• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Kemandirian Organisasi dan Akuntabilitas Pemerintah

Kemandirian Organisasi dan Akuntabilitas Pemerintah
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Netralitas pemerintah terhadap hajatan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) diharapkan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kepada Presiden Joko Widodo. Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Tsakuf juga menyatakan setuju dengan harapan tersebut agar pemerintah bersikap netral dalam muktamar. 

 

Sikap demikian tentu sangat positif untuk membangun kembali kemandirian organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di tanah air dalam mengambil keputusan terbaik bagi organisasi tersebut. Dalam Islam, pemerintah disebut sebagai umara, dan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan tersebut yang pemimpin dan anggotanya para kiai disebut sebagai ulama. Umara dan ulama adalah dua golongan besar yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat suatu bangsa. Jika keduanya baik maka baiklah seluruhnya, begitu pula sebaliknya.

 

Umara dan ulama memang memiliki tugas yang berbeda, terlebih di negara Republik Pancasila yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Dalam konsep negara Pancasila, agama menjadi inspirasi bukan sebagai aspirasi. Nilai-nilai akhlak mulia dalam agama menjadi inspirasi dalam membangun moralitas bangsa yang majemuk. 

 

Nilai-nilai akhlak mulia yang dapat menjadi moralitas bangsa adalah nilai kejujuran, nilai memegang teguh amanah dan menepati janji, bersikap tolong menolong dalam kebaikan, bersikap adil kepada diri sendiri dan sesama, serta berkelanjutan dalam berbuat baik atau al-ihsan. 

 

Nilai-nilai tersebut adalah bersifat universal atau menyeluruh bagi terbangunnya moralitas bangsa yang kuat dan kokoh, yang pada gilirannya juga dapat memperkokoh bangunan peradaban yang agung bagi sebuah negara. Negara-Negara yang kuat dan besar di dunia telah menerapkan nilai-nilai universal tersebut dengan konsisten dalam peraturan perundang-undangan negara dan ditaati oleh aparatur pemerintah dan rakyatnya. Misalnya negara Amerika, negara barat pada umumnya serta China menerapkan nilai universal agama tersebut dengan bahasa mereka seperti penerapan nilai akuntabilitas, transparansi, taat pada asas dan hukum yang berlaku, kesamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum dan undang-undang yang mereka berlakukan di negaranya.  

 

Negara-negara maju tersebut memang bukan negara agama, bahkan sebagai negara sekuler, namun mereka secara tidak langsung mengadopsi nilai-nilai universalitas agama tersebut dalam konstitusi negara mereka, sehingga negaranya menjadi negara maju. Sedangkan di negara-negara berkembang di dunia, umumnya penduduknya mengaku beragama. Namun sepertinya secara umum agama baru dalam taraf identitas semata, belum sampai pada taraf menjalankan nilai-nilai agama secara universal. Barangkali yang dijalankan baru dari aspek vertikal, hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan ajaran agama yang mengatur hubungan manusia dengan sesama masih belum maksimal dilaksanakan. 

 

Nampak di negara-negara berkembang, tempat ibadah penuh sesak jamaah. Namun di sektor publik, masih terlihat Ketidakteraturan disiplin penggunanya. Tentu banyak contoh praktik Ketidakteraturan disiplin yang terlihat dalam sektor publik mulai dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme sampai pada membuang sampah yang tidak pada tempatnya. Praktik semacam ini adalah tidak selaras dengan nilai-nilai universalitas agama. 

 

Karena itu, sikap netralitas pemerintah dalam permusyawaratan tertinggi organisasi kemasyarakatan harus dimaknai sebagai upaya membangun ceck and balance sistem pemerintahan yang baik. Bahwa kekuasaan cenderung korup. Untuk itu diperlukan kontrol sosial yang kuat dan efektif dari masyarakat. Dan ini akan terlaksana jika kedudukan organisasi kemasyarakatan juga kuat dan mandiri sehingga terdapat keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat. 

 

Namun apabila organisasi kemasyarakatan tidak dapat mandiri, maka akan mudah dijadikan sebagai 'alat politik' bagi pemerintah untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakannya yang kadang 'kurang bijak' agar diterima masyarakat. Wallahu a'lam

 

H Mohammad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah 


Opini Terbaru