• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 3 Mei 2024

Regional

Pesantren Al-Manshur Popongan Klaten Gelar Haul Ke-10 KH Salman Dahlawi 

Pesantren Al-Manshur Popongan Klaten Gelar Haul Ke-10 KH Salman Dahlawi 
Kegiatan haul ke-10 almaghfurlah KH Salman Dahlawi Popongan, Klaten (Foto: NU Online Jateng/Eko)
Kegiatan haul ke-10 almaghfurlah KH Salman Dahlawi Popongan, Klaten (Foto: NU Online Jateng/Eko)

Klaten, NU Online Jateng
Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten menggelar Haul ke 10 KH Salman Dahlawi bin KH Muhammad Muqri Kafrawi di komplek pondok setempat pada Kamis (11/5/2023).


Dzuriyah bani KH Salman Dahlawi KH Zabaduzzaman mengatakan, haul digelar sebagai cara mengingat kembali perjuangan almaghfurlah Kiai Salman. Selain itu, haul ke-10 sekaligus sebagai ajang halal bihalal.


“Berhubung masih dalam suasana bulan syawal, kami keluarga bani KH Salman Dahlawi memohon maaf bilamana ada kesalahan dalam penyelenggaraan haul dan semoga keluarga kita tergolong keluarga sakinah, dimudahkan rezekinya dan berakhir husnul khatimah,” ujarnya.


Dirinya berharap, para santri dan generasi penerusnya bisa mengikuti jejak dan langkah serta perjuangannya dalam melaksanakan dan mengamalkan ajaran Islam rahmatan lil alamin ala ahlussunnah wal jamaah.


"Pesantren Al-Mansur tinggalan Mbah Salman harus terus menerus dirawat agar tanaman berupa lembaga pendidikan diniyah dan pesantren bisa terus berkembang," ucapnya. 
 

Kepada NU Online Jateng,  Ahad (14/5/2023) lurah pondok Ibnu Fajar menjelaskan, acara dihadiri  oleh ribuan jamaah. "Haul yang digelar sebagai agenda rutin tahunan dan sempat terhenti karena masa Covid-19 ini dihadiri ribuan jamaah baik dari Jawa Tengah, Jawa timur, DIY dan bahkan luar jawa,” terangnya.


Disampaikan, puncak acara dengan dzikir tahlil, shalawatan, dan doa bersama. "Acara puncak haul dihadiri Habib Sech bin Abdul Qadir Assegaf bersala grup Ahbabul Mustofa,” pungkasnya.





Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan Kharismatik


Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan Mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).  


Yang membuat banyak kalangan nahdliyin semakin hormat kepada sosok ini adalah kesediaannya untuk tetap mengaji kepada kiai dengan cara antri sebagaimana santri kebanyakan, meskipun beliau sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai Mursyid Tarekat.  


Keaktifannya di NU tidak menghalangi sosok ini untuk akrab kepada semua pihak dari beragam latar belakang. Figur yang amat bersahaja, ramah, serta tawadlu adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu. 


Jadi Mursyid Usia 19 Tahun 


Dilansir dari laman nu.or.id, Mbah Salman adalah anak laki-laki tertua dari KH M Mukri bin KH Kafrawi. Dia merupakan cucu laki-laki tertua dari KHM Manshur, pendiri pesantren Al-Manshur. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jabal Abi Qubais Makkah. 


Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman muda memang dipersiapkan oleh sang kakek, KHM Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai wali untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah. Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. 


Maka, ketika pemuda-pemuda lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya, Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid. Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya KH Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, KHM Mukri. 


Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada KH Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang. Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980). 


Pengirim: Eko Priyanto
 


Regional Terbaru