Peringatan Hari Santri yang mengacu kepada Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rais Akbar PBNU yang pertama Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari tidak hanya berlaku saat itu saja. Namun harus bisa diimplementasikan saat ini, di tahun politik menjelang Pemilu 2024. Apalagi tema Hari Santri 2023 ini adalah 'Jihad Santri Jayakan Negeri'.
Lantas, seperti apa makna yang paling tepat untuk mengejawantahkan makna Hari Santri pada tahun ini? Ada banyak makna yang bisa dibuat untuk memperingatinya. Sesuai dengan kepentingan dan maksud dari masing-masing pihak, baik itu santri asli maupun yang hanya mengaku sebagai santri. Mulai dari peran santri hingga santri yang masih dianggap sebagai obyek politik dalam tahun politik ini.
Kalau kita melihat pemberitaan di media massa, baik televisi, hingga media online, semua bakal calon presiden mencari figur bacawapresnya dari kaum santri. Dan yang paling identik dengan kaum santri adalah jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Semua berebut mendapatkan pengaruh dari organisasi keagamaan terbesar tersebut.
Bagi kami, yang sudah terbiasa dengan hiruk pikuk politik sejak Orde Baru, tentu dengan kondisi yang sekarang ini tidak menjadi masalah. Tidak menjadi 'baper' dan saling sindir, apalagi sampai pada level permusuhan dan saling benci. Bukan karakter santri untuk diadu domba dan hanya dianggap sebagai obyek politik saja. Maka, jika ada politisi yang menjadikan santri sebagai obyek politik dan dijadikan sarana adu domba, dipastikan akan kualat.
Lihat saja, para Bacapres semuanya pasti sowan ke kiai-kiai besar, dengan santri dan alumni yang jumlahnya puluhan ribu dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Tujuan apa, selain mencari simpati dan doa, tentu juga berharap mendapat dukungan politik dalam Pemilu 2024. Maka, dengan kondisi seperti itu, sudah seharusnya santri bersikap profesional, yakni dengan tetap menunjukkan akhlak dan perilaku santri yang selama ini diajarkan di pesantren oleh para kiainya.
Dalam kaitannya dengan tema Hari Santri tahun 2023 ini yakni Jihad Santri Jayakan Negeri, maka sudah seharusnya santri berada di posisi paling depan di tahun politik ini. Posisi santri yang dimaksud di sini adalah memposisikan sosok penting yang dibutuhkan oleh negeri. Bukan hanya sekadar slogan, apalagi hanya ditarik untuk kepentingan politik tertentu. Santri tentu memiliki pemikiran politik yang bermacam-macam dalam menyikapi tahun politik ini. Seperti halnya saat bahtsul masail yang banyak beradu argumentasi, dengan dalil-dalil yang ada.
Di tahun politik ini, maka jihad yang sesungguhnya bagi kaum santri adalah berjuang untuk menjadi pemimpin bangsa. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati dan walikota, termasuk juga pejabat birokrasi yang punya pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Bukan hanya sekadar pengikut dan pendorong mobil mogok, seperti ungkapan yang sering disampaikan oleh para kiai dan politisi santri.
Dalam sistem demokrasi yang kepemimpinan dipilih melalui Pemilu dan Pilkada, maka santri juga harus bisa mengikuti arus politik tersebut. Jangan sampai kembali lagi pada pembahasan, apakah demokrasi itu sesuai dengan Islam dan Aswaja atau tidak. Bahwa itu sudah disepakati, tinggal bagaimana kaum santri ini berjihad melalu Pemilu dan Pilada yang ada di depan mata.
Jihad ini perlu dilakukan, yakni dengan terjun menjadi subyel dalam Pemilu maupun Pilkada. Jangan pesimis, belum berjuang, sudah menyerah karena kalah secara materi. Santri sejati tentu akan berjuang terlebih dahulu, yakni dengan terjun dan aktif dalam politik, yakni maju dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota maupun legislatif. Ikhtiar maksimal perlu dilakukan, dengan teknik yang sesuai ajaran Islam Aswaja dan hasilnya diserahkan kepada Allah selaku pemberi kekuasaan yang hakiki.
Bagi santri yang belum mempunyai semangat jihad untuk memimpin negeri, janganlah jadi pecundang dengan mendukung yang bukan santri. Apalagi sampai mengolok-olok dan menjelek-jelekkan santri yang sedang berjihad di tahun politik ini. Jadilah santri yang rela berjihad, seperti halnya para sahabat Nabi yang berjihad membesarkan Islam pada awal-awal Islam. Jangan takut dan dicap sebagai pengikut politik identitas. Bahwa santri memiliki identitas dan wajib diperjuangkan hingga terwujud. Identitas politik santri jelas, apalagi santri NU, yakni Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ketika santri berjihad, tentu tujuannya adalah menjadikan negeri ini jaya. Seperti slogan yang selalu diteriakkan, NKRI Harga Mati. Slogan itu bukan hanya diteriakkan, tetapi dipraktikkan. Seperti halnya niat dalam setiap beribadah, selalu diawali dengan niat lillahi taala. Niat karena Allah SWT. Wallahu a'lam bis shawab (*)
Muamar Riza Pahlevi, aktivis NU dan alumni Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang
Terpopuler
1
Meninggalkan yang Tak Bermanfaat
2
Proyek Klinik NU Jatinegara Tegal Hampir Rampung, Fasilitas Penunjang Siap Dipasang
3
Kafilah FASI Kabupaten Tegal Siap Berlaga di Tingkat Nasional
4
GP Ansor Moga Tingkatkan Pemahaman Hukum Melalui Sosialisasi Interaktif
5
Mengenang 40 Hari wafatnya KH Abdul Bashir Hamzah dengan Peluncuran dan Bedah Buku
6
Semarakkan Hari Santri 2024, MWCNU Suradadi Tegal Agendakan Berbagai Kegiatan Keagamaan dan Kebudayaan
Terkini
Lihat Semua