• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 18 Mei 2024

Opini

Memperluas Makna Istikharah

Memperluas Makna Istikharah
Shalat istikharah (foto: nu online)
Shalat istikharah (foto: nu online)

 

Istikharah dalam pengertian awam adalah ritual shalat dan doa yang diidentikkan sebagai pemantapan hati dalam proses mencari pasangan hidup. Dengan demikian istikharah dalam pengertian awam hanya diartikan dengan pernikahan atau mencari pasangan hidup untuk dinikahi. 

 

Adanya pemahaman ini bisa diartikan bentuk pengkerdilan makna istikharah yang sesungguhnya. Lantas apa makna istikharah yang sesungguhnya, apa saja objek yang butuh untuk diistikharahi, bagaimana caranya dan apakah istikharah adalah pilihan terbaik sebagai sarana pemantapan jiwa dalam memilih ?. Berikut penjelasannya.

 

Makna Istikharah

 

Ulama memaknai istikharah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Bakri Syato dalam I'anatut Thalibin yakni dengan upaya meminta/mencari kebaikan dalam suatu perkara yang hendak dikerjakan. sedangkan istikharah secara istilah adalah meminta pilihan maksudnya mengalihkan tujuan agar diperolah pilihan terbaik menurut Allah. 

 

Yang paling utama dikerjakan dengan melaksanakan shalat atau berdoa. Dengan doa istikharah yang diajarkan nabi. lihat (Wizarah al-Auqaf wa as-Syuun al-Islamiyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Mesir: Dar as-Shafwah], juz 3, halaman 241). 

 

Objek Istikharah 


Hal-hal yang boleh diistikharah hanyalah perkara mubah dan perkara sunnah. Bila terjadi kontradiski di antara kedua perkara sunnah mana yang lebih dulu akan dikerjakan. Adapun perkara wajib dan sunnah tidak perlu diistikharahi bahkan haram bila perkara tersebut merupakan perkara makruh dan haram. Lihat(Sulaiman Ibn Muhammad Ibn Umar al-Bujairomi, HasyiyahBujairimi Ala Khotib,[Bairut: Dar Fikr], jus 1,halaman 427).

 

Tata Cara Istikharah

 

Bila seseorang berazam melakukan sesuatu kemudian berwudlu, melaksanakan shalat dua rekaat dengan niat 'Istikharah' dengan membaca surat al-Fatihah dan al-Kafirun di rakaat pertama dan surat al-Ikhlas di rakaat kedua. Setelah salam membaca doa istikharah kemudian melaksanakan perkara yang hatinya merasa lapang. Bila belum juga didapati di saat itu, maka mengulangi selain shalat (mengulang doa saja) bila belum juga nampak kejelasannya, maka bertawakal kepada Allah dan setelah itu apa yang menjadi azamnya Insyaallah itulah yang terbaik. Lihat (Nawawi al-Bantani, Nihazatu Zain,[Bairut: Dar Fikr], halaman106).

 

Doa Istikharah

 

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى  أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ  فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى  أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ  فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى به.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya”.

 

Syekh Nawawi al-Bantani menjelasakan, sebutlah hajatnya maksudnya tidak melafadkan "هذا الامر" melainkan menyebutkan hajatnya semisal menjual, membeli, dan menikah maka sebutlah calonnya kemudian laksanakan apa yang hatinya merasa lapang.

 

Mendahulukan Musyawarah
 

Kesunahan istikharah ini bukan satu-satunya jalan untuk memilih atau memutuskan suatu perkara agar didapatkan keputusan terbaik. Imam Nawawi mengatakan "disunnahkan sebelum Istikharah untuk bermusyawarah/berkonsultasi dengan orang yang diketahui mau memberikan nasihat, mempunyai belas kasih, punya pengetahuan serta pengalaman, dan dapat dipercaya terkait agama dan pengetahuannya.

 

Allah berfirman:

 

{وَشَاوِرْهُمْ فِي الأْمْرِ} 

 

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”(Ali Imran 3:159) 

 

Setelah berkonsultasi/musyawarah dan nampak adanya kemaslahatan, maka baru Istikharah. Lihat (Wizarah al-Auqaf wa as-Syuun al-Islamiyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Mesir: Dar as-Shafwah], juz 2, halaman 243). 

 

Bahkan Imam Ibnu Hajar al-Haitsami berpendapat tetap lebih utama musyawarah dibandingakan istikharah. Sebab bagian nafsu (hudunnafs) yang menguasainya serta rusaknya bisikan-bisikan nafsu.

 

Sebagaimana dalam kitab al-Futuhat ar-Robaniyah Al-Adzkar disebutkan:

 

قَال ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْثَمِيُّ: حَتَّى عِنْدَ التَّعَارُضِ (أَيْ تَقَدُّمِ الاِسْتِشَارَةِ) لأِنَّ الطُّمَأْنِينَةَ إِلَى قَوْل الْمُسْتَشَارِ أَقْوَى مِنْهَا إِلَى النَّفْسِ لِغَلَبَةِ حُظُوظِهَا وَفَسَادِ خَوَاطِرِهَا. وَأَمَّا لَوْ كَانَتْ نَفْسُهُ مُطْمَئِنَّةً صَادِقَةً إِرَادَتُهَا مُتَخَلِّيَةً عَنْ حُظُوظِهَا، قَدَّمَ الاِسْتِخَارَةَ

 

“Berkata Ibnu Hajar al-Haitsami: "Bahkan di saat bertentangan maksudnya mendahulukan konsultasi karena ketenangan hati terhadap perkataan konsultan lebih kuat dibandingakan istikharah karena menangnya bagian-bagian nafsu dan rusaknya bisikan-bisikannya. Adapun bila nafsunya muthmainnah dan jujur serta keinginannya sepi dari khayalan-khayalan yang merupakan bagian dari nafsu, maka Istikhaah lebih didahulukan." (Syaikh Muhammad bin 'Allan AsySyafi'i, Al-Futuhat Al-‎Rabbaniyyah [Bairut, Darulkutubilmiyah: tt] juz3, halaman94-95).

 

 

Muhamad Hanif Rahman, pengajar pada Pesantren Al-Iman Bulus, Purworejo dan Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Purworejo 


Opini Terbaru