Nasional

Ini Alasan Kiai Cegah Masyarakat Langsungkan Pernikahan di bulan Muharram

Jumat, 19 Juli 2024 | 14:00 WIB

Ini Alasan Kiai Cegah Masyarakat Langsungkan Pernikahan di bulan Muharram

KH Marzuki Mustamar. (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Gus Itab Channel)

Wonosobo, NU Online Jateng

 

Muharram merupakan bulan yang mulia karena menjadi salah satu bulan hurum sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an. Meskipun demikian, ada peristiwa duka mendalam di bulan itu, yakni wafatnya Sayyidina Husein, cucu Rasulullah saw. Suasana duka itulah yang melandasi masyarakat Jawa enggan menggelar pesta pernikahan di bulan Muharram.

 

Hal itu diungkapkan KH Marzuki Mustamar, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilur Rosyad Malang, saat memberikan ceramah pafa Haflah Khatmil Qur'an Pondon Pesantren Tahfidzul Qur'an Al-Asy'ariyah Ke-47 dan Haul KH Muntaha al-Hafidz. Kegiatan itu digelar di PPTQ Al-Asy'ariyah, Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (16/7/2024).

 

"Apa pantas umat yang sangat berharap syafaat Rasulullah saw, di bulan yang seharusnya ikut prihatin, ikut menjaga perasaan ahlul bait, malah menikahkan secara besar-besaran," ujarnya.

 

Kiai Marzuki menjelaskan bahwa warga NU berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Di antara hal yang dipedomani adalah menjaga hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Di bulan mulia ini, dianjurkan untuk memperbanyak kebaikan dan menghindari kemaksiatan. 

 

"Dawuhnya kiai Jawa jangan menikahkan di bulan Muharram bukti nyata bahwa NU kiai Ahlussunnah wal Jamaah terdepan dalam komitmen menjaga ahlu bait Rasulillah," katanya.

 

Ia mengecualikan acara pernikahan itu diisi dengan istighatsah, membaca maulid Nabi, mahallul qiyam, dan akad saat itu. Hal ini dilakukan tanpa mengundang keramaian musik atau lainnya. Sebab, undangan musik itu menjadi ketidakpantasan untuk menjaga kemuliaan bulan Muharram dan menjaga perasaan Rasulullah saw.

 

"Kalau sekiranya begitu saja, zikir, shalawat, pengajian, doa, bubar. Meskipun menikahkan dan Muharram pantas saja," katanya.

 

Kiai Marzuki mengibaratkan seorang imam laki-laki yang memimpin shalat dengan mengenakan jilbab, kebaya, serta maksi yang menutup aurat. Tentu secara syariat sah saja ia berpakaian demikian. Namun, ia menegaskan bahwa beribadah bukanlah sekadar tidak melanggar syariat, tetapi juga ada norma yang perlu diikuti.

 

"Jangan hanya tidak menabrak syariat. Jangan begitu saja, tetapi juga harus pantas atau tidak," kata Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur 2018-2023 itu.

 

Lebih lanjut, Kiai Marzuki menjelaskan bahwa perwujudan lain dari hablun minallah dan hablun minannas adalah menyantuni anak yatim, yang sudah menjadi tradisi NU di bulan Muharram. “Rasulullah terlahir yatim. Dengan menyenangkan anak yatim, sama saja membuat bungah (bahagia) Rasulullah. Dan itu sangat disukai Allah," terangnya.

 

Salah satu ciri ajaran NU lainnya, jelas Kiai Marzuki, adalah bertawassul. Beberapa hal yang bisa dilakukan saat bertawasul adalah bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, mendoakan para ulama, dan senantiasa mengamalkan ajaran baik. Hal terakhir itu sebagai bentuk rasa hormat dan terima kasih atas ilmu yang diajarkan.

 

“Ibarat kita mau ke New York, hanya membawa selembar peta dan tanpa meminta bantuan pemandu, sesampainya di sana pasti bakal bingung. Kita butuh peta juga pemandu, keduanya saling berkaitan,” ujar Kiai Marzuki.

 

"Quran Sunnah peta kehidupan. Orang awam dibekali Quran sunnah saja tanpa kiai yang memahamkan ibaratnya orang yang ke New York berbekal peta saja tidak ada yang jemput, ya malah bingung. Yang baik tentu ada peta dan ada pembimbing. Yang baik tentu ada Quran Sunnah dan ada ulama yang membimbing kita," katanya.

 

Pengirim: Siti Navilatul Azizah