• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Mengambil Hikmah dari Keteladanan Abu Qilabah Selalu Sabar, Syukur, dan Memuji Allah 

Mengambil Hikmah dari Keteladanan Abu Qilabah Selalu Sabar, Syukur, dan Memuji Allah 
Foto: Ilustrasi (umroh.com)
Foto: Ilustrasi (umroh.com)

Nama lengkap Abu Qilabah ialah Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Beliau termasuk golongan sahabat dan seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik. Abu Qilabah sendiri seorang yang masyhur sebagai ahli ibadah dan zuhud. Beliau berasal dari kota Bashrah dan wafat di Syam pada 104 H.

 

Ibnu Hibban mencatat dalam kitab ats-Tsiqot mengenai salah satu kisah Abu Qilabah yang haru di saat-saat terakhir beliau menahan beban hidup dengan selalu sabar, syukur dan memuji Allah. Upaya-upaya tersebut ternyata membawanya ke dalam surganya Allah dengan indah. 

 

Dikisahkan beliau meninggalkan Bashrah ke Syam karena tak mau diberi jabatan qadi oleh sang raja. Ia turutsertakan anak laki-lakinya untuk memulai hidup barunya di Syam.

 

Dalam perjalanan di hamparan padang pasir, Abu Qilabah yang sudah tua itu mendapat musibah yang pada akhirnya beliau harus kehilangan kedua tangan dan kakinya. Abdullah bin Muhammad mengkisahkan: Saya keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan pantai (dari kedatangan musuh). Ketika sampai, saya melihat sebuah dataran lapang. Tak berapa lama, saya teringat cerita orang-orang sekitar. Katanya, di dataran sana ada seseorang yang sudah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Pendengarannya pun lemah dan matanya rabun, yang tersisa cuma lisannya yang bermanfaat untuk dirinya sekarang. 

 

Kata masyarakat sekitar situ, orang tersebut memanfaatkan lisannya cuma untuk mengucapkan doa:

 

اللَّهُمَّ أَوْزِعْنِي أَنْ أحمدك حمدا أكافىء بِهِ شُكْرَ نِعْمَتِكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ بِهَا عَلَيَّ ، وَفَضَّلْتَنِي على كَثِيرٍ من خَلَقْتَ تَفْضِيلا

 

“Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, hingga aku dapat menjalankan rasa syukurku atas nikmat-nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan.”

 

Abdullah bin Muhammad merasa heran sekaligus takjub dengan orang itu. Ia putuskan untuk mendatanginya. Saat sampai, ia pun langsung bertanya perihal aktivitas dan kenapa berdoa seperti di atas kendati kondisinya yang menyedihkan tersebut. Orang itu menjawab: Tak kau lihatkah yang sudah diperbuat Tuhanku kepadaku? Demi Allah, jikalau Ia mengirim petir kepadaku hingga membakar tubuhku, atau menggerakkan gunung-gunung untuk menindihku hingga meleburkan badanku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk melenyapkan tubuhku, oleh karena semua itulah, yang membuat aku senantiasa bersyukur kepada-Nya. karena Ia sudah kasih nikmat kepadaku berupa lisanku ini.

 

Orang itu (Abu Qilabah) lalu melanjutkan, akan tetapi wahai hamba Allah. Kau sudah mendatangiku, maka saya menginginkan bantuanmu. Engkau telah melihat kondisiku. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku punya seorang anak yang senantiasa merawatku. Saat tiba masa shalat, ia mewudhukanku. Apabila aku lapar, ia menyuapiku. Jikalau saya kehausan, ia memberiku minum. Akan tetapi sudah tiga hari ini, aku tak menjumpai dirinya, maka bantulah saya dengan mencari kabar tentangnya.

 

Mendengar permintaannya, saya lalu berucap,”Demi Allah, tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya, dan ia mendapatkan pahala yang begitu besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk memenuhi kebutuhan orang yang semacam engkau,”. Saya lantas berjalan menyusuri gundukan pasir di sekitar situ. Tiba-tiba ia mendapati anak orang itu yang sudah mati kemungkinan diterkam dan dimakan binatang buas. Saya lalu mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi rajiun, dan bingung bagaimana cara mengabarkan kejadian memilukan ini. 

 

Sewaktu saya berjalan menuju orang itu, dalam pikiranku terlintas kisah Nabi Ayyub AS. Begitu saya menemuinya, maka saya mengucapkan salam kepadanya. Orang itu menjawab salamku dan bertanya, ”Bukankah engkau orang yang tadi menemuiku?”
Saya menjawab,”Benar.”
Orang itu bertanya,”Bagaimana dengan permohonanku kepadamu tadi untuk membantuku?”
Saya berkata,”Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub?”
Orang itu menjawab,”Tentu Nabi Ayyub.”
Saya bertanya,”Tahukah engkau cobaan yang dikasihkan Allah kepada Nabi Ayyub? Bukankah Allah mengujinya dengan harta, keluarga, serta anaknya?”
Orang itu menjawab,”Tentu aku tahu.”
Saya bertanya,”Bagaimana sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”
Orang itu menjawab,”Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah.”

 

Saya berkata, ”Tak cuma itu, bahkan ia ditinggalkan oleh kerabatnya dan sahabat-sahabatnya serta Allah menjadikan ia jadi bahan celaan dan fitnah orang-orang yang lewat di jalan. Tahukah engkau mengenai perihal itu?” .”
Orang itu menimpali,”Benar.”
Saya bertanya,”Bagaimana sikapnya?”
Orang itu menjawab, ”Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah. Langsung saja jelaskan maksudmu.”
Saya berkata, ”Sebenarnya anakmu sudahku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan sudah meninggal karena diterkam dan dimakan binatang buas. Semoga Allah kasih pahala bagimu berlipat ganda dan menyabarkanmu.”
Orang itu langsung berucap, ”Segala puji bagi Allah yang tak menciptakan untukku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya, lalu Ia menyiksanya dengan api neraka,” setelahnya ia berkata, ”Inna lillah wa inna ilaihi rojiun,” lalu ia menarik nafas panjang, kemudian wafat.
Saya berkata, ”Inna lillah wa inna ilaihi rajiun” Dan setelah itu saya menangis karena sedih dan terharu.

 

Tak lama berselang, datang kepadaku empat orang ajudan kerajaan dan berkata salah satunya kepadaku: “Wahai Abdullah. Ada apa dan apa yang telah terjadi?”
Saya pun menceritakan kepada mereka yang telah saya alami.
Lalu mereka berkata, ”Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”
Saya membuka penutup wajahnya, lalu mereka bersungkur dan mencium keningnya dan kedua tangannya, lalu mereka berkata: “Demi Allah, matanya senantiasa merunduk dari menyaksikan hal yang diharamkan Allah. Demi Allah, badannya senantiasa sujud ketika orang-orang dalam kondisi tidur”.

 

Saya bertanya kepada mereka: “Siapakah orang ini?”
Mereka menjawab, ”sahabat Abu Qilabah al Jarmi. Dia sangat cinta kepada Allah serta Nabi-Nya dan kamu pun dari kemarin mencari keberadaannya,” 
Kami pun mengurus jenazahnya seadanya hingga selesai. Mereka pun berpamitan, dan saya kembali ke pos penjagaanku. Malam harinya, saya tertidur. saya melihat di dalam mimpi, orang itu berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah:

 

سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

 

“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat setelah itu.” [ar-Ra’d/13:24].

 

Saya bertanya kepadanya,”Bukankah engkau orang yang aku temui?”
Abu Qilabah menjawab,”Benar.”
Saya bertanya, ”Bagaimana engkau dapat memperoleh ini semua?”
Abu Qilabah menjawab, ”Sesungguhnya Allah menyiapkan derajat kemuliaan yang tinggi, yang tak dapat dicapai, kecuali dengan sikap sabar ketika dikasih cobaan, dan rasa syukur jika dalam situasi lapang, dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah, baik dalam kondisi sendirian atau di depan banyak orang.”


 

Muhammad Alfiyan Dzulfikar, mahasiswa Pascasarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta


Opini Terbaru