Opini

Membangun Toleransi Beragama: Refleksi dari Kasus Larangan Ibadah oleh ASN terhadap Tetangga

Jumat, 4 Oktober 2024 | 19:00 WIB

Membangun Toleransi Beragama: Refleksi dari Kasus Larangan Ibadah oleh ASN terhadap Tetangga

Ilustrasi: NU Online

Moderasi dan toleransi dalam kehidupan beragama adalah fondasi utama untuk memelihara harmoni sosial di tengah masyarakat yang beragam, khususnya di Indonesia yang memiliki keragaman agama dan budaya. Namun, baru-baru ini terjadi sebuah peristiwa di Kota Bekasi yang melibatkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diduga melarang tetangganya yang non-muslim melaksanakan ibadah di rumah mereka. Kejadian ini menimbulkan diskusi tentang pentingnya menjaga sikap toleransi beragama serta bagaimana moderasi dapat menjadi kunci dalam mencegah munculnya tindakan intoleran di tengah masyarakat.


Seorang ASN yang seharusnya menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai kebhinekaan, justru terlihat kurang mencerminkan sikap tersebut dengan membatasi kegiatan ibadah tetangganya yang memiliki keyakinan berbeda. Insiden ini mencerminkan bahwa, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, praktik intoleransi masih kerap ditemukan, khususnya dalam interaksi antar umat beragama.


Moderasi dalam Beragama 


Moderasi dalam beragama adalah sikap yang menghindari ekstremisme dan menekankan keseimbangan dalam praktik keagamaan. Menurut perspektif Islam, moderasi (wasathiyah) adalah konsep yang mengajarkan umat untuk berada di tengah-tengah, tidak berlebihan dalam ibadah, dan tidak ekstrem dalam memperlakukan orang lain, terutama yang berbeda keyakinan. Dalam konteks Indonesia yang plural, moderasi sangat penting untuk menjaga kerukunan umat beragama. (Prakosa, Pribadyo. Moderasi Beragama: Praksis Kerukunan Antar Umat Beragama. Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH) 4.1 (2022): 48).


Konsep moderasi ini penting untuk diterapkan oleh setiap individu, terutama oleh ASN yang memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan sosial dan kerukunan antarumat beragama. Kasus di Bekasi menunjukkan bahwa tanpa moderasi, seseorang bisa jatuh dalam sikap ekstrem yang merugikan orang lain dan memperburuk hubungan sosial.


Moderasi dalam beragama bukan hanya terkait dengan bagaimana seseorang menjalankan keyakinannya, tetapi juga bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain, khususnya yang memiliki perbedaan pandangan dan keyakinan. Dalam Islam, konsep rahmatan lil 'alamin menekankan bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi mereka yang beragama lain. Sikap moderat mengharuskan umat Islam untuk menghormati perbedaan keyakinan dan tidak memaksakan pandangan atau keyakinan mereka kepada orang lain.


Toleransi dalam Kehidupan Beragama 


Toleransi adalah kemampuan untuk menerima dan menghargai perbedaan, baik itu perbedaan dalam keyakinan, budaya, maupun cara pandang hidup. Toleransi beragama menjadi salah satu komponen utama dalam menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis. Dalam konteks kasus ASN di Bekasi, jelas terlihat bahwa sikap toleransi belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan oleh semua kalangan masyarakat.


Toleransi antar umat beragama adalah kunci utama dalam menciptakan kerukunan dan keharmonisan masyarakat. Toleransi ini membentuk hubungan sosial yang dinamis, baik antar individu maupun antar kelompok, yang membantu menjaga keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Toleransi bukan berarti mengabaikan perbedaan atau memaksa semua orang untuk mengikuti satu keyakinan atau budaya, melainkan merangkul perbedaan tersebut sebagai bagian dari kekayaan bersama. (Faridah, I.F. (2013). Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat Perumahan. Jurnal Komunitas, 5(1), 14-25.)


Dalam agama Islam, toleransi juga merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi. Nabi Muhammad saw adalah contoh utama dalam menunjukkan sikap toleransi. Selama hidupnya, beliau hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama, dan beliau menegaskan pentingnya menghormati hak-hak mereka yang berbeda keyakinan. Toleransi dalam Islam mencakup hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing dan tidak ada paksaan dalam agama.


Allah swt berfirman;
 

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ


Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).


Dampak Intoleransi terhadap Kerukunan Masyarakat 


Intoleransi beragama, seperti yang terjadi di kota Bekasi, memiliki dampak yang luas terhadap kerukunan masyarakat. Sikap intoleran tidak hanya menciptakan ketegangan antara individu atau kelompok, tetapi juga dapat merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk. Di Indonesia, yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya, sikap intoleran sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar.


Kasus ini mengingatkan kita bahwa setiap bentuk intoleransi, apapun latar belakangnya, dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan ketidakadilan di kalangan masyarakat. Jika tidak segera ditangani dengan bijak, kasus-kasus intoleransi berpotensi menimbulkan diskriminasi yang lebih besar dan bahkan memicu tindakan kekerasan.


Sebagai negara dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama, Indonesia harus tegas dalam menangani setiap tindakan intoleransi. Pemerintah, dalam hal ini, perlu memastikan bahwa hak setiap warga negara, termasuk hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, dilindungi tanpa diskriminasi.


Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah Intoleransi 


Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah intoleransi beragama. Melalui kebijakan yang berlandaskan Pancasila, pemerintah harus menjamin bahwa semua agama diperlakukan sama dan bahwa tidak ada kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif. ASN, sebagai representasi pemerintah, harus menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan. 


Namun, pencegahan intoleransi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang toleran. Pendidikan sejak dini tentang pentingnya menghormati perbedaan adalah salah satu cara efektif untuk menanamkan sikap toleransi. Selain itu, organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, harus aktif dalam menyebarkan pesan-pesan moderasi dan kerukunan antarumat beragama.


Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun sikap moderasi dan toleransi. Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menanamkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan kebhinekaan. Selain pendidikan formal, pendidikan agama yang moderat juga harus diajarkan di keluarga dan lingkungan masyarakat.


Masyarakat yang terdidik tentang pentingnya kerukunan dan toleransi akan lebih mampu menghindari sikap-sikap ekstrem dan intoleran. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter individu yang menghargai perbedaan.


Kasus ASN yang melarang ibadah tetangganya di Bekasi adalah contoh nyata bahwa intoleransi beragama masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Moderasi dan toleransi harus terus diperjuangkan dalam kehidupan beragama dan sosial masyarakat. Pemerintah, melalui penegakan hukum yang adil dan konsisten, harus menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak beragama setiap warganya. Di sisi lain, masyarakat juga harus ikut berperan aktif dalam mempromosikan nilai-nilai moderasi dan toleransi melalui pendidikan dan komunikasi yang baik antarumat beragama.


Dengan membangun sikap moderasi dan toleransi, kita dapat menciptakan masyarakat yang damai, harmonis, dan sejahtera, dimana perbedaan bukanlah sumber konflik, melainkan kekayaan yang harus dijaga dan dirayakan.