• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 21 Mei 2024

Opini

Menakar Pelaksanaan Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi

Menakar Pelaksanaan Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi
Pilkada serentak di tengah pandemi corona. (NU Online)
Pilkada serentak di tengah pandemi corona. (NU Online)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 20 September 2020 mengeluarkan pernyataan sikap terhadap pelaksanaan Pilkada serentak 2020. Nahdlatul Ulama meminta pelaksanaan Pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 ditunda terlebih dahulu sampai kondisi tahap darurat Covid-19 terlewati. Serta menyarankan merelokasikan anggaran Pilkada untuk penanganan virus corona dan penguatan jaring pengaman sosial.

 

Dalam kondisi ini prioritas pemerintah seharusnya fokus pada memutus mata rantai penyebaran Covid-19 terlebih dahulu daripada menyelenggarakan pesta demokrasi. Keselamatan rakyat harus lebih diutamakan demi terpeliharanya kelangsungan hidup (hifdz an-nafs). Ada sebuah kaidah fiqih ”Dar’ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalbil mashaalih”, mencegah kerusakan diutamakan daripada meraih kemaslahatan.

 

Kaidah fiqih di atas digunakan dalam menentukan skala prioritas. Dalam hal ini mencegah kerusakan berarti menunda Pilkada, jika tidak ditunda maka dapat menciptakan klaster baru penyebaran covid-19, sedangkan meraih kemaslahatan berarti menggelar Pilkada sebagai wujud demokrasi untuk memilih pemimpin bagi rakyatnya. Dengan demikian walaupun menggelar Pilkada merupakan suatu yang maslahat, namun menundanya lebih diutamakan karena dapat mencegah mafsadat yakni dapat menekan klaster baru penyebaran covid-19.

 

Jika penundaan Pilkada dilakukan tentu akan menimbulkan kemudaratan yakni terjadinya kekosongan pemimpin di daerah, di lain sisi akan timbul kemudaratan pula jika pesta demokrasi tetap digelar, sebab dapat menambah klaster baru penyebaran Covid-19. Sehingga perlu ditimbang untuk memilih di antara keduanya.

 

Dalam menghadapi kedua problem di atas tentu perlu menimbang di antara keduanya yang kemudaratannya lebih sedikit, sebagaimana kaidah fiqih “Idzaa ta’aradha mafsadataani ru’iya a’dhamuhumaa dhararan birtikaabi akhaffihimaa” (Jika berkumpul dua mudarat (bahaya), maka dipilih yang lebih ringan mudaratnya).

 

Terjadinya kekosongan pemimpin di daerah bisa menimbulkan kemudaratan, sebab dapat mengganggu roda pemerintahan di daerah. Untuk mengantisipasinya dapat dilakukan upaya alternatif lewat pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) walaupun kewenangan serta tugasnya tebatas, sehingga mudharatnya akan lebih kecil jika Pilkada ditunda karena masih terdapat alternatif untuk mengatasinya. Sedangkan jika pelaksanaan Pilkada tetap dilakukan justru kemudaratannya akan jauh lebih besar karena dapat memicu terjadinya klaster baru penyebaran Covid-19. Oleh karena itu menunda pelaksanaan Pilkada mudaratnya akan lebih ringan daripada melaksanakan Pilkada yang mudaratnya akan lebih besar, sebab kerumunan saat pelaksanaan pesta demokrasi sulit dihindari karena pesta demokrasi identik dengan mobilisasi massa serta belum adanya vaksin Covid-19 (masih tahap pengujian), sehingga kerumunan massa sebaiknya dihindari.

 

Pemerintah seharusnya dapat memutuskan atau membuat kebijakan yang tepat terkait pelaksanaan Pilkada 2020 ini, tentu kebijakan tersebut harus mencerminkan kemaslahatan bagi semuanya, karena kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus mencerminkan kemaslahatan “Tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah”.

 

Dari kaidah fiqih tersebut menunjukkan bahwa seorang pemimpin saat membuat kebijakan harus mempertimbangkan dengan seobjektif mungkin agar kebijakan yang diambilnya dapat memberikan kebaikan serta kemanfaatan bagi rakyatnya. Dalam pelaksanaan Pilkada 2020 ini, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang isinya tentang penundaan Pilkada 2020, yang semula dilaksanakan bulan September diundur menjadi bulan Desember.

 

Padahal bulan Desember bukanlah satu-satunya opsi yang ditawarkan oleh penyelenggara Pilkada untuk mengundurnya, namun masih terdapat opsi lain yang dapat dipilih, tetapi yang dipilih adalah bulan Desember, di mana bulan tersebut masih belum dapat diketahui akan terlewatinya tahap darurat Covid-19. Hal ini tentu menuai pro-kontra di masyarakat karena penyelenggaraan Pilkada digelar dalam kondisi yang belum memungkinkan.

 

Disatu sisi rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpinnya, namun di sisi yang lain pula rakyat memiliki hak untuk melangsungkan hidup serta berhak atas rasa aman dari wabah Covid-19. Oleh karenanya, Pemerintah seharusnya dapat mempertimbangkan kebijakan yang akan diambilnya dengan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat-nya sehingga kebijakannya dapat mencerminkan kemaslahatan serta kemanfaatan bagi rakyatnya.

 

Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT, dan Negara tercinta ini mendapatkan berkah dari-Nya, Amiin.

 

Muhammad Abdul Manaf, Kader IPNU Sukorejo dan Mahasiswa FSH UIN Walisongo Semarang


Opini Terbaru