• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 29 Juni 2024

Keislaman

5 Tanda Orang Dianggap Mampu dan Wajib untuk Melaksanakan Ibadah Haji

5 Tanda Orang Dianggap Mampu dan Wajib untuk Melaksanakan Ibadah Haji
Ilustrasi haji.
Ilustrasi haji.

Semarang, NU Online Jawa Tengah

Haji merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97. Namun, kemampuan seperti apa yang dimaksud dalam ayat tersebut menjadi satu pertanyaan.


Penulis Keislaman NU Online Ustadz Mubassyarum Bih menjelaskan bahwa syarat orang tersebut dianggap mampu untuk melaksanakan ibadah haji ada lima. Hal ini sebagaimana dilansir dalam artikelnya di NU Online berjudul 5 Tolok Ukur Seseorang Dikatakan Mampu Berhaji.


Pertama, kesehatan jasmani. Sebab, haji merupakan ibadah yang membutuhkan tenaga ekstra, sehingga kondisi tubuh harus benar-benar sehat dan memungkinkan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Karenanya, ia menegaskan bahwa orang yang lumpuh, tua renta, atau memiliki penyakit permanen yang membuatnya tidak memungkinkan menjalani aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, bukan kategori orang yang mampu menjalankan haji dengan sendiri. Namun, jika ia memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan.   


Kedua, sarana transportasi yang memadai. Menurutnya, orang yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci dengan jarak dua marhalah (+81 km) atau lebih, maka kewajiban haji baginya disyaratkan adanya sarana transportasi yang layak untuk bisa digunakan pergi haji, baik dengan menyewa atau memilikinya sendiri. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi orang rumahnya dekat dengan tanah suci, tetapi tidak mampu menempuh perjalanan menuju tanah haram dengan berjalan kaki. Dalam konteks jamaah haji di Indonesia, syarat kedua ini bisa diartikan memiliki biaya sewa pesawat dan alat transportasi yang dibutuhkan selama menjalani manasik.


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sarana transportasi yang dimaksud ini disyaratkan setelah terjaminnya kebutuhan sandang pangan, bagi dirinya dan keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya, terhitung sejak keberangkatan sampai pulang menunaikan ibadah haji. Demikian pula disyaratkan melebihi dari utangnya serta harta yang wajib ditunaikan untuk membantu fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Dalam fiqih, membantu mereka hukumnya fardhu kifayah (wajib kolektif).


Oleh karena itu, orang yang keluarganya terkatung-katung, tetangganya kelaparan atau utangnya menumpuk, tidak berkewajiban berangkat haji. Perlu kesadaran yang maksimal bahwa agama hanya mewajibkan haji bagi orang yang mempunyai ongkos pembiayaan haji setelah nafkah wajib dan tanggungan kepada orang lain terpenuhi, sehingga tidak berdampak mengorbankan hak-hak orang lain yang wajib ditunaikan.


Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abdullah bin Husain Thohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi dalam kitab Sullam Al-Taufiq dan Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati dalam kitab I’anah At-Thalibin. Mereka mendasarinya pada hadits yang Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. “Ditanyakan kepada Nabi Muhammad saw, wahai Rasulullah apa makna Al-Sabil dalam ayat ini ?. Beliau menjawab; bekal dan kendaraan. (H.R Al-Hakim, hadits shahih yang memenuhi standar kualifikasi versi al-Bukhari dan Muslim).   


Ketiga aman, yakni terjaminnya keselamatan nyawa, harta, dan harga diri seseorang, selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji, sehingga andai saja terjadi beberapa hal yang dikhawatirkan mengancam keamanan seperti peperangan, perampokan atau cuaca buruk yang menghambat perjalanan menuju tanah suci, maka tidak wajib melaksanakan haji. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin.


Keempat, perginya perempuan dengan suami, mahram, atau beberapa perempuan yang dapat dipercaya, sebagaimana dijelaskan Syekh Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin. Dalam ibadah haji, syari’at memberikan perhatian khusus bagi jamaah haji perempuan. Mereka yang akan melaksanakan haji disyaratkan harus didampingi suami, mahram atau sekelompok perempuan yang bisa dipercaya. Hal ini tidak lain karena adanya larangan bagi wanita menempuh perjalanan dengan sendirian (terlebih perjalanan jauh seperti haji), sehingga sangat mengkhawatirkan keselamatan nyawa, harga diri dan hartanya. Karenanya, jika perempuan tidak wajib haji jika pendampingan mereka.  


Kelima, rentang waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan haji. Waktu haji yang terbatas membuat pelaksanaannya tidak seleluasa ibadah umrah. Sehingga, dalam syarat wajib haji, harus ada waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan dari tanah air menuju Makkah. Hal demikian diungkapkan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali Al-Jawi dalam kitab Nihayah Al-Zain.


Keislaman Terbaru