinya kepada guru selayaknya orang tua sendiri.

 

"Manut banget kalih Pak Yai Syaikhun. Gawa gedang, gori, wes opo wae soko kebon dipanggul dewe soko Tunggu tekan Pasar Mranggen, nek wes payu duite diwenehke Mak Nyai kabeh, ora diitung, wes langsung diserahke," urainya.

 

Masrochan kecil bukanlah tipe santri yang banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Kehidupannya lebih banyak untuk membantu keluarga gurunya, Kiai Syaikhun dalam mengurus kebun dan sawah. "Ora pernah ngaji itungane, olehe nyantri ki luwih akeh gawe daleme Mbah Yai Syaikhun, isine ya ning kebon, sawah," paparnya.

 

Kiai Masrochan tidak hanya sebatas dekat dengan gurunya, bahkan menurut Kiai Agus Ramadhan, Kiai Syaikhun mengangkat Kiai Masrochan sebagai putra, dianggap anak pertama. "Abah juga diangkat putro kalih Mbah Yai Syaikhun. Makanya dalam acara Bani Syaikhun tidak hanya selalu ikut kegiatan tapi juga ikut narik tuan rumah pengajian pertemuan keluarga Bani Syaikhun," katanya.

 

Selain taat terhadap titah guru, menurut Mukhlis Masruchan kecil juga dikenal sebagai santri yang tangguh dalam belajar. Terbukti dengan ketekunannya menyalin kitab besar demi bisa tetap mengaji. "Nek ora duwe duit gawe tuku kitab sing gede-gede ya nyilih kancane, ditulis dewe gawe ngaji," bebernya.

 

Mukhlis melanjutkan, mulanya warga Banaran tidak begitu mengenal agama. Kiai Masrochan yang sudah mentas dari pondok menikah dengan warga Banaran dan mulai mengamalkan ilmunya dengan mengajar di teras rumah dan di mushala yang ada di Desa Banaran. Waktu itu Universitas Negeri Semarang (Unnes) masih berada di Kecamatan Gajahmungkur. "Riyen warga durung do reti agama, Unnes ya durung ono ning kene, ijeh nang ngisor kono," kata Muchlis. 

 

Dari kegigihan itulah ilmu Kiai Masrochan menjadi semakin bermanfaat ketika Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Semarang pindah ke Desa Banaran dan berganti menjadi Unnes pada tahun 2000, "Mulai akeh mahasiswa sing ngaji terus wong kampunge mulai do geser soko sitik," terangnya.

 

Saat itu lanjut dia, Kiai Masrochan dengan tekun mengajar anak muda maupun orang tua. Ilmu alat seperti nahwu dan sharaf mulai diajarkan, pun demikian dengan akidah dan fiqih. Kiai Masrochan memiliki peran penting dalam membangun pondasi keagamaan masyarakat. 

 

"Nek wong tuo ya ngajine sing gampang-gampang, dungo karo amalan-amalan sing nyemangati ibadah, fadhailul a'mal ngono kae, ora kuat nek nahwu shorof kados cah nom," ungkapnya.

 

Secara keilmuan, Mukhlis juga murid Kiai Masrochan semasa membina masyarakat. Selain itu, juga pernah satu pondok semasa nyantri di Pesantren Taqwal Ilah Tunggu, Kecamatan Tembalang. "Pak Mukhlis niku sepupu dari Ibu mertua saya, sepupune morosepah kulo, Mak Yai, sekaligus pak Mukhlis niku muridnya Abah Masrochan, bahkan semua kiai yang ada di Banaran merupakan murid beliau," kata Pengasuh Pesantren Durrotu Aswaja Kiai Agus Ramadhan.

 

Sepak terjang Kiai Masrochan nampaknya membuat Rektor pertama Unnes, (almarhum) Prof Dr H Rasdi Ekosiswoyo saat itu tertarik dan mendukung perjuangan dakwah Kiai Masruchan. Rektor yang mengubah Institut Keguran dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri menjadi Unnes itu pun memberikan sebidang tanah untuk ikut dijadikan pesantren. 

 

Terkait hal ini, penulis beberapa kali mendengar langsung dari Prof Rasdi yang mengaku bangga telah bisa berkontribusi untuk Nahdlatul Ulama (NU) melalui pendidikan pesantren. "Alhamdulillah nang, aku iso menehi tanaf kanggo Kiai Masrochan gawe pondok, elek-elek ngene aku ki ya warga NU kok, kudu iso kontribusi kanggo NU," tuturnya.

 

Kontribusi lainnya terhadap NU, Prof Rasdi menyebut sewaktu menghadap presiden terpilih, dia yang diundang ke istana presiden mendapatkan tawaran sebagai menteri pendidikan. Namun sebagai syarat, staf presiden menanyakan kartu anggota (Kartu tanda anggota Muhammadiyah) yang langsung dia nyatakan tidak mau menjadi menteri pendidikan jika harus mengurus KTA Muhammadiyah. "Lha wong aku iki warga NU kok kon ngurus KTA Muhammadiyah, aku yo emoh," ujarnya kepada staf Presiden.

 

Merasa dirinya sebagai warga NU yang mengikuti amaliah maupun kebijakan NU, karena itu Prof Rasdi memilih tetap menjadi rektor namun tetap bisa membantu warga NU daripada jabatan menteri tapi harus mencari KTA Muhammadiyah.

 

"Ora dadi menteri yo ora pateken. Akeh warga NU sekitar kampus sing tak oyaki kuliah ning Unnes. Lha ono kampus negeri kok warga ora gelem kuliah alasane ora duwe duit. Wes angger tak oyaki, pokoke daftar sik, iso kuliah ben pinter. Urusan administrasi ngono kuwi nyusul, iso diurus beasiswane," ucapnya waktu itu.

 

Perjuangan Kiai Masrochan membangun basis keagamaan masyarakat pada cukup pesat, dimulai dari 1986 yang hanya diikuti warga kampung, pada tahun 1987 atau dalam waktu setahun sudah banyak santri dari luar kota dengan ciri khas pesantren salaf.

 

Saat pesantren Durrotu Aswaja berdiri, banyak mahasiswa Unnes yang memilih nyantri dengan Kiai Masrochan, terlebih bagi yang telah mengenyam pendidikan pesantren semasa sekolah. "Soyo suwe akeh mahasiswa sing melu ngaji, wargane sing ngaji mulai bergeser, akhire sampai dadi pondok iki, sayange pas lagi meh mulai berkembang malah sedo," ucap Kiai Agus Ramadhan.

 

Beruntung, warga yang telah mentas mampu melanjutkan perjuangan Kiai Masrochan di mushalla yang ada. Selain itu, ada wakaf yang semula diberikan ke pesantren dialihkan untuk Madrasah Diniyah (Madin) dan Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) sebagai tempat para santri Kiai Masrochan mengamalkan ilmunya.

 

Menurut menantu Kiai Masrochan yang saat ini melanjutkan perjuangan di Pesantren Durrotu Aswaja, ketika Kiai Masrochan meninggal muncul wacana untuk dimakamkan di Watusari sekaligus mendirikan pondok cabang. Desa ini jauh dari Banaran, sebab melewati Desa Sekaran, Patemon, Ngijo. Namun pada akhirnya dimakamkan bagian selatan Unnes. 

 

"Riyen makam niku kesane angker, sepi, tapi alhamdulillah sekarang ramai ada santri yang ziarah, kadang juga santri tahfidz tirakatan darusan di sana, apalagi malam Jumat Kliwon dan ada jadwal ziarah khusus," pungkasnya.

 

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat
Editor: M Ngisom Al-Barony


Tokoh Terbaru