• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Tokoh

Kiai Chudlori, Santri Kelana, dan Jatilan

Kiai Chudlori, Santri Kelana, dan Jatilan
KH Chudlori pendiri Pesantren API Tegalrejo Magelang (Foto: Istimewa)
KH Chudlori pendiri Pesantren API Tegalrejo Magelang (Foto: Istimewa)

KH Chudlori lahir di Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah dari pasangan Muhammad Ikhsan dan Mujirah. Ia anak kedua dari sepuluh bersaudara. Muhammad Ikhsan adalah Penghulu Tegalrejo pada masa penjajahan Belanda. 

 

Ayah Muhammad Ikhsan bernama Abdul Halim, juga penghulu zaman Belanda yang sangat dihormati. Abdul Halim menangani urusan agama di Magelang meliputi kecamatan Candimulyo, Martoyudan, Mungkid, dan Tegalrejo. 

 

Pada tahun 1923, setelah menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pesantren Payaman yang diasuh KH Siroj. Ia menghabiskan 2 tahun di pesantren tersebut. Kemudian pindah ke pesantren Koripan di bawah asuhan Kiai Abdan. Tapi kemudian pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga tahun 1928. 

 

Kehausan akan ilmu agama, ia kemudian nyantri ke Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadrotussyekh KH Hasyim Asy'ari. Di pesantren pendiri NU tersebut, ia mempelajari beragam kitab. Saat di Tebuireng, ayah Chudlori mengirim uang sebanyak Rp750,- per bulan, tetapi ia hanya menghabiskan Rp150,- dan mengembalikan sisanya. 

 

Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Cerita lainnya tentang Chudlori, di kamarnya di Tebuireng, ia membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut di antara loteng dan atap. 

 

Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Jadi dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. 

 

Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. 

 

Pada tahun 1933, ia pindah ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri menjadi santri Kiai Chozin Muhajir. Di situ ia belajar fiqih dan tasawuf seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Empat tahun berikutnya, ia mengaji di pesantren Sedayu, belajar ilmu membaca Al-Qur’an selama 7 bulan. Pada tahun 1937, ia nyantri lagi ke Lasem, Jawa Tengah yang diasuh KH Ma'shum dan KH Baidlowi. 

 

Setelah menikahi putri KH Dalhar Watucongol, ia sempat mengajar di pesantren mertuanya tersebut. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halamannya adalah cita-citanya yang menggebu-gebu sehingga ia selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah SWT untuk niatnya itu. 

 

Setelah mendapat petunjuk dan membicarakan kepada mertuanya, kemudian pada 15 September 1944 KH Chudlori pulang kampung dan mendirikan pesantren di Tegalrejo. Masyarakat desa itu, ketika ia mendirikan pesantren, terbelah menjadi yang pro dan kontra. Kalangan yang pro gembira karena ada anak kampungnya yang menyebarkan ajaran agama. Sebaliknya yang kontra, lebih karena antipati terhadap penyebaran Islam. 

 

Sebagai kiai yang digembleng bertahun-tahun, Chudlori tetap tegar menghadapi kalangan yang kontra. Ia tetap menjalankan misinya mengembangkan syariat Islam. Awalnya, Chudlori tak memberikan nama khusus pada pesantrennya, namun pada tahun 1947, atas saran teman-teman seperjuangannya, ia menamainya dengan Asrama Perguruan Islam (API). 

 

Nama itu merupakan hasil istikharahnya. Dengan nama itu, ia berharap santri-santrinya kelak akan jadi api penerang umat dalam kegelapan. Pada tahun 1947, ketika Belanda melakukan Agresi Militer, Pesantren API menjadi benteng perjuangan mempertahankan kemerdekaan oleh para gerilyawan. Bahkan Chodlori yang kemudian bergelar kiai, mengizinkan santrinya untuk turut berjuang. 

 

Aktivitas belajar-mengajar dihentikan untuk sementara waktu. Karena perjuangan itu diketahui Belanda, pesantrennya kemudian dibakar habis. Santri, keluarga, dan Kiai Chudlori sendiri mengungsi dari satu desa ke desa lain. Kemudian di tahun 1949, ia kembali ke desanya dan mebangun kembali pesantren. 

 

Pembangunan kali ini, dibantu warga masyarakat yang telah bersimpati pada perjuangannya. Santri pun bertambah banyak. Pada tahun 1977, ia memiliki sekitar 1.500 santri. Di tahun tersebut, pesantren API sedang berkembang pesat, tapi di tahun itu pula Kiai Chudlori dipanggil yang Kuasa. 

 

Kiai Chudlori dan Jatilan

 

KH Chudlori Tegalrejo Magelang adalah ulama yang terkenal luwes, bijaksana, dan dicintai masyarakat. Suatu ketika dua kelompok masyarakat yang berseberangan pendapat, sowan kepada beliau untuk meminta fatwa tentang penggunaan uang kas desa. Pendukung jatilan (Jaranan / Kuda Lumping) menginginkan agar uang tersebut dibelikan perangkat jatilan, sementara komunitas masjid menginginkan untuk pembangunan masjid.

 

Ternyata, keputusan yang diberikan Kiai Chudlori sangat mengejutkan. Sebab, Kiai Chudlori justru memutuskan agar uang itu digunakan untuk membeli perlengkapan Jathilan. Kiai Chudlori dengan bijak, memberikan penjelasan kepada pengurus Masjid. Kalau uang itu dibelikan perlengkapan Jathilan, keributan teratasi, masyarakat menjadi rukun dan kelompok jatilan akan senang dengan masjid. 

 

Kalau sudah tentram dan rukun, suatu saat nanti masjid terbangun dengan sendirinya, tapi kalau uang kas desa itu diperuntukkan masjid, orang-orang jathilan akan menjauh dari masjid dan tidak akan pernah kenal masjid.

 

Sumber: NU Online
 


Tokoh Terbaru