Diperlukan Ketenangan Jiwa Sikapi Pandemi Covid-19, Persepektif Psikologi Positif
Kamis, 14 Januari 2021 | 21:00 WIB
'Apa yang akan anda lakukan jika suara-suara orang di sekitar anda berubah menjadi suara yang meneror setiap waktu'. Peribahasa mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Mungkin peribahasa tersebut sebuah gambaran yang sesuai dalam situasi dan kondisi saat ini, yakni 'Pandemi Covid-19'.
Pandemi yang sebelumnya tidak diprediksi akan kedatangannya. Seakan membuat seluruh masyarakat tidak bisa lepas dari permasalahan psikologis yang dialami. Secara langsung dan tidak langsung dampak dari kebjikan pemerintah yang meliputi isolasi mandiri, PSBB, dan physyial distancing mengakibatkan terjadinya tingkat stres yang dirasakan individu meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing individu harus memperjuangkan situasi yang berkaitan dengan kondisi psikologis individu. Misal, stres dengan tingkat tinggi, kesehatan mental dan dampak dari perubahan pola hidup sehari-hari. Selain itu, mungkin hampir semua orang akan merasakan lelah mental, karena tidak adanya kepastian kapan pandemi ini berakhir.
Bisa saja seorang individu akan kehilangan kendali atas dirinya, jika kondisi yang seperti ini terus terjadi dalam waktu yang belum bisa ditentukan, maka alternatif yang diambil seorang individu mengarah kepada penyalahgunaan obat-obatan, minum-minuman keras bahkan narkoba. Karena tak bisa dipungkiri, semua yang dilakukan itu dimaksudkan untuk meringankan beban pikiran, tanpa memikirkan dulu apa efek dan pengaruhnya.
Dalam menyikapi situasi di masa pandemi, psikologi positif mengadopsi prespektif optimis terhadap potensi manusia, motivasi, dan kapasitas. Seperti yang dikemukakan oleh pendiri Logoterapi bahwa 'manusia tidak akan binasa oleh penderitaan. Namun ia dibinasakan oleh penderitaan yang tanpa makna' (Viktor Emil Frankl).
Psikologi positif menawarkan alternatif untuk hidup bermakna, di samping adanya dimensi-dimensi jasmani, kejiwaan, dan lingkungan sosial budaya, juga mengakui adanya dimensi kerohanian. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan tujuan manusia untuk meraih kehidupan yang dihayati bermakna (the meaningful life) dengan jalan menemukan sumber-sumber makna hidup dan merealisasikannya.
Dalam konteks meyikapi pandemi Covid-19, agar sampai pada ketenangan jiwa serta kebahagiaan. Secara umum, kita harus berupaya membatasi menonton, membaca atau mendengarkan dan mengambil jarak dari informasi yang berlebihan untuk mengurangi kecemasan. Serta harus dapat memilah informasi yang diperoleh.
Sedangkan upaya menurut prespektif psikologi positif yaitu;
1. Perilaku manusia merupakan perilaku termotivasi. Seperti yang diriwayatkan Umar bin Khatab, Rasululloh SAW bersabda: “sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya. (HR. Bukhari)”. Dalam hadits tersebut menyatakan ada kesamaan fenomena kejiwaan dalam setiap individu manusia, yakni adanya motivasi dalam setiap melakukan suatu perbuatan. Tidak ada satupun pekerjaan dan perbuatan tanpa suatu tujuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebutuhan mendorong dan memotivasi individu manusia untuk beraktivitas dan menggerakkan segala tenaganya. Sehingga mampu untuk memenuhi segala kekurangannya dan meredalah kekhawatiran serta keseimbangan dalam dirinya dapat kembali.
2. Adanya sumber-sumber hidup bermakna yang mengacu pada tiga nilai, (a) Nilai-nilai kreatif. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif. (b) Nilai-nilai penghayatan. Menyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, dan nilai-nilai yang dianggap berharga. (c) Nilai-nilai bersikap. Menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan dari pandemi Covid-19 yang tidak dapat dihindari. Dengan mengubah sikap diharapkan mampu mengurangi beban mental akibat pandemi. Dan menerima keadaan dengan lapang dada.
3. Meningkatkan kebahagiaan. Kebahagiaan sering disebut dengan kesejahteraan subjektif. Adapaun komponen dari kesejahteraan subjektif diantaranya; (a) Kepuasan hidup. Dalam hal ini diartikan sebagai evaluasi kognitif individu dalam menikmati pengalaman-pengalaman yang terjadi di masa sekarang dan memandang secara positif kehidupannya di masa yang akan datang. (b) Afektif terhadap kehidupan. Afek diartikan sebagai perasaan atau emosi seorang individu yang merupakan bagian internal dari pengalaman manusia. Banyaknya afektif yang positif akan menentukan tingginya kepuasan hidup individu, sedangkan sedikitnya afek menentukan perasaan yang negatif.
Muhammad Shofiyyul Muna, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Terpopuler
1
Jadwal Kepulangan Jamaah Haji Asal Jawa Tengah dan DIY Gelombang 2
2
Ketua PCNU Klaten Terpilih Rumuskan Strategi Penguatan Organisasi Pasca Konfercab XVII
3
LESBUMI PWNU Jateng Gelar Syi’ar Muharram 1447 H: Mematri Spiritualitas, Membangun Peradaban Bangsa
4
LPP PCNU Magelang-Bapeltan Jateng Garap Progam Pengembangan SDM Petani NU dan Pengelolaan Lahan Wakaf dan Pesantren
5
FH Unissula Masuk Deretan Fakultas Hukum Terbaik se-Indonesia
6
Keistimewaan Bulan Muharram
Terkini
Lihat Semua