Fragmen

Huru-hara Kudus dan Asal Mula Julukan Kiai Abdul Chamid Cap Catut Menoro

Rabu, 14 Juni 2023 | 11:00 WIB

Huru-hara Kudus dan Asal Mula Julukan Kiai Abdul Chamid Cap Catut Menoro

Prasasti di Masjid Menara Kudus (Dok. H Aslim Akmal)

Pada tahun 1918, para kiai di Kudus Kulon memimpin pembangungan perluasan masjid al-Aqsha Menara Kudus. Siang-malam mereka bersama-sama santri bekerja bergotong-royong mengambil material batu dan pasir dari Kali Gelis.

Di tengah-tengah mereka bekerja itu tiba-tiba terjadi peristiwa atau insiden yang dikenal dengan Huru-hara Kudus. Hampir semua rumah-rumah orang Tionghoa yang berada di sekitar menara dan sepanjang jalan Sunan Kudus dibumihanguskan oleh para santri sebab mereka merasa terhina dengan pawai yang diadakan oleh orang-orang Tionghoa.

Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa akan mengadakan pawai yang rutenya mengambil jalan di depan masjid. Karena dianggap akan mengganggu proses gotong royong dan jalannya pembangunan maka para kiai kemudian mengirim surat pada salah seorang Letnan China.

Dalam surat itu para kiai meminta agar mereka tidak melewati jalan depan masjid, mengingat banyak umat Islam yang sedang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Namun permintaan itu ternyata tidak diperhatikan sebagaimana mestinya.

Pawai orang-orang Tionghoa itu pun tetap berlangsung melewati depan masjid Menara Kudus. Kemudian yang membuat para kiai dan santri tersinggung adalah ejekan dua orang Tionghoa yang memakai pakaian haji menyerupai layaknya seorang kiai dengan merangkul seorang wanita nakal yang berpakaian mengumbar aurat.

Rombongan pawai Tionghoa datang dari depan masjid menuju selatan bertemu dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil batu dan pasir dengan gerobak dari selatan ke utara. Kedua kelompok itu pun tidak ada yang mau mundur.

Huru-hara pun akhirnya pecah pada saat seorang santri yang menarik gerobak dipukul orang Tionghoa sehingga terjadilah pertikaian antardua kelompok tersebut. Meskipun pertikaian dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, tapi pihak orang-orang Tionghoa belum mau menunjukkan sikap damai.

Bahkan, mereka masih sering melontarkan ejekan-ejekan kepada para santri yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kali Gelis sampai ke Masjid Menara Kudus.

Karena itulah para santri akhirnya terpaksa melakukan perlawanan atas penghinaan orang-orang Tionghoa tersebut. Para kiai memandang cukup beralasan untuk menyetujui adanya tindakan memberi pelajaran atas penghinaan terhadap para santri. Namun, para kiai sama sekali tidak memerintah untuk merampas harta orang-orang Tionghoa, apalagi sampai melakukan pembunuhan.

Namun, entah bagaimana, huru-hara itu akhirnya berkembang sedemikian dahsyatnya. Korban pun berjatuhan dari pihak Tionghoa maupun Jawa. Banyak rumah penduduk Tionghoa dan Jawa yang terbakar.

Akibat dari peristiwa huru-hara itu para kiai Kudus Kulon banyak yang ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman 4 sampai 15 tahun masuk penjara di Semarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Diantara para kiai yang dijebloskan ke dalam penjara yaitu KHR Asnawi Bendan, KHR Ahmad Kamal Damaran, KH Nur Hadi Sunggingan, KH Shofwan Durri Tepasan, KH Mufid Sunggingan, dan masih banyak yang lainnya.

Kemunculan Syekh Rodli

Dengan dipenjaranya para kiai dan beberapa santri di Semarang itu terdapat anggapan bahwa di Kudus Kulon sebagai pusatnya Islam Kudus telah terjadi kekosongan tokoh. Pada saat inilah muncul sosok Syekh Rodli yang tidak diketahui asal-muasalnya dan tiba-tiba muncul di tengah-tengah masyarakat Kudus Kulon.

Syekh Rodli sendiri adalah sosok yang misterius karena tidak diketahui asal-usulnya. Menurut penuturan KH Khoirozjad, Syekh Rodli adalah Christian Snouck Hurgronje, seorang misionaris Belanda yang menyamar sebagai orang muslim.

Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah penasihat urusan pribumi untuk pemerintah Belanda pada masa penjajahan di Indonesia. Dia sangat fasih berbahasa Arab. Setelah menjalani pemeriksaan yang sangat ketat akhirnya dia diizinkan masuk Makkah dan memulai ziarah di kota suci pada tahun 1885.

Di Makkah, dengan keramahan dan naluri intelektualnya, ia berhasil mempengaruhi para ulama Makkah sehingga mereka tidak segan membimbingnya. Di Makkah dia memeluk budaya dan agama dengan penuh gairah sehingga dia berhasil meyakinkan orang-orang bahwa dia muslim.

Ketika muncul di Kudus, Syekh Rodli melakukan propaganda ajaran atau faham baru tentang tidak bolehnya muslim melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat seperti ziarah, tahlilan, berzanjenan, dan sebagainya. Semua kegiatan tersebut dianggap bid’ah dan tidak sesuai ajaran Rasulullah saw.

Propaganda ini tentu saja membuat resah masyarakat Kudus Kulon. Bahkan masyarakat sempat mengusir Syekh Rodli dari kawasan Kudus Kulon namun tidak berhasil. Akhirya Syekh Rodli mengajak masyarakat Kudus Kulon untuk berdebat dengannya dengan perjanjian jika mereka kalah harus mau mengikuti ajarannya.

Tantangannya disambut oleh seorang santri yang bernama Abdul Hamid. Abdul Hamid sanggup menghadapi Syekh Rodli dengan perjanjian jika dia kalah harus keluar dari Kudus dan perjanjian itu disanggupinya.

Pada saat waktu yang sudah disepakati keduanya akhirnya perdebatan itu dilaksanakan di serambi masjid dengan disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Kudus Kulon. Debat berjalan cukup alot namun Syekh Rodli akhirnya kalah argumentasi, semua dalil-dalil yang diajukannya dapat dipatahkan oleh Abdul Hamid.

Kemenangan Abdul Hamid disambut dengan sorak sorai dan dielu-elukan oleh para penyimak debat. Setelah itu, akhirnya Syekh Rodli akhirnya keluar dari arena debat dan pergi entah kemana.

Dalam beberapa kali kesempatan, KH M Sya’roni Achmadi sering menuturkan Kiai Abdul Hamid memiliki tambahan sebutan 'Cap Catut' di belakang namanya sehingga beliau sangat populer dengan sebutan Kiai Abdul Hamid Cap Catut. Mbah Sya’roni juga menambahkan, bahwa untuk mengenang peristiwa kemenangan debat tersebut, KHR Ahmad Kamal mendokumentasikannya dengan sebuah prasasti yang bertuliskan Bahasa Arab:

مَاتَتِ الْبِدْعَةُ بِقِيَامِ حُجَّةٍ لِأَهْلِ السُّنِّيَّةْ

Artinya : "Bid'ah sudah mati (seiring) ditegakkannya hujjah untuk ahli suni."

Jika kalimat tersebut dihitung dengan metode abajadun, maka makna kalimat tersebut akan menunjuk angka 1344 H atau bertepatan dengan tahun 1926 M, tahun kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Prasasti yang diukir di atas kayu dan dipasang di dalam Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, hingga saat ini masih dapat disaksikan.

H Aslim Akmal, Pemerhati Sejarah Pesantren, Tinggal di Kudus