• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 4 Mei 2024

Obituari

Mengenang Perjalanan Hj Rofiqoh Darto Wahab Penyanyi Gambus Legendaris 

Mengenang Perjalanan Hj Rofiqoh Darto Wahab Penyanyi Gambus Legendaris 
Almarhumah Hj Rofiqoh Darto Wahab (foto: Istimewa)
Almarhumah Hj Rofiqoh Darto Wahab (foto: Istimewa)

Di era tahun 1965 jarang sekali ditemukan grup-grup gambus dengan penyanyi yang bisa bertahan hingga usia senja. Jika ada itupun tak banyak seperti Hj Nur Asiyah Jamil dengan lagu hitsnya 'panggilan haji' yang setiap musim haji tiba selalu menggema terutama di media sosial. Sebelumnya sempat hadir grup musik gambus yang digawangi Syekh Albar ayah kandung Ahmad Albar.


Hj Ida Laila asal Surabaya Jawa Timur misalnya, meski tidak mengkhususkan di genre musik gambus, ada beberapa lagu yang sempat dinyanyikannya. Akan tetapi lebih banyak ke musik melayu (sebutan saat itu) hingga berhasil menelorkan beberapa album bersama Orkes Melayu (OM) Awara. Sedangkan yang lainnya timbul kemudian tenggelam seiring perjalanan waktu.


Pada tahun 1975 muncul kelompok band kasidah modern Indonesia yang terdiri dari 9 wanita dari Semarang yakni Nasida Ria. Grup ini dibentuk pertama  dipimpin oleh Hj Mudrikah Zain, tetapi semenjak H Zain wafat, Nasida Ria dikelola oleh H Choliq Zain sampai sekarang. Grup ini merupakan salah satu kelompok kasidah modern tertua di Indonesia.


Berbeda dengan gambus, musik yang terdiri alat petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah. Paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus dimainkan sambil diiringi gendang. Sebuah orkes memakai alat musik utama berupa gambus dinamakan orkes gambus atau disebut gambus saja. 


Musik kasidah memang sudah banyak yang mengenali apalagi di zaman sekarang musik kasidah dipadukan dengan aliran musik modern. Karir Rofiqoh sebagai penyanyi kasidah dimulai sejak ia menduduki bangku kanak-kanak ia juga dikenal sebagai qariah (Pembaca Al-Quran).

 
Rofiqoh pernah menjuari perlombaan MTQ tingkat Provinsi di Yogyakarta lalu beberapa tahun kemudian dia menjuarai di tingkat Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Rofiqoh muncul pertama kali dalam acara keagamaan di Pekalongan. Pada tahun 1965, Rofiqoh berpindah di Jakarta dan menemukan pasangan hidupnya yaitu seorang wartawan yang bernama Darto Wahab.
 

Lalu ia dilirik oleh Rustam dari RRI lalu membawanya ke dapur rekaman piringan hitam dan mengisi acara program kasidah di RRI tanpa iringan musik. Pada tahun 1970 lahirlah kasidah modern Rofiqoh menjalani rekaman bersama Orkes Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo dan juga laris di pasaran di bawah pimpinan Agus Sunaryo.

 


Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre gambus yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis kasidah. kasidah pop, kasidah dangdut, kasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya.  

 
Tahun 1966 didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A Rahmat, dirinya masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala ashfuri, dan Ya Nabi salam alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI.  Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam 'Ummi Kultsum'-nya Indonesia saat itu.  

 
Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Al-Qur’an maupun lagu-lagu kasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses.  
 

Ada tiga hal yang penting dicatat dengan kemunculan Rofiqoh saat itu. Pertama, ia menembus dominasi musik padang pasir yang sejak tahun 1930-an dikuasai oleh irama musik gaya Hadramaut dan dilakoni juga oleh para pemusik dan penyanyi keturunan Hadramaut seperti Syekh Albar (ayah penyanyi Ahmad Albar). Kedua, Rofiqoh menggugat persepsi kebanyakan kalangan kiai yang masih menganggap musik sebagai suatu yang haram, atau makruh, atau setidaknya lagi mubah saat itu. 


Ketiga-tiganya, langsung maupun tidak langsung, telah membuat perkembangan seni musik, termasuk yang dikonstruksi ‘islami’ sekalipun, menjadi demikian terbatas di kalangan masyarakat Islam. Kehadiran Rofiqoh pun awalnya sempat dipertanyakan, tetapi atas dukungan beberapa kiai dan tokoh berpengaruh, ia pun bisa melenggang. Ketiga, Rofiqoh menggoyang dan mengimbangi atmosfer kebudayaan saat itu yang didominasi kalangan Lekra dengan berbagai seni pertunjukan rakyatnya. Panggung-panggung pertunjukan di mana-mana saat itu lebih banyak diisi dan dibentuk oleh seniman-seniman yang berafiliasi atau setidaknya dekat dengan Lekra. 

 
Kemunculan Rofiqoh menjadi semacam interupsi atas kecenderungan itu. Tak heran kalau kemunculannya saat itu kerap diusung oleh Lesbumi (Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia) di bawah Partai NU. Lagu-lagunya sendiri menjadi semacam lagu wajib di dalam pertemuan-pertemuan atau pun rapat-rapat akbar yang digelar Partai NU. 

 
Di masa tuanya Rofiqoh mengelola dan memimpin kelompok pengajian Ittihadul Ummahat (Persatuan Ibu-ibu) di kawasan kota legenda di Bekasi Timur, mengelola kelompok pengajian Romuna (akronim dari Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah), dan Yayasan Gadi Fi Muna yang membawahi majelis taklim, taman kanak-kanak dan sejumlah kegiatan sosial. Dia menjadi muballighah dan aktivis sosial, satu persambungan saja dari kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dijalani sebelumnya, baik sebagai qariah maupun penyanyi qasidah.   


Rofiqoh lahir 18 April 1945, di Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Ayahnya, KH Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Kabupaten Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya Hj Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon.  Ia menempuh pendidikannya di Muallimat Wonopringgo Pekalongan, Pesantren Lasem Rembang, dan Pesantren Buntet Cirebon.  Di pesantren terakhir inilah ia banyak belajar dan mengasah kemampuannya membaca Qur’an secara tepat dan indah, yang kelak menjadi modal pentingnya menjadi penyanyi kasidah. 


Sejak muda Rofiqoh telah menekuni dan mengikuti lomba tilawatil Qur'an dari tingkat kecamatan hingga provinsi. Pada tahun 1960-an, saat organisasi Islam ditekan oleh pemerintahan Orde Baru, Rofiqoh memperkenalkan genre musik gambus atau kasidah berbahasa Arab kepada masyarakat. Liriknya berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang diiringi oleh alat musik. 

 
Tampilannya menggunakan kebaya, kerudung, dan batik ciri khas perempuan Jawa pada masanya. Ia muncul pertama kali di depan publik pada tahun 1964 dan pergi ke Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Dharto Wahab seorang wartawan yang beralih profesi menjadi pengacara.


Hj Rofiqoh pernah tampil di Istana Negara membawakan kasidah 'Habibi Ya Rasulullah' dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad, sebelum meletusnya pergerakan G30S/PKI. Perjalanan kariernya beberapa kali mengalami ketidakstabilan. Karyanya pernah diklaim oleh kelompok Manikebu (seniman dan sastrawan sayap kanan) dalam sengketa melawan Lekra (seniman dan sastrawan sayap kiri) karena pada masa ini Islam dianggap sesuatu yang bertentangan dengan PKI.

 
Ia sering melantunkan syair Arab dengan musik gambus dan lebih dari 100 keping album rekaman telah diproduksi. Menurut Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara, bersama Al-Fatah, Rofiqoh banyak menelurkan labum, seperti Libarokallah, Hamawi Ya Mismis, Baladi, Habib Qalbi, Semoga di Surga, dan Lagu-lagu Gambus. Enam album itu terdiri dari 30 lagu kasidah gambus berbahasa Arab dan Indonesia. Namanya tetap melambung hingga tahun 90-an. 


Kini, sang legendaris gambus itu meninggalkan kita semua pada Rabu (12/7/2023) Hj Rofiqoh Darto Wahab perempuan kelahiran Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan meninggal dunia di rumahnya di Pondok Gede, Jakarta dalam usia 78 tahun.


Jenazahnya hari ini Kamis (13/7/2023) jam 10 dimakamkan di tempat kelahirannya di Desa Kranji, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Selamat jalan sang legendaris, lagu-lagumu akan selalu dikenang untuk diperdengarkan sepanjang hayat oleh masyarakat. Semoga segera muncul generasi-generasi baru penerusnya. Lahal Fatihah


M Ngisom Al-Barony, Pemimpin Redaksi NU Online Jateng, tinggal di Pekalongan
 


Obituari Terbaru