• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Fragmen

Kontribusi Besar Lembaga Bahtsul Masail NU dalam Berbangsa dan Bernegara (2)

Kontribusi Besar Lembaga Bahtsul Masail NU dalam Berbangsa dan Bernegara (2)
Foto: Ilustrasi (nu online)
Foto: Ilustrasi (nu online)

Ketika Indonesia merdeka pada 1945, pemimpin tertinggi NU tersebut merestui Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Pancasila Pondasi Kokoh Negara Bangsa Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq (Menghidupkan Kembali Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, 1999) bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. 

 

Problem ini seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu. Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. 

 

Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru. Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman. 

 

Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme. Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. 

 

Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah. Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah saat ini. 

 

Langkah yang dilakukan para kiai berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tidak memahami Islam secara simbolik tetapi substantif. Sehingga tidak ada upaya-upaya bughot untuk memformalisasikan Islam ke dalam sistem negara. Di titik inilah ulama NU perlu menjelaskan hubungan Islam dengan Pancasila agar tidak dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai-nilai agama Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. 

 

Pandangan Islam tentang bentuk negara bangsa ini dipertegas oleh para kiai dalam Munas Alim Ulama NU 2019 dengan mengutip pandangan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU periode 1999-2014), sebagai berikut: “...seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya 'fiqih politik' (fiqh siyasah) yang sering kali diktum-diktumnya tidak sejalan dengan gagasan demokrasi yang menyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqh siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai 'kelas dua' bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan demikian harus mulai diubah. Sebab pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara bangsa (nation state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan dan kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.” (KH MA Sahal Mahfudh, Kata Pengantar Rais Aam PBNU Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek, dalam Ahkamul Fuqaha, (Surabaya: Khalista, Cet ke-1, 2011), h. xii-xiii)

 

Pemerintah pada 1983 melalui Tap MPR No. II MPR/1983 menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik/Golkar saat itu. Meski Tap MPR tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu hanya menentukan asas tunggal untuk parpol/Golkar, pemerintah menyerukan dengan sangat agar ormas mencantumkan asas tunggal Pancasila dalam anggaran dasar mereka. 

 

Seruan dan ajakan pemerintah ini tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Seruan dan ajakan ini harus dipahami sebagai ketentuan yang juga mengikat bagi ormas sebagaimana parpol/Golkar yang saat itu belum jadi partai tetapi memiliki fungsi seperti orpol. Seruan dan ajakan ini yang kemudian memicu polemik di tengah umat Islam dan juga kalangan agama lain karena sebagian besar kalangan agama lain dan juga ormas Islam menghadap-hadapkan Pancasila dan agama. 

 

Seruan dan ajakan pemerintah ini yang membuat hubungan umat Islam dan pemerintah menjadi tegang. Seruan dan ajakan pemerintah yang ketika itu tidak dapat dianggap sebagai imbauan enteng juga menarik diskusi di lingkungan NU sebagai salah satu ormas Islam (dan juga terlibat politik melalui PPP karena belum memutuskan kembali ke Khittah NU 1926 pada Muktamar NU pada 1984). 

 

Untuk menghindari kesalahpahaman, salah seorang sesepuh NU KH As’ad Syamsul Arifin dan seorang Mustasyar PBNU ketika itu KH Ahmad Siddiq menemui Presiden Soeharto untuk melakukan tabayun dengan pembicaraan secara intensif terkait desakan pemerintah soal asas tunggal Pancasila. KH Ahmad Siddiq mengatakan bahwa seruan dan ajakan pemerintah ini patut dipertimbangkan dengan wajar, pikiran jernih, dan keseriusan berdasarkan kaidah agama Islam. Kiai Ahmad kemudian menyiapkan makalah yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo. 

 

Makalah ini didiskusikan oleh para kiai di lingkungan Syuriyah PBNU di kediaman KH Masykur di Jalan Imam Bonjol nomor 22, Jakarta, pada 9 Rabiul Awwal 1404 H/13 Desember 1983. KH Ahmad Siddiq yang kemudian diangkat sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU pada satu tahun kemudian, 1984 di Situbondo, mengatakan: “Ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah itu patut dipahami secara wajar dan proporsional oleh semua pihak. Di samping itu, tidaklah berlebih-lebihan kalau diharapkan pengertian yang mendalam, bahwa agama bagi semua pemeluk agama adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pemerintah selalu menegaskan tidak akan meng-agama-kan Pancasila dan tidak mem-Pancasila-kan agama. Dengan perkataan lain, bahwa ber-Pancasila tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan agama dan sebaliknya, bahwa beragama tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan Pancasila.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 dalam Pemikiran KH Ahmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 75-76). 

 

Menurut Kiai Ahmad Siddiq, NU menanggapi ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dengan pertimbangan: 

  1. Bahwa pemerintah–dengan ajakannya itu–tidak berarti mengajak NU menerima asas tunggal Pancasila dengan sekaligus mengesampingkan 
  2. Bahwa NU menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah, bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. 
  3. Bahwa NU tetap berpegang sepenuhnya kepada ajaran aqidah dan syariah Islam. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 76).  

 

Baca jugaKontribusi Besar Lembaga Bahtsul Masail NU dalam Berbangsa dan Bernegara (1)

 

 

Syariat Islam dan Pancasila 

 

NU melakukan penerimaan tersebut berdasarkan kaidah-kaidah agama Islam. Namun demikian, tidak sedikit pihak lain salah memahami pandangan dan sikap NU karena menggunakan ukuran lain (mungkin hitung-hitungan politik atau pertimbangan nafsu).  “Sekarang pun, dalam membahas ajakan pemerintah supaya organisasi (tidak hanya parpol/Golkar saja [yang hakikatnya juga parpol karena hak-hak politiknya ketika itu]) mencantumkan pada anggaran dasarnya, Pancasila sebagai satu-satunya asas, NU mendasarkan pula pada pandangan syariah.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 77). 

 

Pandangan dan sikap NU yang diputuskan berdasarkan syariat Islam antara lain putusan Muktamar NU pada 1936 perihal status Indonesia sebagai darul Islam dalam fiqih (wilayah Islam, bukan negara Islam), penolakan milisi Belanda, fatwa resolusi jihad yang mewajibkan keikutsertaan perjuangan fisik untuk mempertahankan wilayah NKRI pada November 1945, dan pemberian predikat walliyyul amri ad-dharuri bis syawkah bagi kepala negara RI (ketika itu Sukarno). 

 

“Sebagai jamiyah diniyyah Islamiyah (organisasi keagamaan Islam), NU selalu berpegang sepenuhnya kepada kaidah-kaidah keagamaan (Islam) dalam merumuskan pendapat-pendapat dan langkah-langkahnya. Motif keagamaan yang dominan ini, adakalanya kurang dipahami oleh pihak lain yang menggunakan kacamata lain. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 76). Kiai Ahmad Siddiq menjelaskan, nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan Islam… Dasar Negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain. 

 

Menurutnya, NU menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung di dalam Undang-Undang 1945 (bil lafzhi wal ma’nal murad) dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah. NU menolak penafsiran Pancasila yang menyimpang daripada itu dan menolak persepsi bahwa Pancasila adalah setingkat dengan agama. Sikap terhadap Pancasila dalam hubungannya dengan agama memang memerlukan kejelasan dan kejernihan supaya tidak terperangkap dalam pengambilan sikap yang tidak proporsional. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 71). 

 

“NU dapat dibenarkan untuk memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila, dengan pengertian bahwa hal itu tidak berarti NU mengesampingkan Islam.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 78). 

 

Kiai Ahmad Siddiq dalam wawancara yang dilakukan oleh Dr Fahmi Saifuddin 1983-1985 mengatakan, dalam hubungan antara agama dan Pancasila, keduanya dapat sejalan, saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya bersama-sama dilaksanakan dan diamalkan, tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. (Lihat KH Ahmad Siddiq, Islam, Pancasila, dan Ukhuwwah Islamiyyah, [Jakarta, Kesekjenan PBNU: 2017 M], halaman 18). 

 

Menurut Kiai Ahmad Siddiq, kecurigaan masing-masing pihak baik pemerintah maupun umat beragama muncul karena kurangnya dialog yang intensif antara kedua pihak. Kecurigaan ini diperparah oleh ketidakjernihan dan ketidakproporsionalan dalam berpikir dari kedua belah pihak. “…Sesungguhnyalah, salah satu masalah besar bagi bangsa Indonesia pada zaman ini adalah bagaimana memproporsionalisasi (wadh‘u syai’in fi mahalihi) hubungan Pancasila dan agama… dengan demikian, maka benar-benar terbukti bahwa di dalam negara dan masyarakat yang berpancasila ini, agama dapat diamalkan dengan lebih baik dan sebaliknya umat beragama di negara ini merupakan tulang punggung ideologi nasional Pancasila.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2017 M: 18). Kecuali itu, praktik atau pengamalan Pancasila yang jauh dari teorinya juga menambah masalah lain dalam penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila. Boleh dibilang jauh panggang dari api seperti perampasan tanah warga, oligarki, praktik pemilihan umum, dan lain sebagainya. Desakan pemerintah agar ormas menerima asas tunggal Pancasila mengalami kendala pada kepercayaan masyarakat atas pengamalan Pancasila oleh aparat pemerintah yang arogan. 

 

“Namun, hampir semua orang merasakan bahwa Pancasila belum seluruhnya dirasakan dalam praktik kehidupan nasional kita di hampir semua sektor. Tidak jarang menutupi cacat ini sambil menjadikan Pancasila sebagai peluru kendali untuk ditembakkan kepada golongan lain yang dipandang lawan atau saingan.” (Lihat KH Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik, [Jakarta, Gunung Agung: 1982 M], jilid I, halaman 21). 

 

Kiai Ahmad Siddiq menganjurkan dialog intensif dan terbuka. Menurutnya, dalam rangka usaha dan upaya untuk mempersamakan persepsi untuk memproporsionalisasi Pancasila dan agama, khususnya agama Islam, diperlukan adanya suatu dialog dua arah dengan hati terbuka, meskipun tidak selalu dalam forum terbuka antara ulama, ilmuwan, dan cendekiawan muslim di satu pihak dan umara di lain pihak. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2017 M: 19). 

 

Diskusi penerimaan asas tunggal Pancasila di lingkungan kiai NU pada akhirnya melahirkan sebuah keputusan penting, yaitu Deklarasi Pancasila pada Munas Alim-Ulama NU pada akhir 21 Desember 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo. 

 

Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam 


Bismillahirrahmanirrahim  

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945–yang menjiwai sila-sila yang lain–mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. 
  4. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. 
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. 

 

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983). (Lihat Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, [Jakarta, Setjen PBNU-NU Online: 2011]).  (Bersambung)

 

Sumber: NU Online
Editor: M Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru