• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Rabu, 15 Mei 2024

Opini

Rekontekstualisasi Makna 'al-Ummi' pada Diri Nabi Muhammad

Rekontekstualisasi Makna 'al-Ummi' pada Diri Nabi Muhammad
Ilustrasi
Ilustrasi

Kata “al-ummi” sangat populer di kalangan umat Islam termasuk di Indonesia. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  disebut “al-ummi” sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 157. Secara etimologis kata “al-ummi” berasal dari kata bahasa Arab “al-umm” yang artinya “ibu” dalam bahasa Indonesia. Kata “al-ummi” sebetulnya memiliki makna atau arti yang beragam, salah satunya adalah seseorang yang diasuh sendiri oleh ibunya di rumah. 


Sewaktu saya masih kecil dan duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, salah seorang guru saya mengartikan “al-ummi” dengan “mbok-mboken” yang maksudnya adalah serorang anak yang tidak mau lepas dari ibunya (sehingga tidak pernah sekolah). Akibatnya sang anak menjadi buta huruf. Jadi jika kata “al-ummi” langsung diartikan “buta huruf” itu sebetulnya ada satu proses logis yang dilompati. Dalam kaitan dengan kata “al-ummi” yang dilekatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu ada hubungannya dengan keberadaan ibu beliau.


Dalam hal ini cinta sang ibu – Siti Aminah - kepada beliau begitu dalam. Allah subhanahu wa ta’ala juga sangat mencintai beliau sehingga tak seorang pun manusia diberi-Nya kesempatan menyentuh pikiran beliau dengan mengajarkan sesuatu melalui baca tulis. Oleh karena itu, banyak orang mengartikan kata “al-ummi” dengan “orang yang buta huruf” seperti dinyatakan WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, terbitan PN Balai Pustaka Jakarta, tahun 1983, halaman 1124. 


Pertanyaannya adalah, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar buta huruf? 

Jawabnya, sulit untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  benar-benar buta huruf, dalam arti tidak bisa membaca dan menulis sama sekali sepanjang hidupnya sebab setelah turunnya Al- Qur’an beliau pernah merevisi rancangan Perjanjian Hudaibiyah yang draftnya ditulis oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah” dan menggantinya dengan “Ibnu Abdillah” setelah Ali bin Abi Thalib menolak untuk melakukannya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib hanya bersedia menunjukkan tempat kata-kata “Rasulullah” saja. 


Orang-orang Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr merasa keberatan dimasukkannya kata-kata “Rasulullah” ke dalam teks perjanjian tersebut dan menuntut supaya diganti dengan “Ibnu Abdillah” karena mereka tidak mempercayai kerasulan Muhammad. Tuntutan ini dipenuhi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan menghapus dan mengganti sendiri kata-kata itu dengan kata-kata “Ibnu Abdillah”.


(Baca juga: Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata)


Selain itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga pernah mengatakan bahwa ada tulisan كَافِر (kafir) di antara kedua mata Dajjal sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam riwayat Muslim, Nabi bahkan mengeja kata كَافِر (kafir) itu dengan ك ف ر (k f r). Artinya ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah membaca karena mengeja itu bagian dari membaca. 


Namun demikian, merupakan kesalahan besar untuk mempercayai bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  pandai membaca dan menulis karena tidak ada bukti empiris tentang hal ini. Dalam Al-Qur’an surah Al’Ankabut ditegaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak pernah membaca kitab apa pun atau menulisnya sebelum Al-Qur’an diturunkan sebagaimana bunyi ayat 48 berikut ini: 

 

 وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ ولا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ 

 

Artinya:“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu Kitab pun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu;  sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.” 


Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak pernah membaca dan menulis sesuatu apa pun sebelum turunnya Al-Qur’an. Tetapi setelah Al-Qur’an turun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah suatu ketika menulis kata-kata sebagaimna tertuang dalam teks Perjajian Hudaibiyah di atas. Selain menulis, Nabi  juga pernah membaca atau mengeja kata sebagaimana diriwayatakan oleh Bukhari dan Muslim di atas. 


Hikmah di balik fakta bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membaca dan menulis adalah bahwa hal itu merupakan bukti yang menegaskan bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan karya beliau. Semua pengetahuan yang diperoleh Nabi Muhammad adalah intuisi (wahyu) dari Allah yang tidak menuntut kemampuan membaca dan menulis. Malaikat Jibril paling sering menyampiakan wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan metode pendengaran dengan mentransfer ayat-ayat Al-Qur’an secara langsung ke dalam memori Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  melalui pendengaran dan hati beliau tanpa melibatkan kegiatan visual seperti membaca dan menulis. 


Berdasarkan pada fakta-fakta di atas, beberapa cendekia kontemporer kurang setuju jika hingga sekarang kata “al-ummi” yang melekat pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  masih diartikan”buta huruf’. Sebagai gantinya mereka mengusulkan arti atau makna yang lebih sesuai dengan konteks sekarang, yakni “tidak bisa baca tulis” karena memang tidak pernah diajar guru manusia dengan metode baca tulis. Arti baru ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam Kamus Al-Munawwir Arab - Indonesia, karangan Ahmad Warson Munawwir, terbitan Pustaka Progresif Yogyakarta, tahun 1997, halaman 40, dimana kata “al-ummi” diartikan “Yang tak dapat membaca dan menulis” dan bukan “buta huruf”. 


Rekontekstualisasi makna “al-ummi” di atas, menurut penulis, lebih baik sebab di zaman sekarang “buta huruf” sudah identik dengan “bodoh” dan “terbelakang”. Apalagi ada program pemerintah dan PBB untuk memberantas buta huruf di seluruh negeri dan penjuru dunia. Oleh karena itu rekontekstualisasi makna tersebut menjadi sangat penting untuk menjaga kebesaran dan kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang memang secara faktual memenuhi sifat-sifat wajib rasul yang meliputi: fathanah (cerdas dan tidak pelupa), shiddiq (berkomitmen tinggi terhadap kebenaran), tabligh (mau dan mampu menyampakan wahyu), dan amanah (sangat kredibel). 

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
 

Sumber: Rekontekstualisasi Makna 'al-Ummi' pada  Diri Nabi 

 


Opini Terbaru