• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Penangkapan Anggota MUI dan Dilemanya Kini

Penangkapan Anggota MUI dan Dilemanya Kini
Ilustrasi (Foto: Googleimage)
Ilustrasi (Foto: Googleimage)

Tercatat berbagai media memberitakan bahwa tiga anggota MUI (Majelis Ulama Indonesia), yaitu Farid Okbah, Anung Al-Hamad, dan Zain An-Najah yang ditangkap oleh Densus 88 (Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri) pada Selasa (16/11/2021). Jelas, bahwa perkara ini menggemparkan seluruh masyarakat, khususnya bagi umat Muslim di Indonesia. Mereka bertiga ditangkap oleh pihak terkait, lantaran telah melakukan tindak pidana terorisme yang berupa penggalangan dana untuk melaksanakan kegiatan terorisme melalui JI (Jamaah Islamiyah).

 

Dilansir dari NU Online Rabu (17/11/2021), kasus ini langsung mendapat respon cepat dari KH Miftachul Akhyar selaku Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. “Bahwa keterlibatan yang bersangkutan dalam jaringan terorisme merupakan urusan pribadinya. Jadi, tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. MUI menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat penegak hukum dan meminta agar aparat berkerja secara profesional dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan dipenuhi hak-hak yang bersangkutan untuk mendapatkan perlakuan hukum yang baik dan adil,” terang Kiai Miftach

 

Setelah kabar yang dikemukakan di atas, saya pun merasa miris merasakan masalah ini, mengapa? Hal ini sungguhlah tidak etis apabila anggota-anggota MUI yang notabenenya mereka adalah seorang yang dianggap mampu merumuskan aturan maupun fatwa mengenai permasalahan umat Islam Indonesia, malah menjadi seorang teroris yang jelas mereka ingin merusak keanekaragaman agama, budaya, dan aspek lainnya dengan sistem pemerintahan Islam. Terlebih lagi, salah satu dari ketiga terduga teroris tersebut, yaitu Zain An-Najah adalah anggota Komisi Fatwa MUI. 

 

Dilemanya Kini

 

Tidak dipungkiri lagi bahwa segala perkara yang ada akan berdampak kepada aktor maupun pihak terkait dan terlibat. Begitu juga dalam perkara anggota MUI yang diciduk oleh Densus 88 ini, MUI sudah menyerahkan sepenuhnya permasalahan ini kepada pihak kepolisian. Namun, ada dampak lain yang kembali muncul ke permukaan yang dilatarbelakangi oleh penangkapan anggota MUI sebagai tersangka tindak pidana terorisme. Di satu pihak akan ada masalah yang berkaitan tentang moderasi beragama dan persoalan mengenai kelompok fundamentalis dan neo-fundamentalis Islam di Indonesia yang tiada ujungnya.

 

Masalah moderasi beragama kiranya akan muncul lagi. Terindikasinya anggota-anggota kelompok fundamentalisme Islam di MUI menjadi kambing hitam dalam masalah ini. MUI yang notabenenya lembaga tersebut harusnya dapat menggelorakan harmonisasi antar umat beragama di seluruh Indonesia guna terwujudnya moderasi beragama sebagai wujud Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin, justru sebaliknya anggota tersebut memberikan coretan buruk terhadap MUI karena tindakan terorisme yang jelas berbenturan dengan Islam yang ramah dan Pancasila tentunya.

 

Masalah ini mungkin akan bermuara kepada citra kelembagaan MUI khususnya dan umat Islam di Indonesia umumnya, juga asumsi agama-agama lain mengenai Islam akan terasa lagi di mana terorisme akan memberikan justifikasi kepada agama Islam. Islam akan dipandang sebagai agama yang keras dan marah-marah karena tindakan sadis yang berwujud pengebomman tempat ibadah agama lain. Terlebih lagi, citra buruk Islam yang dikonstruksikan oleh bangsa Barat, khususnya Amerika Serikat terhadap Islam yang berangkat dari peristiwa “nine one-one” (911) di mana Islam adalah agama yang ekstrem.

 

Nilai Luhur Islam

 

Kiranya, dalam hemat saya MUI dan seluruh umat Islam di Indonesia bersatu padu mensyiarkan kembali ajaran-ajaran dan nilai-nilai luhur Islam yang terakulturasi dengan budaya atau tradisi bangsa seperti yang digelorakan oleh Walisongo dulu. Meminjam istilah Gus Dur mengenai “pribumisasi Islam” yang mana dalam pemikirannya ini, Gus Dur mengajak kita untuk mengupayakan sebuah “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan budaya agar budaya tersebut tidak hilang dan meminta kepada umat Islam untuk memahami wahyu Tuhan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual.

 

Kemudian, didapatinya anggota teroris di tubuh MUI menandakan bahwa persoalan mengenai kelompok-kelompok fundamentalis Islam di Indonesia tiada habisnya dan sewaktu-waktu dapat muncul bagaikan bom waktu. Hal ini tentunya menjadi masalah besar bagi Indonesia dan berbagai negara-negara Muslim di dunia. 

 

Menurut Fazlur Rahman, seorang intelektual Islam kontemporer asal Pakistan, yang menilai bahwa kemunculan kelompok neo-fundamentalisme di negeri-negara Muslim di dunia tidak memberikan alternatif atau tawaran yang baik tentang masa depan Islam. Karena mereka mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yaitu mendorong kita kepada pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap khazanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan pemikiran alternatif. 

 

Analisis Fahzlur Rahman di atas memang benar, kelompok-kelompok neo-fundamentalis cenderung menutup ruang intelektual dan membuka kenormatifan mereka dalam memahami nash sebagai mata air utama dalam ajaran Islam. Sedari itu, mereka menolak tradisi-tradisi luhur bangsa Indonesia yang mana tradisi tersebut adalah sarana untuk mempersatukan bangsa meski nampak berbeda.

 

Terakhir, tentu sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan “reboisasi” pemahaman mengenai Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Kemudian penguatan nilai-nilai luhur tradisi (local wisdom) juga harus intens dilaksanakan di berbagai institusi publik untuk mencegah tersebarnya paham radikalisme. Pengetahuan dan implementasi mengenai moderasi beragama menjadi indikator penting dalam perkara ini demi mencerahkan wajah agama Islam di Indonesia kini dan seterusnya. Sekian.
 

 

Fahrul Anam, Ketua Lembaga Pers, Penelitian, dan Informasi PMII Komisariat Raden Mas Said Sukoharjo.


Opini Terbaru