• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 7 Mei 2024

Tokoh

Habib Ahmad bin Abdullah Alatas, Lahir di Hadramaut Yaman Wafat di Pekalongan

Habib Ahmad bin Abdullah Alatas, Lahir di Hadramaut Yaman Wafat di Pekalongan
Habib Ahmad bin Abdullah Alatas (Foto: Istimewa)
Habib Ahmad bin Abdullah Alatas (Foto: Istimewa)

Pengantar redaksi

Tahun 2020 Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menerbitkan buku 'Jejak Ulama Nusantara' seri 1 dengan menulis sejarah ulama-ulama lokal di Pekalongan dan sekitarnya. NU Online Jateng secara bertahap akan mengangkat ulang melalui kanal 'Tokoh' dengan harapan untuk bisa diteladani perjuangan semasa hidupnya. Selamat membaca.



Setidaknya terdapat tiga rujukan penting yang memuat cerita tentang kehidupan (manaqib)   Habib Ahmad bin Abdullah al-Athos. Yang pertama adalah Manaqib al-Imam al-Arif billah  Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athos karya Muhsin bin Muhammad al-Athos. Yang  kedua adalah Mawrid al-Thalib fi Manaqib Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib tulisan Ahmad bin Umar al-Athos, dan yang ketiga adalah Taj al-Aras ala al-Habib al-Quthb Shalih bin Abdullah al-Athos karya Ali bin Husain al-Athos. 


Dalam rujukan-rujukan tersebut diterangkan bahwa Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib dilahirkan di Kota al-Hajarayn, Hadramaut, Yaman pada tahun 1255 H atau 1839 M. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan dalam bidang agama langsung dari orangtua, yaitu Habib Abdullah bin Thalib al-Athos dan asy-Syarifah Zaenah binti Ahmad al-Kaf.


Nasab beliau menyambung hingga Rasulullah. Secara urut nasab beliau adalah: Habib Ahmad  bin Abdullah bin Thalib bin Ali bin Hasan bin Ali (Shohib Mashad) bin Hasan bin Abdullah  bin al-Quthb Husain bin al-Quthb Anfas Habib Umar bin Abdurrohman al-Athos bin ‘Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf bin Muhammad Maulad Dawilah bin Ali Maulad Dark bin Alwy al-Ghayyur bin al-Faqih al-Muqaddam  Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Alwy Khali’ Qatsam bin Alwy bin Muhammad bin  Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin  Imam Husein al-Sibth bin Ali bin Abi Thalib dan bin Siti Fatimah az-Zahra al-Batul binti Rasulullah Muhammad SAW


Setelah dirasa cukup menimba ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu  kepada para ulama besar yang ada di Hadramaut. Di antara guru-guru beliau adalah (1)  Habib Hasan bin Ali al-Kaff; (2) Habib Abdurrahman bin Ahmad al-Kaff;  (3) Habib al-Quthb Sholeh bin Abdullah al-Athos; (4) Habib al-Quthb Abubakar bin Abdullah al-Athos;  (5)  Habib al-Quthb Thahir bin Umar al-Haddad; (6) Habib al-Quthb Idrus bin Umar al-Habsyi;  (7) Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh al-Bahar;  (8) Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar; (9) Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfagih.


Setelah ditempa oleh para ulama besar dan guru di Hadramaut, keinginan beliau untuk menuntut ilmu tak pernah luntur. Hasrat untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga beliau kemudian melakukan perjalanan ke arah utara yaitu ke Kota Makkah. Di kota suci ini, beliau banyak menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di Kota Makkah. Kesempatan  baik ini tidak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada para ulama besar seperti (1) Syaikh Muhammad bin Said Babusailah; (2) Habib Salim bin Ahmad al-Atas; (3) Al-Quthb Aqthab al-Sayyid al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan [1817-1886]; (4) Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Dua ulama besar yang disebut terakhir, juga merupakan guru para ulama Nusantara waktu itu, seperti Syaikh Mahfuz Termas, Syaikh Abdul Hamid Kudus, dan lain-lain.


Habib Ahmad selama sekitar 12 tahun menimba ilmu di Kota Makkah dengan penuh ketekunan dan keseriusan. Beliau terus mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama diakui oleh para ulama Kota Makkah saat itu. Akhirnya beliau dianjurkan oleh gurunya, al-Sayyid al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah. Mula-mula beliau berdakwah di pinggiran Kota Makkah yang beliau lakukan selama kurang lebih 7 tahun. Dalam kurun waktu itu, beliau aktif melakukan kegiatan dakwah. 


Setelah tujuh tahun mengajar di Makkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya penduduk Hadramaut yang pergi ke Indonesia, di samping untuk berdagang juga untuk menyebarkan  agama.


Setelah melakukan perjalanan panjang melalui lautan, beliau akhirnya sampai ke Indonesia sekitar antara tahun 1295 sampai 1300 H atau tahun 1880-an M. Setibanya di Indonesia, beliau kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kakinya di kota ini, beliau melaksanakan tugas sebagai Imam Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (Jalan Surabaya). Kemudian beliau membangun dan memperluas masjid tersebut.


Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca Al-Qur’an dan beberapa kitab, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Ratib, Diba’i, al-Barzanji, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu, sehingga semakin marak jamaah Masjid Wakaf sejak kehadiran Habib Ahmad.


Pada setiap bulan Rajab misalnya, di Masjid tersebut Habib Ahmad membaca kitab Shahih Bukhari dan ketika selesai diadakan upacara khataman Bukhari yang dihadiri oleh banyak jamaah. Sementara itu setiap bulan Ramadhan sore, Habib Ahmad membaca kitab al-Nasha`ih al-Diniyyah karya Imam al-Haddad.  


Setiap hari, Habib Ahmad memimpin jamaah untuk membaca Ratib. Sedangkan pada malam Jumat antara shalat Maghrib dan Isya, dan Jumat pagi bakda shalat Subuh hingga terbit matahari, Habib Ahmad dan para jamaah duduk melingkar untuk membaca surat-surat dalam Al-Qur’an yang disunnahkan untuk dibaca pada hari Jumat seperti surat al-Kahfi, Yasin, al-Dukhan, al-Waqiah dan al-Mulk. Semuanya itu dilakukan di Masjid Wakaf. 


Sedangkan di rumah, beliau juga membuka pengajian untuk kalangan terbatas. Di antara kitab-kitab yang beliau baca di rumah adalah Risalah al-Muawanah karya Habib Abdullah al-Haddad, ‘Iqd al-Yawaqit karya Habib Idrus bin Umar, Idhah Asrar Ulum al-Muqarrabin karya Habib Muhammad al-Idrus, al-Anwar al-Muhammadiyah karya al-Nabhani, dan juga karya-karya Habib Ali bin Hasan al-Athos seperti al-Riyadh al-Muniqa, al-Washiyyah al-Mardhiyyah, dan al-Khulashah.


Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang masih sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah yang letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah ini yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah Bagir merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern yang kemudian berkembang di kota-kota lain. (bersambung)



Catatan:

  1. Tulisan versi lengkap bisa dibaca pada buku 'jejak Ulama Nusantara' diterbitkan Lakpesdam NU Kota Pekalongan CP: Abdul Adhim 0858 4221 2530
  2. Redaksi juga menerima tulisan profil tokoh ulama, kiai, habaib dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Tulisan bisa dikirim via email redaksi: [email protected]


Tokoh Terbaru