• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Menilik Urgensi RUU Larangan Minuman Beralkohol

Menilik Urgensi RUU Larangan Minuman Beralkohol
Minuman Keras berbahaya pada kerusakan mental bangsa. (NU Online)
Minuman Keras berbahaya pada kerusakan mental bangsa. (NU Online)


Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Ciptaker disahkan menjadi undang-undang, kini publik dihebohkan kembali dengan RUU yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, atau yang sering disebut dengan RUU Minol.

 

RUU ini pernah dibahas oleh DPR pada periode 2014-2019, namun tidak sampai pada kesepakatan, kemudian dimasukkan lagi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas untuk dibahas kembali oleh DPR periode 2019-2024.

 

Tujuan dibentuknya RUU ini untuk menciptakan lingkungan kehidupan yang baik dan sehat bagi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol, sehingga dapat terjaga kualitas kesehatan, ketertiban, ketenteraman, dan keamanan masyarakat.

 

Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam minuman beralkohol diharamkan karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya, sehingga akan menimbulkan kerugian bagi peminumnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 219 :


يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ َ


Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ”Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Q.S. Al-Baqarah: 219).

 

Minuman beralkohol berdampak negatif pada kesehatan fisik, yang dapat menimbulkan kerusakan hati, jantung, maupun peradangan lambung. Pada psikologis, dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran akal, sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan. Serta pada sosial, dapat mengakibatkan kehidupan di masyarakat menjadi tidak kondusif akibat tindakannya.

 

Allah SWT mengharamkannya tentu bukan tanpa alasan, dapat kita ketahui maqashid syari’ah atau tujuan disyariatkannya hukum dari dilarangan minuman beralkohol, yakni untuk memelihara akal (hifdz al-‘aql). Dengan demikian islam sangat memperhatikan terpeliharanya akal demi keberlangsungan hidup.

 

Perspektif Hukum Positif
Indonesia merupakan negara hukum sehingga segala sesuatunya didasarkan pada hukum. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup baik dan memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk dapat merealisasikannya, negara mewujudkan lewat aturan-aturan yang dibuatnya seperti aturan tentang larangan minuman beralkohol.

 

Minuman beralkohol diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Peraturan Daerah (Perda). Dalam KUHP ada beberapa pasal mengenai minuman beralkohol, seperti dalam pasal 300 ayat (1), pasal 492 ayat (1). Namun dalam pasal tersebut subjek hukumnya masih terbatas pada orang yang sudah terlihat mabuk saja serta tempatnya juga terbatas pada tempat tertentu, sehingga orang yang tidak dalam keadaan mabuk dan berada ditempat yang tidak diatur dalam pasal ini tidak bisa dikenakannya.

 

Kemudian diatur secara berbeda pada masing-masing Perda, sehingga Perda disuatu daerah dengan di daerah lainnya aturan serta sanksinya juga berbeda. Pertanyaannya bagaimana dengan daerah yang tidak mempunyai Perdanya? Maka di sini negara harus hadir untuk melindungi warganya secara menyeluruh. Serta memberikan kepastian hukum, karena Perda yang ada tidak ada sumber delegasi atau payung hukumnya.

 

Maka diperlukan aturan yang lebih khusus (lex specialis) agar dapat mengatur secara komprehensif, sehingga keberadaannya sebagai penyempurna KUHP yang subjek hukumnya masih terbatas, sebagai payung hukum atas Perda serta sebagai perwujudan amanat konstitusi yang cakupannya seluruh masyarakat Indonesia.

 

RUU ini sudah cukup komprehensif, karena subjek hukumnya mulai dari yang memproduksi, menyimpan maupun yang mengonsumsinya dapat dikenakan sanksi (Pasal 5, 6 dan 7 RUU Minol). Namun aturan dalam pasal tersebut masih dikecualikan untuk keperluan tertentu.
Dengan demikian RUU ini dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dan kepastian hukum. kemudian negara turut hadir untuk merealisasikan larangan dari agama serta menjalankan amanat konstitusinya. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqhiyah:


 تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ


Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.

 

Dalam hal ini pemerintah beserta DPR dapat mewujudkan kemaslahatan lewat aturan yang dibuatnya. Maka dalam pembahasan RUU ini perlu peran serta masyarakat untuk memberikan aspirasinya agar sesuai kebutuhan. Sehingga RUU ini dapat bersifat responsif serta dapat mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

 

Muhammad Abdul Manaf, Kader IPNU Sukorejo dan Mahasiswa FSH UIN Walisongo Semarang.
 


Opini Terbaru