• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 1 Mei 2024

Opini

JELANG MUKTAMAR KE-34 NU

Syuriyah Tanpa Rais Permanen

Syuriyah Tanpa Rais Permanen
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang akan dilaksanakan pada penghujung tahun 2021 di Provinsi Lampung dalam berbagai forum diskusi skala kecil atau besar sebagai bentuk kepedulian warga NU untuk mempertahankan nilai luhur yang telah tertuang dalam qanun asasi. Tidak cukup menyoroti calon ketua umum sebagai pelaksana keputusan muktamar atau meneruskan perintah syuriyah,  tetapi pentingnya penguatan terhadap syuriyah itu sendiri.

 

Menurut hemat penulis, syuriyah lembaga yang sangat sakral untuk diperbincangkan sosoknya. Sebetulnya lebih penting diikhtiari agar kelembagaan syuriyah lebih kuat didengarkan sebagai pengambil kebijakan daripada Ketum PBNU. Karena syuriyah menurut AD/ART NU merupakan pemimpin tertinggi NU, segala petuah dan keputusannya harus dihormati oleh warga NU. Dengan demikian, tugas yang diembannya menjadi sangat berat. Karena itulah, dibutuhkan prnguatan kelembagaan syuriyah yang lebih berbobot ini untuk mengemban amanah tersebut. 

 

Tidak mengurangi keta'dziman terhadap para ulama (kiai yang alim, alamah)  tentang kriteria syuriyah tidak akan jauh dari 4 kriteria yang perlu dimiliki oleh pengurus syuriyah, karena ini bukan hanya sekadar jabatan kepengurusan tertinggi di NU, tapi  merupakan maqam atau kedudukan khusus untuk seseorang yang memiliki kualifikasi yang memadai, maka sangat tidak etis untuk  diperebutkan, tapi harus dicari orang-orang yang memiliki kualifikasi dan layak disebut sebagai shahibul maqam. 


Empat Kriteria Pokok

 

1. Faqih
Artinya syuriyah harus mendalam penguasaan keagamaannya, terutama dalam ilmu fiqih. Karena syuriyah lah yang mengarahkan jalannya organisasi tertinggi, termasuk dalam hal keagamaan. 

 

2. Munadzim
Artinya syuriyah harus faham dalam tata cara mengelola organisasi NU, dengan berlandaskan AD/ART juga Pedoman Organisasi (PO)nya, karena NU merupakan organisasi besar dan syuriyah merupakan nahkoda yang membawa organisasi ini ke mana arahnya. Oleh karena itu dia harus memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup untuk dapat menjalankan roda organisasi, bukan kader karbitan yang mendadak bertengger di level nasional. Karena sesungguhnya lembaga tanfidziyah itu hanya pelaksana tugas syuriyah. Sehingga lembaga syuriyah harus memahami tata laksana manajemen organisasi sejak dari level bawah. 

 

3. Muharrik
Karena NU merupakan gerakan ulama untuk memperbaiki umat dan negara atau  harakah al-ulama fi ishlah al-ummah wa ad-daulah. Karena itu keputusan syuriyah harus bisa membangkitkan pergerakan seluruh jaringan di NU.

 

4. Mutawwari'
Orang yang terjaga baik pergaulannya, perilakunya, makanannya, atau sikap  politiknya lebih spesifik yang sudah tidak mempunyai syahwat politik.

 

Kolektifitas Syuriyah

 

Dari uraian kriteria tersebut penulis berkeyakinan bahwa idealnya kelembagaan syuriyah merupakan pengemban amanat tertinggi dari muassis dan muktamirin,  karena pemenuhan 4 kriteria tersebut tidak mudah didapati secara sempurna pada akhir dekade terakhir ini sehingga patut sangat diperhatikan kecakapan seseorang menguasai ilmu tidak ada jaminan untuk wira'i. Sosok seperti kiai kiai sepuh yang tabakhur dan tawarru' jauh dari hingar bingar kehidupan duniawiyah ini sudah mulai tidak terlihat karena saking masturnya.

 

Alangkah sangat kuatnya ketika lembaga syuriyah ini dijadikan lembaga yang sakral dan diduduki oleh para masyayih atau majelis syuyuh yang keanggotaannya ditentukan oleh kelembagaan itu sendiri dan diangkat lewat istikharah atau suara langit. Karena sangat kompleknya kebutuhan untuk perlindungan dan pemenuhan kebutuhan warga NU, majelis syuriyah beranggotakan 40 orang dengan kualifikasi yang ketat dan menunggu suara langit dari para kiai yang waro' dan tidak diragukan keistimawaanya. Kelembagaan syuriyah (majelis syuyuh) ini akan lebih kuat dan menjadi bergaining kuat menjawab tantangan zaman.

 

Baca juga:  Mencari Sosok Ketua Umum PBNU

 

Kecakapan keilmuan di bidang keagamaan yang dimiliki kiai NU dibandingkan dengan ormas lainnya tidak bisa diragukan stoknya sangat banyak tetapi kecakapan untuk mengemban amanat kebesaran NU dengan berbagai macam godaan juga tidak dapat dipungkiri sehingga perlu adanya penjaringan yang lebih ketat sebagai upaya memenuhi 40 keanggotaan lembaga syuriyah atau majelis syuyuh tersebut. Dan sikap mutawwari' lebih sangat kita kedepankan sehingga keanggotaan syuriyah terjauhkan dari anasir-anasir politik yang dapat merusak kemurnian NU sebagai organisasi diniyah kemasyarakatan. Dari sini bisa terwujud cita-cita kemandirian NU dalam menyongsong satu abad.


Keanggotan Syuriyah yang Permanen

 

40 anggota syuriyah yang digagas oleh penulis adalah sebagai ahlul halli wal aqdi yang keberadaannya permanen sebagai pengendali dan pengambil kebijakan pada seluruh keputusan NU, sehingga tidak akan terjadi atau dikesankan bahwa NU itu milik Ketua Umum PBNU atau apa yang disuarakan oleh ketua adalah keputusan NU. Dominasi ketua umum atau perebutan ketua umum akan sangat terkurangi sehingga tidak ada kesan miring bahwa NU tidak ada bedanya dengan partai politik yang ada adalah sebagai kendaraan personal untuk meraih kekuasaan.

 

Keanggotan syuriyah ini tidak tergantikan untuk selamanya kecuali adanya udzur syar'i atau dinilai tidak adanya kelayakan oleh para 40 Kyai yang tergabung dalam lembaga syuriyah atau syuyuh yang permanen. Kesan terhadap keanggotaan bukan sekadar berbagi jabatan karena pemenuhan syarat dan kriteria sangat ketat. Muktamar yang dalam arti keramaian yang sedianya menjadi ruang kegembiraan dan ajang silaturahim sesama Nahdliyin.

 

Muktamar adalah ajang silaturahim meluapkan rasa kegembiraan untuk memotivasi, penyegaran kembali dengan program program kerja selama 5 tahun periode berhidmah terhadap NU para pengurus di barbagai macam tingkatan. Bukan merupakan ajang perebutan jabatan untuk memikul beban amanah. Betapa sangat pentingnya mengembalikan ruh muktamar tersebut.

 

Sebuah solusi dari diskusi pada kamar kecil untuk dipetik makna dari kejernihan lubuk hati yang paling dalam sehingga dapat menghasilkan keputusan demi  kemashlahatan dan kuatnya organisasi yang diwariskan dari para tokoh-tokoh besar dan wara'. Bagaimana Mbah As'ad, Mbah Mahrus, dan Mbah Ali Ma'sum memandang sebuah jabatan adalah amanah yang harus dipikul dan akan dipertanyakan di akhirat. Mari teladani para guru-guru dan kiai-kiai itu. Penulis berharap semoga muktamar ke-34 NU berlangsung lancar, sejuk, damai, dan nyaman. Wallahu A'lam. 

 

 

H Munib Abd Muchith, alumni Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang, Wakil Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah


Opini Terbaru