• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Tokoh

Kiai Ibrahim Brumbung, Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Mranggen Demak

Kiai Ibrahim Brumbung, Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Mranggen Demak
Salah satu Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) paling awal di Jawa Tengah adalah Kiai Ibrahim Brumbung (Foto: Istimewa)
Salah satu Mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) paling awal di Jawa Tengah adalah Kiai Ibrahim Brumbung (Foto: Istimewa)

Salah satu Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) paling awal di Jawa Tengah adalah Kiai Ibrahim Brumbung. Ia lahir di Semarang, tepatnya di daerah Terboyo pada tahun 1839. 

 

Ayahnya bernama Raden Thohir bin Yudo Negoro alias Raden Syahid bin Raden Surohadi Menggolo alias Sayid Muhammad. Raden Surohadi Menggolo juga dikenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Terboyo yang makamnya berada di belakang Masjid Terboyo Semarang. 

 

Dilihat dari tahun kelahirannya, usia Kiai Ibrahim Brumbung tidak terpaut jauh dengan usia Kiai Sholeh Darat (1820-1903), Kiai Kholil Bangkalan (1820-1925), dan Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1897). Bahkan dengan guru mursyidnya, Syekh Abdul Karim Banten (lahir 1830), usia Kiai Ibrahim hanya selisih 9 tahun. 

 

Kiai Ibrahim memperoleh pendidikan agama di pelbagai pondok pesantren, di antaranya Pesantren Cepoko, Berbek, Nganjuk, Pesantren Mangunharjo, Pesantren Langitan Tuban (ketiganya di Jawa Timur), dan pesantren di Banten. Tidak menutup kemungkinan Kiai Ibrahim juga belajar dengan ulama-ulama Makkah karena ia beberapa kali melaksanakan ibadah haji. 

 

Sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa waktu itu, selain haji mereka juga belajar agama khususnya kepada ulama-ulama Jawa yang menetap di Makkah (Al-Jawi Al-Makky).

 

Kiai Ibrahim menikah dengan Nyai Janah yang tinggal di Desa Ngemplak (masih wilayah Mranggen). Tahun 1870 ia terpanggil untuk memakmurkan Masjid Brumbung (sekarang Masjid Besar Nurul Huda) yang merupakan peninggalan seorang perempuan keturunan nabi bernama Sayyidah Sakdiyah. Kiai Ibrahim kemudian pindah ke Brumbung dan mendirikan pesantren yang saat ini bernama Ibrohimiyyah. 

 

Dari pernikahannya dengan Nyai Janah Kiai Ibrahim dikaruniai putra bernama Kiai Thoyib. Nyai Janah tidak berumur panjang sehingga Kiai Ibrahim kemudian menikah lagi dengan putri seorang sipir penjara bernama Nyai Halimah yang berasal dari Semarang. 

 

Fase ini menimbulkan teka-teki, bagaimana Kiai Ibrahim bertemu dengan putri seorang sipir? Apakah Kiai Ibrahim pernah dipenjara?

 

Dilihat dari sikapnya yang tegas terhadap Belanda, tidak menutup kemungkinan Kiai Ibrahim pernah dipenjara. Bahkan boleh jadi, nama yang disebut sebagai khalifah 'Abdul Qadir' yang begitu menggusarkan Belanda pada sekitar 1880 tidak lain adalah Kiai Ibrahim. Kedudukannya sebagai mursyid TQN dan murid Syekh Abdul Karim, kiai yang sangat tegas terhadap Belanda dan dinilai sebagai inspirator Pemberontakan Petani Banten 1888, memperkuat hal itu.

 

Dari pernikahannya dengan Nyai Halimah Kiai Ibrahim dikarunia enam orang anak, yakni H Nur Kembangarum, Hj Nafi'ah Patebon Kendal, Kiai Ichsan Brumbung, Kiai Chamim Brumbung, Aminah Kendal, dan Ridwan Brumbung. Kiai Ichsan menurunkan Kiai Latif Mastur yang pernah aktif di organisasi tarekat NU (Jatman).

 

Tahun 1876 Kiai Ibrahim mulai menerima santri yang ingin belajar agama kepadanya khususnya belajar kitab-kitab kuning. Banyak santri Kiai Ibrahim yang kemudian menjadi ulama besar. Di antaranya adalah Kiai Faqih Kolilan Kendal, Kiai Dahlan Patebon Kendal, Kiai Mas'ud Gilisari Weleri, Kiai Abdurrahman Menur, Kiai Abdurrahman Suburan Mranggen (Pendiri Pesantren Futuhiyyah), dan Kiai Muslih Abdurrahman. 

 

Kiai Ibrahim menulis risalah berjudul 'Silsilat At-Thariqatain Al-Qodiriyah wa An-Naqsyabandiyah' yang ditulis bersama dengan gurunya, Syekh Abdul Karim Banten. 

 

Ahmad Ginanjar Sya'ban, seorang filolog yang menemukan risalah itu di lemari milik Kiai Sholeh Syamsuddin Lateng Banyuwangi (Wafat 1951) beberapa tahun lalu mengatakan bahwa risalah itu berisi tata cara atau petunjuk bertarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. 

 

Kiai Ibrahim wafat pada Selasa, 7 Shafar 1346/31 Agustus 1926 dan dimakamkan di Pemakaman Brumbung, persis di belakang Pesantren Futuhiyyah. Hingga kini, terutama pada hari Jumat, makamnya ramai diziarahi oleh santri-santri dan masyarakat sekitar Mranggen. Wallahu a'lam bis shawab.

 

Kontributor: Moh Salapudin
Editor: M Ngisom Al-Barony


Tokoh Terbaru