Regional

Seniman, LTM PWNU Jateng, dan LazisMU Gerakkan Solidaritas melalui Seni di Desa Apung Timbulsloko Demak

Rabu, 3 September 2025 | 20:00 WIB

Seniman, LTM PWNU Jateng, dan LazisMU Gerakkan Solidaritas melalui Seni di Desa Apung Timbulsloko Demak

Acara Lentera Cerita di desa apung Timbulsloko Demak.

Demak, NU Online Jateng

Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, yang kini dikenal sebagai "desa apung" karena ditelan banjir rob, menjadi saksi kepedulian lintas komunitas melalui bahasa seni. Ahad (31/8/2025) sore, ratusan warga tumpah ruah di halaman Masjid Al Ikhlas mengikuti gelaran “Lentera Cerita: Merekam Jejak Budaya dan Kepedulian Sosial Suara Warga di Desa Tenggelam Timbulsloko".

 

Acara ini digagas oleh komunitas Santri Bajingan bersama Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Sadaqah Muhammadiyah (LazisMU) Jawa Tengah, Lembaga Takmir Masjid (LTM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Demak, Pesantren Sastra, dan Suluh Ar-Rosyid. Para seniman, budayawan, hingga pegiat sosial bersatu menghadirkan pertunjukan seni yang sarat pesan kemanusiaan.

 

Ketua penyelenggara, Beno Siang Pamungkas, menegaskan bahwa kegiatan tersebut lahir dari kepedulian mendalam terhadap warga pesisir yang bertahan hidup di tengah genangan.

 

“Semoga aksi kecil ini mampu mengangkat semangat saudara-saudara kita. Mereka yang memilih bertahan di tanah kelahiran telah memberi teladan kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan. Seni adalah jembatan yang bisa menyuarakan harapan mereka,” jelas pengasuh Pesantren Sastra itu.

 

Desa yang Perlahan Hilang

Dalam kurun dua dekade, wajah Timbulsloko berubah drastis. Sawah dan ladang produktif lenyap, rumah-rumah penduduk tergenang, jalan darat putus, hingga perahu menjadi satu-satunya akses. Nasib serupa juga menimpa sedikitnya sepuluh desa lain di Kecamatan Sayung.

 

Tokoh masyarakat Timbulsloko, Shobirin, mengaku tersentuh dengan hadirnya Lentera Cerita.

 

“Sejak desa kami ditenggelamkan rob, hampir tak ada hiburan. Baru kali ini anak-anak bisa melukis, bernyanyi, dan tertawa bersama. Kehadiran seni seakan membuka dunia baru penuh warna, tawa, dan harapan,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Ia menambahkan, warga banyak kehilangan rumah, sawah, bahkan kenangan masa kecil. Seni memberi ruang untuk sejenak melupakan duka sekaligus menumbuhkan harapan.

 

Direktur LazisMU Jateng, Ikhwanu Shoffa, menegaskan bahwa seni adalah bahasa universal yang mampu menembus sekat.

 

“Ketika kemanusiaan dicabik ketidakadilan, Sayung menjawab dengan teriakan budaya. Suara keras itu ditujukan pada mereka yang selama ini menutup telinga,” ungkapnya penuh penekanan.

 

Acara dipandu Lukni Maulana dan menghadirkan deretan seniman lintas generasi. Para penyair seperti Syarief Rahmadi, Slamet Unggul, Ali Ahmadi, Chotrex Creatio, Agung Wibowo, dan Maulid Ndalu membacakan puisi yang menggugah, mencerminkan keteguhan warga pesisir.

 

Monolog yang dibawakan Roely Slamet menyedot perhatian dengan kisah pejabat yang lihai berjanji namun abai setelah berkuasa, sebagai kritik sosial yang dirasakan dekat dengan kenyataan warga.

 

Pelukis Soleh Ibnu memamerkan karya lukisan masjid tenggelam, simbol nyata desa yang perlahan hilang. Anak-anak turut melukis bersamanya, menghadirkan kebersamaan sekaligus asa baru.

 

Musisi Mere Naufal melantunkan lagu yang mengisahkan pilu kehidupan warga Timbulsloko, sementara Band Kaukab menghidupkan semangat dengan lagu andalan Aqoid Seket serta musik persaudaraan dan perjuangan.

 

Selain itu, fotografer Christian Saputro dan Ahmad Norsa serta videografer Syamsul Ma’arif dan Farid bersama tim LTM NU Jateng mendokumentasikan momentum bersejarah ini. Agus Munif melengkapi dengan sesi Cerita Kampung, menyalakan kembali suara-suara warga yang jarang terdengar publik.

 

Acara ditutup dengan penuh suka cita. Sebanyak 112 doorprize dibagikan, membuat anak-anak dan orang dewasa larut dalam kegembiraan. Senyum merekah di wajah warga, sebuah pemandangan langka di tengah desa yang dikepung rob.

 

Lentera Cerita bukan hanya sekadar pergelaran seni, melainkan lentera harapan. Ia menjadi pengingat bahwa solidaritas dan kepedulian bisa dinyalakan dari ruang-ruang sederhana, namun mampu memberi cahaya bagi mereka yang terus berjuang mempertahankan tanah kelahiran.