Abdullah Faiz
Penulis
Menikah adalah bersatunya dua insan yang saling memiliki keinginan untuk menjalani hidup bersama. Salah satu syarat menikah dalam Islam adalah adanya kedua calon mempelai pria dan wanita. Kedua calon tersebut merupakan individu yang tidak memiliki garis nasab yang dekat seperti anak hingga turunanya, saudara hingga keponakan, dan orang tua hingga garis di atasnya, bapak atau ibu mertua dan juga saudara satu persusuan (mahram) melainkan harus berasal dari orang lain (ajnabi) dalam arti, ia bukan orang yang masih dalam garis mahram seperti uraian di atas.
Status mahram dan ajnabi dalam kajian fiqih merupakan hal yang sangat krusial. Karena memberikan dampak serius dalam melaksanakan ibadah. Misalnya dalam berwudhu, kemudian bersentuhan dengan mahram tidak menyebabkan batalnya wudhu, sedangkan bersentuhan dengan orang yang bukan mahram (ajnabi) itu dapat membatalkan wudhu. Begitupun dalam urusan sholat.
Lantas bagaimana ketika suami bersentuhan dengan istrinya, apakah bisa membatalkan wudhu? Hal ini selalu menjadi pertanyaan yang cukup sering ditanyakan oleh masyarakat. Mengingat, dalam sebuah jalinan pernikahan, istri adalah orang terdekatnya suami. Menjadi musykil apabila orang yang terdekat bisa membatalkan wudhu.
Kembali pada istilah mahram dan ajnabi, mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi dan ajnabi adalah orang-orang yang halal untuk dinikahi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa istri adalah ajnabi atau orang yang di luar mahram. Karenanya, sentuhan kulit suami istri karena tidak ada penghalang atau mahram dihukumi batal.
Dalam kitab Sulam at-Taufiq halaman 21, dijelaskan bahwa bersentuhan dengan wanita atau pria bisa membatalkan wudhu karena ia dinilai sebagai orang lain (ajnabi).
ثالثها (لمس بشرة الأجنبية) يقينا وهي كل امرأة حل نكاحها والمراد بالبشرة ظاهر الجلد وفى حكمها اللسان واللثة (مع كبر) يقينا
Artinya: Ketiga, menyentuh kulit wanita asing (ajnabi), yaitu setiap wanita yang dihalalkan untuk dinikahi, dan yang dimaksud dengan kulit adalah permukaan kulit, termasuk lidah dan gusi (yang sudah baligh).
Dengan demikian, istri atau suami, adalah pasangan ajnabi dan ketika keduanya memiliki wudhu kemudian bersentuhan maka membatalkan wudhu.
Penjelasan mahram dan macam-macamnya
Dalam kajian fiqih Mahram adalah istilah dalam Islam yang merujuk kepada orang-orang yang memiliki hubungan darah atau persusuan dengan seseorang, yang membuat mereka diharamkan untuk dinikahi. Mahram juga memainkan peran penting dalam aturan hijab dan perjalanan; seorang wanita Muslim, misalnya, hanya boleh bepergian jauh jika ditemani oleh seorang mahram.
Mahram menurut Mustafa al-Khin dalam kitabnya Al-Fiqh al-Manhaji terbagi menjadi dua kategori, pertama adalah mahram muabbad dan kedua mahram muaqqat. Maksud mahram muabbad (permanen) adalah seorang yang tidak boleh dinikahi selama-lamanya. Ada tiga penyebab dalam hal ini yaitu kekerabatan, perkawinan, dan persusuan.
M Tatam Wijaya dalam tulisanya yang berjudul Penjelasan tentang Mahram Muabbad dan Mahram Muaqqat di NU Online ia menyebutkan, bahwa mahram muabbad karena kekerabatan bisa dideteksi dengan tujuh hal.
- Ibu, ibunya ibu (nenek) ibunya ayah, ibunya nenek (buyut) hingga terus ke atas;
- Anak perempuan, anak perempuan dari laki-laki (cucu) anak perempuan dari anak perempuan (buyut) hingga terus ke bawah;
- Saudara perempuan, baik seayah-seibu, seayah maupun seibu;
- Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan);
- Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan);
- Saudara perempuan ibu (bibi) bibinya ibu, bibinya nenek hingga terus ke samping; dan
- Saudara perempuan ayah (bibi) bibinya ayah bibinya nenek hingga terus ke samping.
Sementara mahram muabbad sebab perkawinan itu ada empat, yakni sebagai berikut.
- Istri ayah (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri) dan terus ke atas;
- Istri anak (menantu) istrinya cucu hingga terus ke bawah;
- Ibunya istri (mertua) nenek istri hingga ke atas; dan
- Anak perempuan istri (anak tiri) anak perempuan dari anak tiri (cucu tiri).
Tatam juga menjelaskan dengan detail terkait mahram muaqqat (sementara) mereka adalah perempuan yang diharamkan dinikahi karena sebab tertentu, bila sebabnya hilang maka hilang pula keharamannya.
- Adik/kakak ipar. Artinya, tidak boleh menikah dengan seorang perempuan sekaligus menikahi saudaranya dalam waktu bersamaan, baik bersaudara karena nasab maupun bersaudara karena persusuan, baik dalam satu akad maupun dalam akad yang berbeda. Jika pernikahannya dilakukan dalam satu waktu, maka batallah pernikahan keduanya. Namun, jika pernikahannya dilakukan dalam waktu yang kedua, maka batallah pernikahan yang kedua. Kecuali jika perempuan yang pertama meninggal atau setelah dicerai lalu habis masa iddahnya, maka saudara perempuanya boleh dinikah.
- Bibi istri. Alasannya, tidak boleh menikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibinya atau dengan keponakannya.
- Perempuan yang kelima. Artinya, tidak boleh seorang laki-laki menikahi perempuan yang kelima sebab ia sudah menikahi empat perempuan. Kecuali jika salah seorang dari yang empat meninggal dunia atau dicerai.
- Perempuan musyrik penyembah berhala, yaitu perempuan yang tidak memiliki kitab samawi (Taurat dan Injil). Namun, bila perempuan itu memiliki kitab samawi atau perempuan itu sudah memeluk Islam, maka ia boleh dinikah.
- Perempuan bersuami. Tidak boleh seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang bersuami dan masih dalam ikatan perkawinannya. Namun, bila suaminya meninggal dunia atau menceraikannya dan masa iddahnya sudah habis, maka boleh dinikah;
- Perempuan yang masih menjalani masa iddah, baik dari iddah wafat maupun iddah cerai. Setelah masa iddahnya habis, maka ia boleh dinikah.
- Perempuan yang telah ditalak tiga. Tidak halal bagi seorang suami merujuk atau menikahi kembali istrinya yang telah ditalak tiga, sampai istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain (muhallil) dengan pernikahan yang sah dan sesuai syariat.
Kemudian, suami kedua atau muhallil itu menceraikannya dan masa iddah si istri darinya telah habis. Jika itu sudah terpenuhi, maka suami pertama boleh menikahinya kembali dengan akad yang baru. (Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr Mustafa al-Bugha, ‘Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi‘i, Damaskus: Darul Qalam, 1992, jilid 4, hal. 25-33).
Terpopuler
1
Tari dan Tayu, Sosok Kartini Kembar Fatayat NU dari Kendal
2
Darul Amanah FA Jaring Bintang Lapangan Lewat Seleksi Terbuka SSB dan Beasiswa 2025/2026
3
6 Fakta Sejarah RA Kartini yang Jarang Diketahui Publik
4
Peringati HKBN 2025, LPBINU Kudus Gelar Pelatihan Driver Perahu Karet untuk Perkuat Kesiapsiagaan Bencana
5
Kemandirian Kader Jadi Sorotan Ketua PW Ansor Jateng dalam Halal Bihalal PAC Ansor Gringsing
6
Tumbuhkan Jiwa Mandiri dan Disiplin, Santri Pesantren Salafiyah Kangkung Kendal Semarakkan Ekstrakurikuler Pramuka
Terkini
Lihat Semua