• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 30 April 2024

Opini

Menimbang Mekanisme Pemilihan Pengurus di NU

Menimbang Mekanisme Pemilihan Pengurus di NU
Foto: Ilustrasi (nu online jateng)
Foto: Ilustrasi (nu online jateng)

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masyhuri Malik dalam satu kesempatan mengisahkan, Mbah Kiai Ali Ma'shum Krapyak Yogyakarta tidak berkenan jika ada santrinya punya keinginan menjabat sebagai pengurus NU. "Jika ada santri yang kepengin menjadi pengurus NU maka sebaiknya jangan dipilih, namun jika diamanati maka sebaiknya diterima, dilaksanakan dengan baik".


Nasehat Mbah Kiai Ali Ma'shum tersebut memang benar adanya. Setelah Mbah KH Bisri Syamsuri wafat tahun 1980, terjadi kekosongan jabatan Rais Aam PBNU. Kemudian tahun 1981 dilakukan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta. Waktu itu musyawarah dipimpin oleh Mbah Kiai Musadad Garut Jawa Barat. 


Ada usulan supaya Rais Aam diamanatkan kepada Mbah Kiai As'ad Syamsul Arifin dari Asembagus Situbondo. Namun Mbah Kiai As'ad tidak berada di lokasi Munas, pertama Kiai As'ad tidak berkenan dipilih. Kemudian diusulkan supaya diamanatkan kepada Mbah Kiai Ali Ma'shum. Namun Mbah Kiai Ali Ma'shum juga tidak berada di lokasi Munas. Akhirnya diutuslah Kiai Syaiful Mudjab untuk sowan kepada Mbah Kiai Ali di Krapyak Yogyakarta. 


Setelah berada di kediaman Mbah Kiai Ali Ma'shum, Kiai Syaiful Mudjab lama tidak ditemui. Informasi yang berkembang Mbah Kiai Ali mengusulkan supaya diamanatkan kepada Mbah Kiai Machrus Ali dari Lirboyo Kediri, namun Mbah Kiai Mahrus juga tidak bersedia. Akhirnya dengan permohonan para peserta Munas, Mbah Kiai Ali Ma'shum bersedia meneruskan kepemimpinan Mbah Kiai Bisri Syamsuri sebagai Rais Aam PBNU, sedangkan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU masih diemban oleh KH Dr Idham Chalid hingga Muktamar ke-27 tahun 1984. 


Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 dengan mekanisme ahlul halli wal aqdi, Mbah Kiai Syamsul Arifin dengan kharismanya mengusulkan agar KH Achmad Sidiq ditetapkan sebagai Rais Aam, sedangkan KH Abdurrahman Wahid ditetapkan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Beliau berdua terpilih kembali pada Muktamar ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta. Tahun 1991, Mbah Kiai Achmad Sidiq wafat dan diteruskan oleh Mbah Kiai Ali Yafie sebagai Pj Rais Aam hingga tahun 1992. Kemudian ditentukan melalu rapat pleno PBNU ditetapkan KH Ilyas Ruchiyat sebagai Pj Rais Aam PBNU.


Sejak kelahirannya tahun 1926 hingga Muktamar ke-28, pemilihan pimpinan NU berlangsung mulus dengan musyawarah mufakat, tanda adanya hiruk pikuk tim sukses. Sebenarnya pada Muktamar ke-29 juga tidak ada tim sukses kandidat, namun karena adanya upaya pihak eksternal untuk memaksakan kehendaknya maka secara spontanitas muncul solidaritas para kiai untuk kembali memilih Mbah Kiai Ilyas Ruchiyat sebagai Rais Aam dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU.


Tim sukses atau biasa disebut sebagai 'tim gerakan politik atau gerpol' di internal NU memang tidak dikenal. Istilah itu dikenal belakangan dengan melakukan kegiatan penggalangan suara untuk menentukan pimpinan NU. Karena itu sebenarnya tim sukses atau tim gerpol tidak memiliki sanad yang tersambung. Jika memang benar bahwa sanad ini sangat penting dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam ala ahlussunnah wal jamaah maka adanya tim sukses itu tidak dilakukan oleh generasi terdahulu di dalam Jamiyah NU. Yang biasa dilakukan di internal NU memang silaturahim atau kunjungan ulama yang satu kepada ulama lainnya. Namun silaturahim itu dilakukan untuk mempererat ukhuwah atau persaudaraan sesama ulama guna mengkonsultasikan suatu masalah agar ditemukan solusinya menurut pandangan ahlussunnah wal jamaah. 


Kehidupan masyarakat sekarang sudah berubah drastis. Perubahan ini juga mempengaruhi pandangan dan sikap Nahdliyin, meskipun tidak seluruhnya. Juga tidak sedikit ulama yang memberikan nasehat kepada para santri, "Jangan meminta tugas, apalagi jabatan, namun jika diamanati maka lakukanlah dengan baik, Insyaallah bertambah barakah". 


Pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan Mbah Kiai Achmad Sahal Mahfudz disowani para kiai muda dari Pengurus Cabang Istimewa yang menanyakan siapa sebaiknya Rais Aam PBNU? Dengan tegas Mbah Kiai Sahal Mahfudz menyampaikan, "anda semua kan mahasiswa, sehingga anda sudah mengetahui bagaimana kriteria calon pemimpin yang baik". Setelah itu akhirnya Mbah Kiai Sahal Mahfudz terpilih menjadi Rais Aam PBNU. Demikian pula pada Muktamar ke-33 di Jombang tahun 2015 dan Muktamar ke-34 di Lampung tahun 2021, pemilihan Rais Aam PBNU dipilih melalui mekanis ahlul halli wal aqdi, sedangkan pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah dilakukan dengan pemungutan suara. 


Guna menjaga dan melanjutkan kebaikan yang dicontohkan para ulama terdahulu, pernah diusulkan pada Munas dan Konbes sejak tahun 2017, seperti dari Jatim, Jateng, dan Yogyakarta supaya Rais Aam dipilih oleh majelis ahlul halli wal aqdi, sedangkan Tanfidziyah ditetapkan dalam rapat syuriyah yang telah dibentuk oleh ahlul halli wal aqdi. Sebaiknya ketentuan ini kembali diusulkan pada Munas dan Konbes September 2023 mendatang agar dapat ditetapkan dalam Muktamar berikutnya. Hal ini semata-mata untuk meneruskan NU sebagai Jamiyyah Diniyah Ijtimaiyah yang harus ri'ayatul ummah atau melayani ummat dan bangsa dengan ikhlas dan Istiqamah. Wallahu a'lam bis sawab.


Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah 


Opini Terbaru