Keislaman

Siapa yang Dimaksud Ulama?

Rabu, 4 September 2024 | 11:00 WIB

Siapa yang Dimaksud Ulama?

Ilustrasi (NU Online)

Dalam tradisi Islam, istilah ‘ulamāꞌ atau ulama memiliki makna yang sangat penting. Kata ini sering digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Namun, di balik istilah yang tampak sederhana ini, terdapat kompleksitas makna yang patut digali lebih dalam. Mengapa istilah ‘ulamāꞌ sering kali dibatasi pada pengetahuan agama saja? Bagaimana sejarah dan penggunaan istilah ini telah membentuk pemahaman masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia? 


Asal Usul dan Makna ‘Ulamāꞌ


Secara etimologis, kata ‘ulamāꞌ berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ‘alima, yang berarti "mengetahui" atau "memahami". Bentuk jamak dari kata ‘ālim, yang berarti "orang yang mengetahui", adalah ‘ulamāꞌ, yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "orang-orang yang mengetahui" atau "orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan".


Dalam pengertian bahasa, istilah ‘ulamāꞌ mencakup semua bentuk ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan agama, alam, sosial, atau lainnya. Namun, dalam praktiknya, istilah ini lebih sering digunakan untuk merujuk kepada mereka yang memiliki pengetahuan dalam ilmu agama Islam. Di Indonesia, istilah ini bahkan telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "ulama", yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai "orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam".


Pembatasan Makna ‘Ulamāꞌ dalam Masyarakat Muslim


Pembatasan makna istilah ‘ulamāꞌ hanya pada pengetahuan agama dapat dilihat sebagai refleksi dari sejarah dan tradisi panjang dalam masyarakat Muslim. Para ulama sering kali dihormati sebagai otoritas moral dan spiritual, yang memegang peran penting dalam membimbing umat dalam menjalankan ajaran agama. Fungsi mereka tidak hanya terbatas pada pengajaran, tetapi juga mencakup bimbingan spiritual dan moral, serta menjaga dan menyebarkan ajaran agama Islam.


Namun, pembatasan ini juga menghadirkan tantangan dalam pemahaman yang lebih inklusif tentang ilmu pengetahuan. Apakah seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam dalam ilmu alam, misalnya, tidak layak disebut sebagai ‘ulamāꞌ hanya karena ilmunya tidak langsung berkaitan dengan agama? Pertanyaan ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai definisi dan peran ulama dalam konteks ilmu pengetahuan secara umum.


Perspektif Tafsir terhadap Makna ‘Ulamāꞌ


Berbagai ulama dan sarjana Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai siapa yang dapat disebut sebagai ‘ulamāꞌ. Penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebutkan istilah ‘ulamāꞌ menjadi salah satu sumber utama perbedaan pandangan ini.


1. Ibnu ‘Āsyur


Ibnu ‘Āsyur dalam tafsirnya At-Tahrir wa't-tanwir menjelaskan bahwa istilah ‘ulamāꞌ merujuk pada mereka yang mengetahui tentang Allah dan syariat-Nya. Menurutnya, pengetahuan yang tidak berkaitan dengan Allah dan syariat-Nya tidak akan membawa seseorang pada rasa takut dan kekaguman kepada Allah, sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai ‘ulamāꞌ. Pandangan ini menunjukkan bahwa gelar ‘ulamāꞌ tidak hanya terkait dengan tingkat pengetahuan, tetapi juga dengan dampak dari pengetahuan tersebut dalam menumbuhkan ketaatan kepada Allah. (Tafsir At-Tahrir wa't-tanwir, Juz 28, hal. 304).


2. M. Quraish Shiha


M. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, memiliki pandangan yang lebih inklusif mengenai makna ‘ulamāꞌ

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

wa minan-nâsi wad-dawâbbi wal-an‘âmi mukhtalifun alwânuhû kadzâlik, innamâ yakhsyallâha min ‘ibâdihil-‘ulamâ', innallâha ‘azîzun ghafûr.


“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun”. (Qs. Fāṭir/ 35: 28).


M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbāh  menafsirkan istilah ‘ulamāꞌ sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam baik dalam ilmu agama, ilmu alam, maupun ilmu sosial. Menurut Shihab, pengetahuan yang membawa seseorang pada rasa takut kepada Allah adalah pengetahuan yang layak digolongkan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh ‘ulamāꞌ. (Tafsir al-Mishbāh, jilid 11 cet. IV, 467).


3. Hamka


Abdul Malik Abdul Karim Amrullah dalam Tafsir al-Azhar, jilid 8 juga mendukung pandangan bahwa istilah ‘ulamāꞌ mencakup lebih dari sekadar pengetahuan agama. Ia menegaskan bahwa istilah ini merujuk pada siapa saja yang memiliki pengetahuan luas, termasuk ilmu alam dan sosial. Hamka bahkan menekankan bahwa alam semesta adalah "kitab terbuka" yang juga dapat dipelajari dan dipahami oleh para ulama.


Keberagaman Ilmu dan Penggunaan Istilah ‘Ulamāꞌ


Pembatasan istilah ‘ulamāꞌ pada pengetahuan agama juga mencerminkan pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan dalam masyarakat Muslim. Ilmu agama seringkali dianggap sebagai ilmu yang paling tinggi, karena langsung berkaitan dengan pemahaman tentang Tuhan dan tugas manusia sebagai hamba-Nya. Namun, dalam Islam, semua bentuk ilmu pengetahuan dianggap sebagai bagian dari usaha manusia untuk memahami ciptaan Allah dan menjalankan tugas mereka sebagai khalifah di bumi.


Ilmu pengetahuan alam, misalnya, membantu manusia memahami fenomena alam dan mengembangkan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu sosial memberikan wawasan tentang dinamika sosial dan kemanusiaan, serta cara-cara untuk membangun masyarakat yang adil dan harmonis. Semua bentuk ilmu pengetahuan ini, jika digunakan dengan niat yang baik dan tujuan untuk kemaslahatan umat, dapat dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai makhluk yang berakal.


Mengapa Tidak Ada Kesatuan Penyebutan?


Salah satu pertanyaan yang muncul adalah mengapa tidak ada kesatuan penyebutan atau gelar bagi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Mengapa mereka yang ahli dalam ilmu agama disebut ‘ulamāꞌ, sementara yang ahli dalam ilmu lainnya disebut ilmuwan, dosen, atau guru?


Perbedaan penyebutan ini dapat ditelusuri dari perbedaan fungsi dan peran yang dimainkan oleh para ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ulama seringkali memiliki peran yang lebih luas, mencakup bimbingan moral dan spiritual, yang menjadikan mereka sebagai figur otoritas dalam masyarakat. Sementara itu, ilmuwan, dosen, dan guru dalam bidang ilmu lainnya umumnya lebih fokus pada pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang tertentu.


Namun, penting untuk diingat bahwa perbedaan ini bukanlah suatu hierarki nilai. Semua bidang ilmu pengetahuan memiliki peran penting dalam membentuk peradaban manusia dan memajukan kesejahteraan umat. Sebutan-sebutan ini lebih mencerminkan spesialisasi dan peran masing-masing dalam konteks sosial dan keilmuan.


Istilah ‘ulamāꞌ, meskipun sering diidentikkan dengan pengetahuan agama, memiliki makna yang lebih luas dalam konteks bahasa dan pemahaman Islam. Para ulama seperti Ibnu ‘Āsyur, M. Quraish Shihab, dan Hamka telah memberikan pandangan yang beragam tentang siapa yang dapat disebut sebagai ‘ulamāꞌ.


Pembatasan istilah ‘ulamāꞌ pada pengetahuan agama mencerminkan tradisi panjang dalam masyarakat Muslim, tetapi juga membuka ruang untuk pemahaman yang lebih inklusif tentang ilmu pengetahuan. Semua bentuk ilmu, jika digunakan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat, dapat dianggap sebagai bagian dari usaha manusia untuk memahami dan mengagumi ciptaan Allah.


Dengan demikian, gelar ‘ulamāꞌ dalam arti yang paling luas dapat mencakup semua orang yang menggunakan pengetahuan mereka untuk kemaslahatan umat dan untuk memuliakan Allah. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan beragam, pemahaman yang lebih luas dan inklusif ini menjadi semakin penting.


Oleh: M. Raif Al Abrar (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)