Keislaman

Pesan Imam al-Ghazali dalam At-Tibr al-Masbuk: Adil Membawa Makmur, Zalim Membawa Hancur

Sabtu, 6 September 2025 | 16:00 WIB

Gelombang demonstrasi yang belakangan mewarnai jalan-jalan utama di Indonesia bukan hanya potret ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, melainkan juga sebuah cermin untuk menakar sejauh mana keadilan telah ditegakkan. Demontrasi lahir dari keresahan, dan keresahan itu seringkali bersumber dari rasa tidak adil yang dirasakan masyarakat. Dalam sejarah panjang peradaban, keadilan selalu menjadi batu pijakan utama yang menentukan kokoh atau rapuhnya sebuah pemerintahan.


Para ulama dan pemikir Islam klasik telah mengingatkan bahwa kekuasaan bisa bertahan dalam kondisi apapun, bahkan bersama kekafiran, tetapi tidak akan pernah bertahan dengan kezaliman. Pesan ini mengandung makna mendalam bahwa fondasi sebuah negara bukan sekadar legalitas politik atau kekuatan militer, melainkan kepercayaan rakyat yang dibangun atas dasar keadilan. Ketika rakyat kehilangan rasa keadilan, maka legitimasi pemimpin pun goyah.


Sejarah dunia, baik di Barat maupun di Timur, mencatat banyak kerajaan dan negara yang tumbang bukan karena lemahnya ekonomi semata, melainkan karena penguasanya terjebak dalam tirani. Bahkan bangsa Majusi dalam kisah klasik mampu bertahan ribuan tahun bukan karena keimanan mereka, melainkan karena keadilan yang mereka tegakkan bagi rakyat. Sebaliknya, penguasa zalim meskipun kuat dan ditakuti, cepat atau lambat akan menyaksikan keruntuhan kekuasaannya sendiri.


Konteks Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika tersebut. Demonstrasi yang terjadi adalah suara dari masyarakat yang menuntut pemimpin hadir sebagai penegak keadilan, bukan sekadar penguasa yang mengendalikan roda pemerintahan. Rakyat menuntut kejelasan: apakah kebijakan yang dikeluarkan berpihak pada kepentingan umum atau hanya menguntungkan segelintir golongan. Dalam suasana seperti ini, keadilan menjadi ukuran utama untuk menakar kualitas kepemimpinan.


المجوس ملكوا أمر العالم أربعة آلاف سنة وكانت المملكة فيهم وإنما دامت المملكة بعدلهم في الرعية ، وحفظهم الأمور بالسوية ، وإنهم ما كانوا يرون الظلم والجور في دينهم وملتهم جائز وعمروا بعدلهم البلاد ، وأنصفوا العباد . (التير المسبوك في نصيحة الملوك. لحجة الإسلام محمد بن محمد أبي حامد الغزالي ( المتوفى سنة ٥٠٥ ه ). طبعه مكتبة الكليات الأزهرية. ص: 49 – 50)


Artinya : “Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa orang-orang Majusi menguasai dunia selama empat ribu tahun. Kerajaan mereka hanya bisa bertahan karena keadilan yang mereka terapkan terhadap rakyatnya, menjaga urusan dengan seimbang. Mereka tidak pernah menganggap kezaliman itu dibenarkan dalam agama dan keyakinan mereka. Dengan keadilan itu, mereka memakmurkan negeri dan menegakkan keadilan di tengah rakyat.” (At-Tibr al-Masbuk fi Naṣiḥat al-Muluk, karya Ḥujjatul Islam Muhammad bin Muhammad Abi Ḥamid al-Ghazali (wafat 505 H). Dicetak oleh Maktabah al-Kulliyyāt al-Azharīyah, hlm. 49–50).


وقد جاء في الخبر أن الله جل ذكره أوحى الى داود عليه السلام أن أنه قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادي. (التير المسبوك في نصيحة الملوك. لحجة الإسلام محمد بن محمد أبي حامد الغزالي ( المتوفى سنة ٥٠٥ ه ). طبعه مكتبة الكليات الأزهرية. ص: 49 – 50)


Artinya: “Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Allah عز وجل mewahyukan kepada Nabi Daud عليه السلام: Larilah kaummu dari mencela raja-raja bangsa Ajam (non-Arab), karena mereka telah memakmurkan dunia dan menjadikannya tempat tinggal bagi hamba-hamba-Ku.”

 

Sejarah peradaban memberikan pelajaran yang berulang keadilan adalah fondasi utama sebuah pemerintahan. Para penguasa yang menegakkan keadilan tidak hanya menjaga kestabilan politik, tetapi juga menciptakan iklim sosial yang harmonis. Sebaliknya, ketika kezaliman merajalela, ketidakpuasan rakyat tumbuh subur dan menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyulut api perlawanan. Maka, tegaknya keadilan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga strategi mempertahankan keberlangsungan negara.


Contoh nyata dapat kita lihat pada tokoh-tokoh besar seperti Kisra Anusyirwan, yang dikenang sebagai raja adil karena keberpihakannya pada rakyat. Keadilannya membuat kerajaan Persia kala itu mencapai kemakmuran yang luas dan menjadi simbol kejayaan. Sebaliknya, penguasa zalim seperti Dhohhak dan penguasa lalim lainnya meninggalkan jejak kehancuran dan kerusakan, yang akhirnya menjadi pelajaran pahit bagi generasi berikutnya. Dengan demikian, sejarah adalah cermin bagi setiap penguasa untuk memilih jalan apakah menjadi pembawa kemakmuran atau penyebab kehancuran.


Dalam tradisi Islam, kepemimpinan Umar bin Khattab رضي الله عنه menjadi teladan abadi tentang bagaimana kekuasaan dipadukan dengan keadilan. Pada masa kepemimpinannya, rakyat merasa aman, negara berkembang, dan kepercayaan publik tumbuh kuat. Keadilan yang ditegakkan Umar tidak hanya terwujud dalam hukum, tetapi juga dalam kebijakan ekonomi, sosial, hingga perlindungan terhadap kelompok minoritas. Ini menegaskan bahwa legitimasi kepemimpinan hanya akan bertahan jika ia berdiri di atas pilar keadilan yang teguh.


Namun, jika kita menoleh ke Indonesia hari ini, seolah ada jarak yang menganga antara idealitas sejarah dengan kenyataan kekuasaan. Rakyat masih menyaksikan bagaimana hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kebijakan publik sering kali lebih menguntungkan segelintir kelompok daripada menyejahterakan masyarakat luas. Gelombang demonstrasi yang marak terjadi adalah tanda bahwa keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat. Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah, bahwa keadilanlah yang memperpanjang umur kekuasaan, sementara kezaliman hanya mempercepat datangnya krisis kepercayaan dan keruntuhan legitimasi.