• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 28 April 2024

Fragmen

Kiai Sholeh Darat dan Haji di Masa Penjajahan

Kiai Sholeh Darat dan Haji di Masa Penjajahan
Kapal haji zaman kolonial (Foto: NU Online)
Kapal haji zaman kolonial (Foto: NU Online)

Naik haji di masa kolonial merupakan perjuangan yang mempertaruhkan nyawa. Bukan saja faktor perjalanan panjang yang harus dilalui, tetapi juga karena tidak senangnya penjajah dengan muslim pribumi yang berhaji. Berbagai usaha dilakukan oleh imperialis untuk menghalang-halangi ibadah haji secara terselubung. 


Beratnya kesulitan yang dihadapi oleh kaum muslimin dalam rangkaian haji di masa kolonial memang tidak hanya dalam hal harta, tetapi nyawa juga risikonya. Oleh karena itu, tidak jarang jamaah haji yang meninggal saat perjalanan dan hanya pulang nama. Namun, karena keimanan yang kuat maka kaum muslimin di Hinda Belanda tetap saja melaksanakan haji dengan antusias.


Berbagai upaya politis dilakukan penjajah untuk menghambat antusiasme berhaji di berbagai tingkatan. Sebagai contoh, kaum muslimin yang akan berhaji harus memiliki sejumlah besar uang yang dititipkan kepada pemerintah sebagai jaminan bahwa dia adalah orang yang mampu. Ketika pulang, uang jaminan ini baru akan dikembalikan.


Sebagai biaya transportasi dari dan ke tanah suci, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan selama naik kapal laut yang dioperasikan oleh bangsa asing. Tingginya biaya transportasi ini seringkali tidak diimbangi dengan pelayanan yang baik di kapal laut sehingga banyak masalah kesehatan yang muncul selama berlayar. 


Dengan alasan membawa penyakit, jamaah haji dari Hindia Belanda harus menjalani karantina kesehatan di tempat-tempat yang ditentukan oleh pemerintah Belanda. Proses karantina ini juga tidak gratis sehingga jamaah haji harus mengeluarkan biaya lagi. Setidaknya ada dua tempat karantina, satu di dekat Laut Merah saat akan memasuki Saudi Arabia dan satu tempat di Nusantara ketika akan pulang ke kampung halaman.


Kiai Sholeh Darat mencermati fenomena haji di masa kolonial tersebut dan menuliskannya sebagai salah satu bagian pembahasan di dalam kitabnya tentang haji. Kitab Manasik Haji dan Umrah yang ditulis oleh Beliau mengungkapkan hal ini:


“Kedua, tidak menolong sesiapa yang menjadi musuhnya Allah, yakni membayar biaya-biaya ‘boom’ atau membayar karantina. Maka hendaknya senantiasa berhati-hati, yang sudah bagus jangan sampai menjadi maksiat. Sebab pada zaman sekarang tidak sedikit orang yang menghalang-halangi segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Kita sebaiknya berniat mengeluarkan uang untuk mengerjakan perintah-perintah Allah SWT.” (Sholeh Darat al-Samarani, Kitab Manasik Haji dan Umrah, 2018, CV Global Press, Yogyakarta, halaman 85-86)


Pembahasan tersebut mengaitkan antara biaya yang dikeluarkan saat karantina dengan menolong musuh Allah SWT. Tidak diragukan lagi bahwa kebijakan karantina waktu itu diterapkan oleh pemerintah penjajah Belanda. Oleh karena itu, uang yang dikeluarkan oleh jamaah haji tentu akan menjadi pendapatan pemerintah penjajah. Mau tidak mau, jamaah harus membayar sehingga Kiai Sholeh Darat memandang perlunya meniatkan pengeluaran uang itu dalam rangka melaksanakan bagian dari proses haji, bukan untuk mendanai pemerintah Belanda.


Pemerintah Belanda sebagai penjajah dianggap sebagai musuh Allah SWT karena mereka memusuhi kaum muslimin. Ketika mereka menyediakan berbagai hal yang mendukung ibadah haji, pemerintah Belanda hanya didorong oleh motif ekonomi untuk menambah pendapatan. Mereka menyediakan angkutan kapal dan fasilitas karantina dengan biaya yang banyak agar kaum muslimin mengikuti aturannya. Mereka memandang bahwa kaum muslimin yang berhaji lebih banyak akan pasrah terhadap proses aturan haji yang dibuat oleh pemerintah Belanda, termasuk dalam proses karantina.


Saat dikarantina, jamaah haji akan diperiksa kesehatannya oleh para dokter Belanda. Ternyata, ada juga jamaah haji yang sakit maupun meninggal dunia saat proses karantina ini. Fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Belanda selama proses karantina juga tidak menjamin peningkatan kesehatan jamaah haji. Berbagai kesulitan juga dialami oleh jamaah haji pada masa karantina ini seperti kehabisan bekal uang.


Beratnya beban biaya dan keuangan yang ditanggung jamaah haji juga tidak luput dari perhatian Kiai Sholeh Darat. Biaya-biaya lainnya saat berhaji selain karantina juga membutuhkan bekal yang cukup. Dalam bagian kitabnya yang lain, Beliau menuliskan:


“Kesepuluh, rida dan ikhlas atas segala harta benda yang telah dinafkahkan, mulai dari ongkos kapal, ongkos unta, dan lain-lain.” (Sholeh Darat al-Samarani, Kitab Manasik Haji dan Umrah, 2018, CV Global Press, Yogyakarta, halaman 87-88)


Untuk biaya-biaya yang tidak bisa dihindari dalam rangka perlengkapan haji tersebut, Kiai Sholeh Darat menyampaikan agar para jamaah tidak merasa keberatan. Salah satu contoh perlengkapan ketika berkendara dengan unta yang diperlukan waktu itu adalah sekedup. Ada biaya khusus untuk sekedup yang harus dikeluarkan oleh jamaah haji. 


Pentingnya keikhlasan juga disampaikan Kiai Sholeh Darat dengan motivasi pahala berlimpah saat haji di bagian lain kitabnya. Apabila mengalami kehinaan selama perjalanan, kehilangan harta benda, dan beratnya berpisah dengan keluarga perlu disikapi dengan keikhlasan. Beliau menekankan pentingnya untuk tidak berkeluh kesah terhadap kesulitan-kesulitan tersebut. Anjuran untuk tidak kikir diimbangi dengan janji pahala sedekah terhadap semua biaya yang dikeluarkan di tanah suci. Beliau menyampaikan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan di tanah suci akan dibalas dengan 700 kali lipat oleh Allah SWT.


Kiai Sholrh Darat yang juga guru Raden Ajeng (RA) Kartini, Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan itu juga memotivasi jamaah bahwa apabila terjadi musibah dalam perjalanan haji, maka hal itu akan dicatat sebagai pahala berjihad fisabilillah. Oleh karena itu, Beliau juga menekankan pentingnya sikap menerima, rida, bahagia, dan bersyukur dalam setiap kesulitan yang ditemui selama melaksanakan ibadah haji.


Berdasarkan kisah dari Kiai Sholeh Darat tersebut, haji yang dilaksanakan di masa-masa sulit merupakan perjuangan berat. Penjajahan pada masa lalu termasuk kondisi yang sulit untuk berhaji, tetapi semangat kaum muslimin tetap membara untuk sampai ke tanah suci. 


Keinginan menunaikan rukun Islam kelima itu juga tetap terjaga hingga masa kini.  Setelah pandemi, biaya haji mengalami kenaikan karena beberapa komponen biaya mengalami peningkatan biaya. Di tengah kenaikan biaya haji, selayaknya calon jamaah haji Indonesia menjaga niat dan terus berikhtiar. Dengan mengoptimalkan ikhtiar dan doa, termasuk doa untuk pemerintah, semoga haji di tahun ini dimudahkan Allah SWT dan pada tahun-tahun mendatang biayanya tetap terjangkau oleh masyarakat di Indonesia. Wallahu a'lam bis shawab


Pengirim: Yuhansyah Nurfauzi 


Fragmen Terbaru