• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 16 Mei 2024

Tokoh

KH Siraj Abdurrasyid, Ulama Kharismatik dari Payaman Magelang

KH Siraj Abdurrasyid, Ulama Kharismatik dari Payaman Magelang
Mbah Siraj Payaman berjalan di belakang Mbah Dalhar Muntilan (dok. istimewa)
Mbah Siraj Payaman berjalan di belakang Mbah Dalhar Muntilan (dok. istimewa)

KH Siraj Abdurrasyid atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Siraj Payaman (para santri dan masyarakat sekitar Payaman memanggilnya dengan sebutan Mbah Rama Agung) adalah sosok ulama yang masyhur dengan perjuangan dan karomahnya. Beliau lahir pada tahun 1878 di Payaman, Magelang, Jawa Tengah. Ayahnya merupakan seorang ulama bernama KH Abdurrasyid.

 

Setelah belajar ilmu agama kepada ayahnya, Kiai Siraj muda melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke Temanggung. Setelah itu ia pergi ke Punduh, Tempuran, Magelang untuk menimba ilmu kepada KH Ma'sum yang tidak lain merupakan paman beliau sendiri. Tidak hanya sampai di situ, perjalanan Kiai Siraj dalam tholabul ilmi masih berlanjut, ia kemudian berguru kepada Syekh Kholil Bangkalan, Madura. Ia juga pergi ke Makkah dan sempat menetap selama delapan tahun di sana.

 

Keilmuan Kiai Siraj banyak diakui oleh para ulama-ulama baik yang sezaman dengannya, maupun generasi setelahnya. Karya-karya beliau juga masih dikenang dan dipelajari hingga saat ini seperti Erang-Erang Sekar Panjang dan Tafsir Yasin. Kiai Siraj adalah ulama pertama di Magelang pada zaman kolonial yang berani mengadakan majelis pengajian keliling.

 

Meski kala itu Belanda tidak senang dengan kegiatan tersebut, namun perjuangan beliau tetap gigih dalam mengajarkan syariat Islam. Ceramah yang penuh akan petuah-petuah kearifan, membuat masyarakat menjuluki beliau dengan sebutan ‘Kiai Nasihat’. Kemasyhuran Kiai Siraj waktu itu perlahan namun pasti, mulai menyebar dari daerah Kedu, Jogja, bahkan hingga wilayah Semarang dan sekitarnya.

 

Perjuangan Melawan Penjajah

Ketika melihat penjajah Belanda berlaku semena-mena terhadap rakyat, Kiai Siraj tak tinggal diam. Beliau berusaha memberikan perlawanan terhadap perlakuan pihak kolonial tersebut. Orang-orang Belanda yang melihat sosok Kiai Siraj sebagai seorang tokoh yang mampu memberi pengaruh pada masyarakat pun merasa terancam.

 

Tak jarang Kiai Siraj menjadi target penjajah untuk ditangkap, sebab beliau dianggap sebagai salah satu pemimpin gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Kiai Siraj bahkan sempat ditahan beberapa saat di Purworejo. "Tidak ada kyai yang diam melihat rakyat menjerit," kata KH Halim Abdurrahman, salah satu keturunan Kiai Siraj.

 

Selain perjuangan dan keilmuannya yang luas, Kiai Siraj juga terkenal akan karomahnya yang mengagumkan. Suatu ketika Kiai Siraj sedang mengisi pengajian di Parakan, Temanggung. Kemudian setelah selesai, beliau pun pulang dengan menaiki delman. Akan tetapi sang kusir ragu karena mereka belum shalat Ashar.

 

"Mbah kiai mau shalat di Parakan atau di mana?" tanya kusir.

 

"Di Payaman saja," jawab Kiai Siraj.

 

Mendengar jawaban sang kiai, kusir tadi pun merasa heran, karena waktu yang diperkirakan tidak mungkin cukup untuk melaksanakan sholat ashar di Payaman, mengingat jarak dari Parakan hingga Payaman yang cukup jauh.

 

Namun, sesampainya di Payaman, si kusir tambah bingung dan keheranan, karena setibanya di Payaman, ia baru saja mendengar suara adzan, tanda masuk waktu shalat Ashar.

 

Bukan hanya itu, pada tahun 1930-an, ketika Gunung Merapi meletus. Karena khawatir akan jatuh banyak korban jiwa, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mencari bantuan kepada para tokoh, termasuk para kiai. Kemudian oleh Danu Sugondo (Bupati Magelang yang masih keturunan Basyaiban) disarankan untuk meminta bantuan kepada Kiai Siraj.

 

Lalu, oleh Kiai Siraj disarankan agar mengadakan acara Khataman Kitab Shahih Bukhari dalam satu majelis. Acara ini kemudian dilangsungkan di Masjid Agung Magelang dengan dihadiri oleh banyak kiai dari berbagai daerah di Magelang dan sekitarnya. Dengan izin Allah, erupsi Gunung Merapi berhenti.

 

Setelah kejadian itu Belanda memberi gelar 'Rama Agung' kepada KH Siraj Abdurrasyid. Selain itu, kegiatan membaca Kitab Shahih Bukhari yang digunakan untuk wasilah pada peristiwa erupsi Gunung Merapi tersebut, hingga saat ini masih terus dilestarikan. Salah satunya Pondok Pesesantren Sirojul Mukhlasin 2 Payaman, yang setiap Ahad Wage masih menjalankan tradisi tersebut dengan sebutan "Selapanan Bukhoren".

 

Setiap hari Selasa, Kiai Siraj mengadakan majelis pengajian di Masjid Agung Payaman. Suatu ketika, acara itu dicurigai Belanda sebagai sebuah diskusi melawan penjajahan. Dengan pesawatnya, Belanda melancarkan serangan udara untuk menggempur Masjid Agung Payaman.

 

Banyak jamaah baik yang di dalam maupun di luar masjid merasa panik. Namun, Kiai Siraj memberikan perintah untuk tetap tenang serta terus berdzikir dan bertawakal kepada Allah. Tanpa disangka, setelah serangan tersebut berakhir, tidak ada satupun korban jiwa yang gugur. Konon, hanya ada beberapa orang yang terluka akibat terkena pecahan atap masjid yang jatuh.

 

Semasa hidupnya, Kiai Siraj pernah menjalani riyadhah dengan tidak tidur selama sepuluh tahun. Selain itu, Kiai Siraj juga dikenal banyak berdzikir di setiap keadaan dan di mana pun beliau berada. Tak heran jika Kiai Siraj menjadi tokoh ulama yang disegani banyak orang karena kesalehan dan kewibawaan beliau.

 

KH Siraj Abdurrasyid wafat pada tahun 1958 dalam usia sekitar 70 tahun. Hingga saat ini, makam beliau juga berada di belakang Masjid Agung Payaman, Secang, Magelang, masih kerap ramai oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Semasa hidupnya, Kiai Siraj mempunyai empat orang istri yaitu Siti Fatimah, Shafiah, Sumini, dan Istiqamah. Dari sini beliau memiliki banyak keturunan yang hingga saat ini sebagian besar menjadi tokoh agama terkemuka di wilayah Magelang dan sekitarnya. 

 


Kontributor: Nizam
Editor: Ajie Najmuddin


Tokoh Terbaru