Keislaman

Keberanian Menyampaikan Kebenaran di Hadapan Pemimpin Zalim dari Perspektif Ulama

Kamis, 29 Agustus 2024 | 09:00 WIB

Keberanian Menyampaikan Kebenaran di Hadapan Pemimpin Zalim dari Perspektif Ulama

Ilustrasi menyuarakan keadilan (foto: NU Online)

Semarang, NU Online Jateng 

Pemimpin yang zalim dan tidak adil dapat membawa dampak buruk bagi wilayah yang dipimpinnya. Keputusan yang diambil cenderung merugikan rakyat, sementara kekuasaan sering digunakan hanya untuk kepentingan pribadi. Padahal, tugas utama seorang pemimpin adalah membawa kemaslahatan dan melindungi kesejahteraan rakyatnya.


Oleh karena itu, rakyat memiliki kewajiban untuk menyuarakan kebenaran dan menentang segala bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menegaskan bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim adalah salah satu bentuk jihad yang paling utama. Rasulullah saw bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


Artinya, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah).


Dalam artikel yang ditulis oleh Ustadz Bushir berjudul Kajian Hadits: Menyuarakan Kebenaran di Hadapan Pemimpin Zalim, hadis ini merujuk pada pendapat 'Abdurrahman al-Mubarakfuri bahwa pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk berbuat zalim, sedangkan "kalimat" yang dimaksud adalah seruan kepada pemimpin untuk menegakkan kebenaran dan menghentikan kezaliman. Seruan ini bisa disampaikan melalui berbagai media, baik lisan, tulisan, maupun lainnya.


“Yang dimaksud dengan kalimat adalah ucapan yang mengandung perintah melakukan kebenaran atau larangan melakukan kemungkaran, melalui ucapan atau tulisan, dan juga media lainnya yang memiliki fungsi serupa.” (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul kutub Ilmiyah, t.t.], jilid XI, halaman 330). 


Bushiri juga mengutip beberapa pendapat ulama mengenai seruan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim dan tidak adil sebagai jihad yang paling utama beserta argumentasinya.


Pertama, Imam al-Khattabi, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam Mirqatush Shu’ud Ila Sunani Abi Dawud, menyatakan bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim lebih sulit dan berbahaya daripada jihad melawan musuh dalam perang. Pemimpin zalim biasanya akan mengancam siapa pun yang menentangnya, sehingga keberanian rakyat yang berani menyuarakan kebenaran menjadi alasan mengapa tindakan ini dianggap sebagai jihad yang paling utama.


Kedua, Penafsiran lain dari Imam al-Muzhir menyebutkan bahwa menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin zalim adalah jihad yang paling utama karena dampak kezaliman seorang pemimpin akan dirasakan oleh seluruh rakyat. Menyuarakan kebenaran untuk menghentikan kezaliman berarti berjuang demi kepentingan rakyat. 


Ketiga, menurut Syekh Muhammad bin 'Alan menegaskan bahwa tindakan ini menunjukkan kekuatan iman dan keberanian yang luar biasa. Menyuarakan kebenaran kepada pemimpin zalim adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), artinya jika sudah ada yang melakukannya, kewajiban ini gugur bagi yang lain. Namun, amar ma'ruf ini harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan kerusakan lebih besar.


Keempat, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan pentingnya menyampaikan kebenaran dengan nasihat yang baik dan tidak melalui pemberontakan, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan. Pendapat ini juga didukung oleh Imam ar-Ramli yang menegaskan bahwa memberontak kepada pemimpin, meskipun zalim, adalah haram karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar.


Kesimpulannya, menyuarakan kebenaran kepada pemimpin zalim sangat penting untuk menghentikan ketidakadilan. Dalam negara demokrasi, hak menyampaikan pendapat di muka umum adalah legal dan konstitusional. Namun, penting untuk memastikan bahwa kebenaran disampaikan dengan cara yang baik dan sesuai norma-norma syariat serta hukum yang berlaku, agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.