• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Senin, 29 April 2024

Opini

Batal Pergi Haji, Saatnya Bermuhasabah Diri

Batal Pergi Haji, Saatnya Bermuhasabah Diri
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Bulan Dzulhijjah disebut juga sebagai bulan haji. Mungkin saat ini muslim di Indonesia sedang bahagia-bahagianya yang seharusnya mendapat gilirannya untuk terbang menemui Baitullah, membayangkan bisa melafalkan kalimat talbiyah disamping kakbah, menyentuh hijir Ismail, hingga mencium hajar aswad dalam keramaian jutaan manusia mulia di seluruh dunia, tahun ini. 
Namun Indonesia dan beberapa negara lainnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja karena sedang pandemi Covid-19, yang menjadikan haji harus dilakukan pembatalan yang menyisakan kekecewaan mendalam bagi calon-calon haji. 

 

Melalui Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 97, Allah telah menjelaskan kepada kita bahwa mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

 

Haji memang bukanlah sembarang ibadah atau ibadah yang biasa–biasa saja, haji merupakan rukun Islam dengan segala konsekuensi dan risikonya. Haji merupakan satu-satunya ibadah wajib yang menguji keimanan seseorang melalui kemapanannya. Dalam ilmu fiqih, dijelaskan di kitab dasar yakni Mabadi Al-Fiqhiyah karya Syaikh Al-Imam Umar bin Abdul Jabbar bahwa Haji dan Umroh merupakan kewajiban bagi kaum muslim yang merdeka, mukallaf (berakal dan baligh, red) serta mampu. 

 

Lebih jelasnya maksud dari mampu menurut kitab Fath Al-Qarib dan syarahnya Taqrib bahwa kemampuan haji di sini dibedakan dalam 3 faktor baik dari internal diri manusia, yang berupa kesehatan badan dan akal serta faktor dari luar diri manusia, yakni transportasi dan kondisi perjalanan yang hal ini juga dipengaruhi oleh kemampuan materiil.

 

Secara rinci, kemampuan untuk berhaji oleh para ulama dijelaskan memiliki empat titik kemampuan untuk melakukannya. Pertama mampu dalam keuangan yang berarti memiliki materiil dan bekal untuk melakukan ibadahnya, karena haji merupakan ibadah yang memiliki rentan waktu berhari-hari untuk sekali menunaikannya. Kemampuan dari segi materi ini juga menjadi poin penting dalam mempengaruhi kemampuan lainnya. 

 

Kedua mampu dalam kesehatan, di sini diartikan sebagai sarana dalam pemenuhan kondisi diri saat melakukan ibadah haji mulai dari keberangkatan hingga kembali pulang diharapkan posisi calon haji dalam kondisi sehat walafiyat, mampu dan dalam keadaan sadar tanpa paksaan. Sehingga manusia mampu menempuh dan melakukan serangkaian dari ibadah haji tersebut, mulai dari ihram, thawaf, wukuf, mabit, dan lain – lain.

 

Ketiga mampu dalam kendaraan, di sini berarti bahwa bukan setiap calon haji wajib memiliki kendaraan untuk menempuh haji, akan tetapi keberadaan dari kendaraan yang menjadi fasilitas utama tersampainya calon haji ke tanah suci, seperti menyewa, membeli, atau meminjam.

 

Keempat mampu dalam perjalanan, maksud dari kemampuan keempat ini adalah terkait keadaan dalam perjalanannya, dipastikan bahwa perjalanannya aman dan tidak dalam kondisi yang darurat dan mengkhawatirkan. 

 

Di sinilah yang perlu kita pahami betul bahwa melakukan ibadah haji bukanlah paksaan. Di sini terletak keridhaan dan keikhlasan dari manusia itu sendiri, selain itu yang benar-benar tergerak hatinya dan mendapat rahmat dari Allah. Pasalnya, ada hal yang menyayangkan pada keadaan sekitar kita yang mampu dan tercukupi semua syarat hajinya, tapi enggan mendaftarkan diri untuk menjadi calon jamaah haji. Ini bukan perkara dia mampu atau tidak mampu saja, melainkan lebih dari itu. Pun bukan perihal ia pantas atau tidak pastas menginjakkan kaki di tanah suci. 

 

Banyak pula di lingkungan sekitar kita yang sudah menyiapkan semuanya untuk beribadah haji akan tetapi memiliki kondisi yang tidak diharapkan sebelumnya, seperti menemukan tetangga yang jauh lebih membutuhkan uluran kasih sayang kita, terdapat hak-hak tetangga kita yang belum kita penuhi terhadap kekurangan finansialnya, atau tetangga yang menjerit kelaparan karna miskinnya hidup mereka. Apakah lantas kita akan menjudge orang yang tidak 'jadi' berangkat haji ini hina, karena bekal materiilnya diberikan kepada tetangganya? Atau bahkan menyanjung-nyanjung orang yang berhaji berkali-kali tapi lupa hakikat diri dan lupa terhadap tetangganya sendiri? Jika demikian, inilah akibat saat ibadah hanya dinilai hanya sebatas eksistensi belaka.

 

Begitupun dengan pembatalan haji tahun lalu dan kembali dibatalkan pada tahun ini, mari tarik mundur ke belakang agar lebih legowo dan menerima segala takdir yang telah Allah gariskan. Mengambil hikmah dan ibrah setiap ujian dan cobaan yang ditimpakan kepada kita. Pandemi hadir pasti bukan tanpa alasan, menyesali batal haji karena pandemi bukanlah sikap muslim yang siap untuk menginjakkan kaki ke tanah suci. Bukankah kemampuan berhaji yang keempat adalah mampu dalam perjalanan? Yang diartikan aman dalam perjalanannya? 

 

Mungkin, selama ini kita memaknai bahwa haji adalah satu-satunya ibadah dengan keistimewaan sendiri dan manusia yang mampu melakukan haji adalah manusia istimewa karena mendapat undangan langsung oleh Allah untuk melangkahkan kaki di tanah suci. 

 

Klaim tersebut adalah salah. Meski bercucuran keringat dan dengan pengorbanan yang tak seberapa untuk mendapatkannya, yakinlah bahwa apa yang telah Allah takdirkan itulah yang terbaik untuk kita. Meski berat, namun Allah mengajarkan manusia untuk lebih mawas terhadap diri sendiri. Bisa jadi ini sebuah teguran ringan dari-Nya, seberapa pantas kita untuk menyiapkan bertemu dengan-Nya di Haramain tersebut. Wallahu a’lam bissawab.

 

Nur Kumala, aktivis Pimpinan Cabang (PC) Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Pekalongan, kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, dan santri PP Salafiyah Al-Muhsin Yogyakarta


Opini Terbaru