• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 26 April 2024

Fragmen

Begini Adab Pendiri IPPNU, Emoh Berebut Jabatan Ketua

Begini Adab Pendiri IPPNU, Emoh Berebut Jabatan Ketua
Logo Harlah ke-67 IPPNU (sumber: NU Online)
Logo Harlah ke-67 IPPNU (sumber: NU Online)

Hari Lahir (harlah) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) diperingati setiap tanggal 2 Maret. Hal tersebut didasarkan pada proses awal pembentukan, yang kala itu bersamaan dengan penyelenggaraan Kongres I IPNU di Malang, tahun 1955. Sebagai embrio awal kepengurusan, dibentuklah Dewan Harian (bukan Pimpinan Pusat) yang diketuai Umroh Mahfudhoh.

Beberapa bulan kemudian, untuk menegaskan berdirinya organisasi pelajar putri NU itu, diadakan Konferensi Besar (Konbes) I IPPNU di Kota Surakarta, pada tanggal 18-21 Januari 1956. Konbes I yang di kemudian waktu dinaikkan statusnya menjadi Kongres I IPPNU tersebut menghasilkan beberapa keputusan terkait organisasi, antara lain memilih susunan kepengurusan Pimpinan Pusat dan pusat organisasi.

Untuk kedudukan pusat organisasi, Kota Surakarta ditunjuk sebagai tempat pusat organisasi. Alasannya tentu karena banyak dari pendiri IPPNU yang masih bersekolah atau sudah menjadi dari sekolah yang ada di Kota Surakarta. Nah, yang menarik, terjadi pada saat proses pemilihan Ketua Umum Pimpinan Pusat.

Dua kandidat utama yang akan dipilih yakni Umroh dan Basyiroh. Saat pelaksanaan Konbes I, keduanya sama-sama sekolah di Surakarta dan merupakan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Harian IPPNU. Di luar dugaan, entah karena sungkan berebut menjadi ketua dengan sahabat atau memang takut berat menjalankan amanah tersebut, keduanya emoh, saling menolak untuk dijadikan ketua.

Basyiroh mengisahkan, ketika itu baik dirinya maupun Umroh justru menangis dan kemudian masuk ke kamar yang terpisah. Nyai Mahmudah Mawardi, ketua PP Muslimat kala itu yang juga asli dari Keprabon Surakarta, masuk ke kamar Basyiroh. Terjadilah dialog layaknya ibu dengan sang anak:

Nduk, siapa yang mau ikhlas? Kenapa tidak mau menjadi ketua?” tanya Nyai Mahmudah.

“Berat, bu. Saya juga sudah bersumpah untuk tidak mau menjadi ketua,” jawab Basyiroh.

“Sumpah untuk tidak melakukan yang tidak baik itu bisa dibatalkan, meski tetap dengan kifarat,” terang Nyai Mahmudah.

Basyiroh kemudian mengiyakan saran dari Nyai Mahmudah, dan akhirnya dia bersedia untuk menjadi Ketua PP IPPNU yang pertama. Di kemudian hari, dia bertanya kepada ayahnya Kiai Shoimuri Boyolali (Kakek dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf) perihal kifarat menebus pembatalan sumpah tersebut.

“Oleh beliau, saya disarankan untuk berpuasa tiga hari berturut-turut,” ujarnya, saat ditemui NU Online Jateng di kediamannya di Jenu, Tuban, Jawa Timur, beberapa tahun yang lalu (th 2014 dan 2020).

Begitulah akhlak dan adab yang dicontohkan dari para pendahulu. Soal jabatan mereka justru berebutan emoh. Tidak ada unsur berebut kepentingan bahkan menggunakan jalan politik praktis. Kemudian setelah terpilih, mereka memiliki komitmen kuat dan menjaga betul amanah tersebut.

Nyai Umroh dan Nyai Basyiroh, keduanya kini telah wafat. Meski demikian nama keduanya tetap terpatri di hati para kader IPPNU. Lahuma alfatihah

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: M Ngisom Al-Barony


Fragmen Terbaru