Lawinda Rahmawati
Penulis
Semarang, NU Online Jateng
KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menyampaikan tujuh poin yang berisikan alasan mengapa bangsa Indonesia saat itu harus merdeka dari segala bentuk penjajahan. Tujuh poin tersebut terejawantahkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.
“Tujuh poin pernyataan ini tidak hanya dimaksudkan Gus Dur untuk menelaah kembali arti kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai dasar dan pijakan melangkah bagi Indonesia,” tulis Fathoni Ahmad dalam artikel berjudul Tujuh Hakikat Kemerdekaan Menurut Gus Dur di NU Online, dikutip Kamis (15/8/2024).
Baca Juga
Sekelumit Kisah Kasih Sayang Gus Dur
Hakikat kemerdekaan yang diungkapkan Gus Dur juga berarti bahwa rakyat Indonesia tidak lagi terjajah oleh ‘baju kotor’ yang kerap membayang-bayangi dalam bentuk kolonialisme modern berbalut agama, radikalisme global, penolakan terhadap tradisi dan budaya, intoleransi, kapitalisme, pencekik rakyat kecil, reduksi moralitas, hingga perilaku korup.
Dijelaskan Fathoni, tujuh poin yang dimaksud disampaikan oleh Gus Dur saat memperingati HUT RI ke-46 dalam Forum Demokrasi (Fordem) pada 8 Agustus 1991 silam. Pada kesempatan itu, Gus Dur berperan sebagai pemandu diskusi dan dokumen tersebut dimuat di Majalah AULA Nahdlatul Ulama.
Berikut tujuh pernyataan tersebut:
Pernyataan pertama, kemerdekaan merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Pada 18 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia menjamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) bahwa sistem yang menghambatnya (penjajahan) tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Pernyataan kedua, kemerdekaan adalah hak, hak yang mendasar bagi setiap manusia. Karena itu, harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1959, perangkat hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia disusun dan digunakan sedemikian rupa sehingga kemerdekaan justru terancam oleh tindakan sewenang-wenang (license).
Pernyataan ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan (license) dalam penggunaan kekuasaan itu. Tergantung dari susunan dan penggunaannya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan. Dari 17 Agustus 1959 sampai Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan begitu terpusat di satu tangan seorang pemimpin, sehingga kemerdekaan tidak saja tertekan, tetapi juga telah mengakibatkan malapetaka kemiskinan dan kekerasan.
Pernyataan keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan tertentu. Semakin terpusat kekuasaan itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. Sejak Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan kita sudah disebar meskipun harus diakui bahwa penyebaran itu masih sangat terbatas.
Pernyataan kelima, kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini, kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, seperti lambatnya laju produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, meski daya cipta masyarakat dan daya kerja aparat kekuasaan yang rendah.
Pernyataan keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. Bila pengalaman masyarakat dan negara lain di dunia begitu diperhatikan, maka nyatalah bahwa kemerdekaan (liberty) selalu bergandeng dengan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan (fraternity), dan persamaan hak (equality). Semua ini bukan barang jadi, tapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun terus menerus.
Pernyataan ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. Upaya yang tak habis-habis dalam memelihara keseimbangan ini bisa disebut demokrasi, di mana kemerdekaan hidup dan tanggung jawab yakni keseimbangan dengan persamaan hak bagi semua, serta dengan perasaan senasib sepenanggungan. Mencapai keseimbangan ini adalah tugas masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sekarang.
Tujuh pernyataan Gus Dur di atas menegaskan tentang hakikat kemerdekaan yang dipotret secara historis kemudian dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sehingga bersifat reflektif. Kemerdekaan tidak hanya langkah awal dalam membangun kemanusiaan yang beradab, tetapi juga mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
Terpopuler
1
Promosi Doktor H M Faojin: Strategi Implementasi Kebijakan PAI di Sekolah Non-Muslim untuk Moderasi Pendidikan Agama di Indonesia
2
Menghidupkan Warisan Ulama Nusantara, Ma’had Aly Amtsilati Gelar Seminar Manuskrip dan Pelatihan Tahqiq Bersama Nahdhatut Turats
3
PAC GP Ansor Margasari Adakan Rapat Kerja Perdana Masa Khidmat 2024-2027
4
Khasiat Doa Akhir Bulan Rajab dan Puasa Menurut KH Achmad Chalwani
5
Program Makan Bergizi Gratis Mulai Berjalan di Pati Meskipun Sempat Terlambat
6
Peringatan Harlah Ke-102 NU, PCNU Banjarnegara Tekankan Kebersamaan demi Harmoni Masyarakat
Terkini
Lihat Semua