Keislaman

Janji Politik dalam Islam: Amanah yang Tak Boleh Dikhianati

Senin, 30 Desember 2024 | 16:00 WIB

Janji Politik dalam Islam: Amanah yang Tak Boleh Dikhianati

Ilustrasi (NU Online)

Musim kampanye pemilu sudah berlalu dan selalu menjadi panggung penting bagi para kandidat untuk menawarkan visi, misi, dan program kerja kepada masyarakat. Janji-janji yang disampaikan mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur. Semua itu bertujuan tentunya untuk menarik simpati publik dan memenangkan suara kandidat dalam pemilu.


Namun, dibalik semangat kompetisi politik ini, sering kali muncul persoalan serius. Banyak pemimpin yang mengingkari janji setelah mereka terpilih. Dalam Islam, tindakan ini tidak hanya mencederai kepercayaan rakyat, tetapi juga melanggar prinsip amanah yang menjadi inti dari kepemimpinan. Firman Allah SWT mengatakan:


وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا


Artinya: “Dan penuhilah janji (karena) sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 34).


Ayat ini menegaskan bahwa setiap janji yang diucapkan memiliki konsekuensi. Bagi calon pemimpin, janji kampanye adalah komitmen moral yang harus diwujudkan. Program-program yang dijanjikan kepada rakyat bukanlah sekadar strategi politik, melainkan sebuah akad yang mengikat antara pemimpin dan rakyatnya. 


Dalam Tafsir al-Samarqandi, dijelaskan bahwa, "Dan penuhilah janji," berarti janji yang ada antara manusia dengan Allah, dan janji yang ada antara manusia dengan sesama manusia. Artinya, janji tersebut adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, baik dalam hubungan vertikal dengan Allah maupun horizontal dengan sesama manusia. (Abu Laits As-Samarqandi, Tafsir al-Samarqandi/Bahr al-'Ulum, II. Hal 311).


Lebih lanjut, Tafsir Al-Azhar memberikan penjelasan yang lebih mendalam. Ayat ini, menurut tafsir tersebut, mengingatkan bahwa hidup manusia di dunia selalu terikat dengan janji-janji. Oleh karena itu, tidak boleh dengan mudah mengucapkan janji jika tidak mampu untuk menepatinya. Janji, dalam pandangan Islam, adalah sebuah amanah yang harus dipenuhi. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, Allah mengajarkan untuk menepati janji-janji, termasuk yang bersifat pribadi maupun sosial. 


Dalam konteks ini, dalam Tafsir Al-Azhar, untuk menjaga kedisiplinan dalam menunaikan janji, dengan menekankan bahwa amalan yang paling utama adalah mendirikan shalat pada awal waktunya, yang mengajarkan untuk menepati janji kita kepada Allah terlebih dahulu. Jika kita dapat menepati janji dengan Allah, niscaya kita akan lebih mudah menepati janji dengan sesama manusia. Dan sengsaralah yang akan menimpa diri kita kalau dua tali tidak kita pegang teguh. Pertama kali dari Allah, kedua tali dari sesama manusia. Tali dengan sesama manusia itu adalah janji. Dan hidup kita ini diliputi oleh janji. (Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 6. Hal. 4055).


Kemudian, dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 91, Allah SWT juga memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk selalu menepati janji, baik janji kepada Allah ataupun janji kepada sesama manusia. Allah SWT berfirman,


وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ ۝٩١


Artinya: “Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu melanggar sumpah(-mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.


Abu Laits As-Samarqandi dalam Tafsir al-Samarqandi memberikan penjelasan bahwa ayat ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang bersumpah dengan nama Allah, ia wajib menepatinya dengan sungguh-sungguh. Hal ini tidak hanya mencakup janji antara manusia dengan Allah, tetapi juga janji yang ada antara manusia satu dengan yang lainnya. Allah menegaskan agar kita berhati-hati dalam membuat janji, karena janji adalah amanah yang harus dipenuhi. 


Selanjutnya, Allah berfirman: 

وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
 

Artinya: "Janganlah kalian mengingkari sumpah setelah kalian menguatkannya”. Peringatan ini menunjukkan betapa tercelanya mengingkari janji yang sudah diperkuat dengan sumpah. Jika seseorang telah membuat janji atau bersumpah, maka ia harus benar-benar menepatinya. 


Allah juga berfirman: 


وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا


Artinya "Dan kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi atas pelaksanaan janji-janji kalian”. 


Allah mengawasi setiap janji yang kita buat dan akan meminta pertanggungjawaban atasnya di dunia maupun di akhirat. 


Allah juga mengingatkan dalam firman-Nya,


 إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
 

bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang kita lakukan, baik dalam menepati janji maupun melanggarnya.


Untuk menggambarkan betapa buruknya akibat mengingkari janji, dalam Tafsir al-Samarqandi, Allah memberikan perumpamaan yang kuat. Dalam firman-Nya,

 
  وَلَا تَكُونُوا فِي نَقْضِ الْعَهْدِ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَها 


Artinya: "Dan janganlah kalian seperti wanita yang merusak rajutannya”. Perumpamaan ini merujuk pada seorang wanita yang telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik, namun kemudian merusaknya lagi. Wanita ini, yang disebut dalam tafsir sebagai Rita al-Hamqa, putri Amru bin Ka'b dan ibu dari Al-Akhnas bin Syarif, terkenal dengan kebiasaan merusak rajutan yang telah dibuatnya dengan baik.
 

مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا 


menggambarkan bahwa wanita tersebut merusak hasil kerjanya setelah menyelesaikannya dengan kuat.
 

كَانَتْ إِذَا غَزَلَتِ الشَّعَرَ وَالْكِتَّانَ نَقَضَتْهُ، ثُمَّ غَزَلَتْهُ 


menggambarkan bagaimana ia merajut benang, namun kemudian merusaknya dan merajutnya kembali. (Abu Laits As-Samarqandi, Tafsir al-Samarqandi/Bahr al-'Ulum, II. Hal 289).


Hal ini menegaskan bahwa perumpamaan ini adalah peringatan agar manusia tidak menegaskan sumpah dan janji kepada diri sendiri, lalu melanggarnya.


 فَتَكُونُوا كَأَمْرَأَةٍ غَزَلَتْ وَنَسَجَتْ ثُمَّ نَقَضَتْ ذَٰلِكَ النَّسْجَ فَجَعَلَتْهُ أَنْكَاثًا 


Artinya: "Janganlah kalian seperti wanita yang merajut dan menenun benang, lalu merusaknya dan menjadikannya seperti benang yang tercabik-cabik”. 


Ini menggambarkan betapa buruknya akibat mengingkari janji setelah meneguhkannya. Al-Ankath (tercabiknya benang) menjadi simbol dari kerusakan yang terjadi akibat pelanggaran terhadap janji yang telah diteguhkan.


Dalam Islam, janji merupakan amanah yang harus dipenuhi dengan penuh tanggung jawab, baik dalam hubungan vertikal dengan Allah maupun horizontal dengan sesama manusia. Janji yang diucapkan, terutama dalam konteks kepemimpinan politik, bukan hanya sekedar strategi atau alat untuk meraih tujuan, melainkan sebuah komitmen moral yang mengikat pemimpin dengan rakyatnya. 


Mengingkari janji tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga melanggar prinsip dasar Islam yang mengajarkan pentingnya menepati janji. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa janji adalah suatu kewajiban yang akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. 


Mengingkari janji, terutama yang telah diteguhkan dengan sumpah, dianggap sebagai tindakan yang tercela, dan perumpamaan dalam Al-Qur'an menggambarkan betapa buruknya akibat dari pelanggaran ini. Oleh karena itu, setiap individu, terutama para pemimpin, harus menjaga amanah yang diberikan dengan penuh kesadaran, menepati janji yang telah dibuat, serta mempertanggungjawabkan setiap tindakan mereka kepada Allah dan kepada sesama manusia.